Quantcast
Channel: Karya Tulis – ISPI | Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Pusat
Viewing all 45 articles
Browse latest View live

Pengembangan Model Investigasi Kelompok Dalam Pembelajaran Menulis Karya Ilmiah Konteks Multikultural pada Peserta Didik SMP

$
0
0

Oleh : Dra. Endang Siwi Ekoati, M.Pd.
Guru SMP 1 Kudus, Anggota ISPI

ABSTRACT
Ekoati, Endang Siwi. 2010. Developing Group Investigation in Learning of Scientific Writing in the Multicultural Context for SMP Students.

The learning of scientific writing for SMP is still in troubles. The problem may come from both student and teacher. It is due to that the learning nowadays still emphasizes on theoretical aspect and less exploring the student’s potencies. Furthermore, there is no any significant theme line of the material given. The material’s range is too wide so it is hard to be implemented in the classroom in limited time. Group investigation development can be such alternative improving the ability in learning of scientific writing in the multicultural context. The research had been by using research development design. Based on the research result and its discussion, counted data that both student and teacher realize that learning of scientific writing in the multicultural context is necessary. Thus, development is needed in order to improve the learning process and its result toward student. If the group investigation model is applied in 6 steps, the individual student’s competence could not be optimally explored. Therefore, it is needed adding re-creating after the sixth step so that become seven steps. Re-creating is a creative process that can be presented, displayed, or developed. By using model development, the learning would be more meaningful.

Key words: development, group investigation model, scientific work, multicultural context

PENDAHULUAN
Kompetensi peserta didik SMP dalam menulis karya ilmiah masih belum memuaskan. Hal itu karena guru belum menggunakan model pembelajaran yang tepat dalam proses pembelajaran. Konteks multikultur yang ada pada peserta didik belum dimanfaatkan secara baik. Potensi peserta didik dalam berpikir kritis dan melakukan kegiatan ilmiah belum dikembangkan. Oleh sebab itu, perlu diterapkan dan dikembangkan model pembelajaran yang dapat memicu dan memacu kompetensi peserta didik dalam menulis karya ilmiah.

Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran yang dianggap tepat untuk mengembangkan kompetensi peserta didik dalam menulis karya ilmiah. Model investigasi kelompok dipandang mampu memfasilitasi peserta didik untuk berpikir dan berperilaku secara ilmiah karena potensial untuk melatih peserta didik melakukan penyelidikan, penelitian, dan penemuan. Keunggulan lain dari model investigasi kelompok adalah mengembangkan pendidikan karakter karena mereka dibiasakan bekerja dalam kelompok. Nilai-nilai kejujuran, kerjasama, disiplin, dan keluhuran nilai lainnya dapat terbina melalui implementasi model tersebut dalam pembelajaran menulis karya ilmiah.

Strategi yang dapat dilakukan guru untuk memperkenalkan konteks multikultural adalah dengan menerapkan model investigasi kelompok. Model investigasi kelompok dapat mengakomodasi keragaman dan perbedaan dengan cara membentuk kelompok yang terdiri atas peserta didik-peserta didik yang beragam pula.  Dengan model investigasi kelompok diharapkan tidak terjadi deskriminasi terhadap kelompok tertentu. Semua anggota kelompok diharapkan berpartisipasi secara aktif dan berkontribusi sejak perencanaan hingga hasil akhir. Namun, dalam pelaksanannya perlu dilakukan pengembangan model agar materi konteks multikultural tersampaikan dengan baik.

Pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi manusia untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu  menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri atas berbagai macam budaya.

Harapannya, pendidikan multikultural dapat membangun karakter (character building) peserta didik khususnya peserta didik SMP dalam relasinya dengan diri sendiri dan relasinya dengan sesama. Relasi dengan diri sendiri, maksudnya adalah memandang dan memperlakukan diri sendiri dengan baik. Dengan kata lain, bersikap baik terhadap diri sendiri. Ada tiga hal yang harus dikembangkan untuk membangun relasi yang baik dengan diri sendiri yaitu mengenal diri sendiri, menerima diri, dan mengembangkan diri.

LANDASAN TEORETIS
A.  Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merangkul perbedaan di antara peserta didik, berupaya membantu peserta didik belajar tanpa memandang dari kelompok mana mereka berasal dan  menjunjung keadilan sosial. Pendidikan multikultur ditujukan bagi semua peserta didik tanpa memandang keanggotaan kelompok ras atau etnis mereka  (Hall et al 2008: 246-247). Pendidikan multikultur disusun atas dasar persamaan dalam kurikulum, hubungan antara guru dan murid, suasana sekolah, dan hubungan sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Ketentuan pendidikan yang multikultur mengharuskan para pendidik untuk:
1. Menempatkan peserta didik di pusat proses pengajaran dan pembelajaran
2. Menjunjung hak-hak asasi manusia dan menghormati perbedaan budaya
3. Yakin bahwa semua peserta didik dapat belajar
4. Mengetahui dan membangun sejarah kehidupan dan pengalaman dari keaggotaan kelompok budaya peserta didik
5. Secara kritis menganalisis tentang penindasan dan kekuatan hubungan untuk memahami rasisme, seks, klasisme, dan diskriminasi terhadap orang-orang dengan kecacatan, kaum homo, lesbian, para pemuda dan kaum lanjut usia.
6. Kritik sosial dalam kepentingan keadilan sosial dan persamaan sosial
7. Berpartisipasi dalam aksi sosial kolektif untuk menjamin terjadinya masyarakat yang demokratis (Gollnick et al dalam Hall et al 2008: 247).

Pendidikan multukultural adalah pendidikan yang tidak deskriminatif, yang  bertujuan memberikan keamanan dan kenyamanan kepada semua peserta didik tanpa memandang latar belakang mereka. Namun, dalam pelaksanaanya  masih ditemukan beberapa masalah. Masalah yang dimaksud antara lain (1) masih banyak guru yang tidak menyadari adanya perbedaan, (2) belum tersedia kurikulum pendidikan multikultural, (3) belum tersedia bahan ajar konteks multikultural.

Peranan guru di dalam pembelajaran yang konteks multikultural sangat penting. Sebagai hal yang baru, guru dalam pembelajaran multikultural berperan sebagai fasilitator seperti halnya dalam pembelajaran berbasis kompetensi. Berkaitan dengan peran itu, guru membutuhkan pengetahuan, pengalaman, dan model pembelajaran serta panduan materi ajar praktis.

B. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok adalah salah satu model pembelajaran yang berfokus pada partisipasi peserta didik dalam kegiatan untuk mencari materi  atau informasi dari materi yang tersedia, seperti buku,  internet dan observasi lapangan.Parapeserta didik dituntut mengikuti pembelajaran sejak perencanaan, pemilihan topik, pelaksanaan, pelaporan hingga penilaian. Oleh karena itu, peserta didik dituntut mempunyai kemampuan komunikasi atau keterampilan bekerja sama dalam kelompok. Model Investigasi Kelompok melatih para peserta didik untuk menumbuhkan kemampuan berpikir mereka. Para peserta didik sebagai pengikut aktif akan menunjukkan sejak langkah pertama yakni pemilihan topik sampai langkah terakhir dalam proses belajar, yaitu penilaian.

Model investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang kompleks karena memadukan prinsip belajar kooperatif dengan pembelajaran konstruktivistik dan prinsip pembelajaran demokrasi (Isjoni 2009:87). Penerapan model ini dapat menumbuhkan dan melatih kemampuan berpikir mandiri. Keterlibatan peserta didik secara aktif dapat dilihat sejak awal hingga akhir pembelajaran dan memberikan peluang peserta didik untuk mempertajam gagasannya dan guru segera dapat  memperbaiki gagasan peserta didik yang kurang tepat.

Untuk mengakomodasi keragaman dan perbedaan, guru sebaiknya memastikan bahwa kelompok yang dibentuk terdiri atas peserta didik-peserta didik yang beragam dan memastikan bahwa semua anggota kelompok berpartisipasi dan berkontribusi pada hasil akhir (Jakobsen et al 2009:236).

Jakobsen et al (2009:236) menyampaikan bahwa terdapat enam langkah dalam strategi investigasi kelompok, yaitu:
1)   Pemilihan topik. Dalam hal ini peserta didik memilih topik untuk diselidiki dalam satu bidang umum.
2)   Perencanaan kooperatif. Peserta didik, dengan bantuan guru merencanakan cara mengumpulkan data dan aktivitas pembelajaran lain seperti penelusuran di internet dan perpustakaan.
3)   Implementasi. Peserta didik melaksanakan rencana yang telah dibuat  dengan strategi dan sumber pembelajaran yang berbeda.
4)   Analisis dan sintesis. Peserta didik menganalisis dan mengolah informasi yang didapat untuk dipresentasikan.
5)   Penyajian hasil akhir. Peserta didik membagi dan mendiskusikan informasi yang telah dikumpulkan.
6)   Evaluasi. Peserta didik membandingkan penemuan-penemuan dan perspektif-perspektif kemudian mendiskusikan persamaan dan perbedaannya.

C. Pembelajaran Menulis Konteks Multikultural
Menurut Supriadi (1997), menulis merupakan suatu proses kreatif  yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan kata (diksi) kurang tepat dan tidak mengenai sasaran, serta variasi kata dan kalimat yang kering.

Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak selalu disadari oleh para peserta didik. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) harus melewati keempat tahap ini. Proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.

Menulis karya ilmiah sama halnya dengan mengarang, aturan-aturan dalam penulisan seperti penguasaan organisasi isi, penggunaan kaidah bahasa Indonesia, diksi (pemilihan kata), kohesi dan koherensi, penguasaan kosakata, penggunaan kalimat efektif harus ada dalam tulisan. Guru sering dihadapkan pada tulisan peserta didik yang kalimat-kalimatnya tidak gramatikal, ejaan dan tanda baca yang digunakan tidak tepat, pilihan kata tidak tepat, banyak memakai kata yang mubazir, dan penggunaan kalimat tidak efektif. Kalimat yang dihasilkan oleh peserta didik kebanyakan belum mengikuti kaidah penyusunan kalimat yang benar sehingga sulit dipahami maksudnya. Kalaupun dapat menuangkan ide, seringkali pola pikir yang mereka gunakan belum sistematis.

Keterampilan menulis karya ilmiah dapat melatih berpikir dan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan secara sistematis, melatih kebiasaan untuk memecahkan masalah secara sistematis, menambah wawasan, mendorong kebiasaan membaca, melatih dalam mendokumentasikan gagasan, hasil temuan, pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, keterampilan menulis karya tulis perlu diajarkan sejak SMP.

Karya ilmiah adalah hasil pekerjaan menulis (Hasnun 2009: 41). Karya ilmiah adalah salah satu jenis karangan yang berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya. Suatu karangan dari hasil penelitian, pengamatan, ataupun peninjauan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat sebagai berikut.

1) penulisannya berdasarkan hasil penelitian;
2) pembahasan masalahnya objektif sesuai dengan fakta;
3) karangan itu mengandung masalah yang sedang dicarikan pemecahannya;
4) baik dalam penyajian maupun dalam pemecahan masalah digunakan metode tertentu;
5) bahasanya harus lengkap, terperinci, teratur, dan cermat;
6) bahasa yang digunakan hendaklah benar, jelas, ringkas, dan tepat sehingga tidak terbuka kemungkinan bagi pembaca untuk salah tafsir (Hasnun 2009).

Melihat persyaratan di atas, seorang penulis karangan ilmiah hendaklah memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam bidang:
1. masalah yang diteliti,
2. metode penelitian,
3. teknik penulisan karangan ilmiah,
4. penguasaan bahasa yang baik.

Berpijak pada persyaratan karya ilmiah, langkah-langkah penyusunan karya ilmiah meliputi (1) menentukan tema,(2) mengumpulkan bahan, (3) membuat kerangka, (4) dan mengembangkan kerangka. Kerangka yang dimaksud adalah sistematika penulisan. Pada dasarnya, sistematika karya tulis sudah dibakukan. Namun, variasi sistematika karya tulis sangat dipengaruhi oleh kaidah yang berlaku di lingkungan karya tulis itu dibuat. Untuk peserta didik SMP, karya tulis yang dibuat adalah karya tulis sederhana. Jadi ada beberapa bagian yang dipadatkan atau dihilangkan, disesuaikan pada kemampuan yang layak dimiliki peserta didik SMP.

Secara umum, karya ilmiah terdiri atas tiga bagian yaitu (1) bagian awal, (2) bagian isi, dan (3) bagian akhir. Bagian awal merupakan bagian depan karya tulis. Bagian awal sangat menentukan bagian selanjutnya, baik tata letak maupun penempatan kata-kata yang dipergunakan (Hasnun 2009: 43).

Karya ilmiah konteks multukultural sangat mungkin disusun oleh peserta didik karena pada hakikatnya keberadaan mereka pun di tengah masyarakat multikultural. Untuk mengangkat permasalahan multikultural, data dapat diambil dari studi pustaka, dukumentasi, wawancara dan obeservasi tentang berbagai kultur yang ada di tengah-tengah masyarakat. Peserta didik dapat belajar bersentuhan dengan kultur masyarakat sekitar untuk memperoleh data-data yang akan dijadikan sumber tulisannya.  Secara khusus budaya masyarakat yang dapat dijadikan objek observasi peserta didik adalah tradisi yang masih sering dilakukan antara lain Buka Luwur, Sedekah Bumi, Bersih Desa, Perayaan Tahun Baru Islam, Dandangan, Punden, Imlek, Mitoni dan lain-lain. Dengan pembelajaran ini peserta didik diharapkan dapat mengetahui sejarah, pendangan hidup, adat istiadat, kepercayaan atau kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain penelitian Research and Development (R&D). Produk yang   akan dikembangkan dan divalidasi dalam penelitian ini adalah pengembangan model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural. Unsur-unsur pengelolaan model pembelajaran meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Langkah-langkah penelitian pengembangan model investigasi kelompok pada pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural peneliti laksanakan dengan prosedur sebagai berikut.

1) Analisis kurikulum
Analisis kurikulum  dilakukan untuk mengetahui kebutuhan model, materi ajar dan kebutuhan konteks multikultural. Kegiatan tahap ini di antaranya menelaah filosofi kurikulum, konten kurikulum, teori belajar yang diterapkan, proses belajar mengajar yang dikembangkan dan alat evaluasi.

2) Analisis Teoretis
Kegiatan tahap ini di antaranya  menelaah secara teoretis berbagai buku dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu pengembangan model pembelajaran, pembelajaran menulis karya tulis ilmiah sederhana, dan pendidikan multikultural. Analisis teoretis ini digunakan sebagai dasar untuk menemukan model pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural yang tepat.

3) Analisis Kebutuhan Guru, Peserta didik, Bahan Ajar dan Konteks Multikultural
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan identifikasi kebutuhan guru, peserta didik, bahan ajar dan konteks multikultural. Kebutuhan tersebut difokuskan pada kebutuhan model pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural. Hasil analisis kebutuhan ini dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun desain model pembelajaran investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural peserta didik SMP.

4) Penyususunan Draf Model Investigasi Kelompok dalam Pemebelajaran Karya Tulis Ilmiah Konteks Multikultural.
Setelah analisis kebutuhan guru, peserta didik, bahan ajar dan konteks multikultural,  selanjutnya perlu disusun draf model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural. Produk yang dikembangkan adalah model pembelajaran investigasi kelompok.

5) Pengembangan Model Investigasi Kelompok
Produk pengembangan berupa desain model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya  ilmiah konteks multikultural disusun oleh peneliti kemudian dinilai oleh ahli mata pelajaran bahasa Indonesia, ahli model pembelajaran, serta guru bahasa Indonesia SMP. Desain model yang dikembangkan tersebut meliputi prosedur, sistem sosial, dampak instruksional, dampak pengiring dan alat evaluasi.Paraahli dan guru diminta untuk menilai desain model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural berdasarkan format butir penilaian. Dalam format penilaian digunakan skor penilaian, kolom saran, dan masukan ahli dan guru untuk bahan perbaikan.

6) Revisi Desain
Kegiatan tahap ini adalah merevisi desain model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural. Revisi dilaksanakan berdasarkan saran dan masukan ahli mata pelajaran, ahli model pembelajaran dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil kegiatan ini adalah tersusunnya desain model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural.

7) Uji Formatif
Tahap ini merupakan proses kegiatan untuk menilai apakah rancangan produk yang berupa model pembelajaran baru yaitu model investigasi kelompok  yang telah dikembangkan secara rasional lebih efektif dalam pembelajaran menulis karya tulis ilmiah konteks multikultural.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) subjek penelitian untuk mendapatkan data kebutuhan pengembangan model pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural adalah peserta didik, guru bahasa Indonesia, dan ahli; (2) subjek penelitian untuk  mengetahui karakteristik model  investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural untuk peserta didik SMP adalah peserta didik kelas IX SMP 1 Kudus; dan (3) subjek penelitian dalam pemberlakuan kelas terbatas untuk mendapatkan data tentang hasil pengembangan model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural adalah peserta didik kelas IX A SMP 1 Kudus.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA
Berdasarkan kajian teori dan uji formatif di kelas IX A SMP 1 Kudus, dalam penelitian pengembangan ini dihasilkan hal-hal sebagai berikut.

Prinsip-Prinsip Model Investigasi Kelompok

Model investigasi kelompok menganut prinsip-prinsip:
A. Demokratis
Kelas seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih luas dari kehidupan nyata. Guru harus menciptakan lingkungan belajar yang demokratis dengan mengangkat permasalahan sosial dan interpersonal untuk menangkal efek prasangka terhadap etnis dan rasial yang berbeda. Peserta didik dibiasakan untuk belajar dan bekerja dalam kelompok yang heterogen. Integrasi dan penerimaan antarkelompok perlu ditumbuhkan agar peserta didik mau menerima keberagaman.

B. Kolaboratif
Kolaborasi merupakan teknik pembelajaran dengan melibatkan sejawat atau teman untuk saling mengoreksi. Dengan demikian semua peserta didik akan terlibat secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran. Dalam kelas besar, peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil terdiri atas tiga sampai lima orang. Masing-masing anggota dapat saling memberikan koreksi dengan cara memberikan komentar atau respons terhadap tulisan yang dibuat teman-teman dalam satu kelompok atau kelompok lain.

C. Konstruktivistik
Peserta didik dituntut mengkonstruksi konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan berbagai cara, seperti obeservasi, diskusi, atau penelitian dan penyelidikan. Dengan cara ini, konsep tidak ditransfer oleh guru kepada peserta didik, tetapi dibentuk sendiri oleh peserta didik berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang terjadi ketika melakukan investigasi serta interpretasi. Dengan kata lain, peserta didik didorong untuk membangun makna dari pengalamannya sehingga pemahamannya terhadap fenomena yang sedang dikaji menjadi meningkat. Di samping itu, peserta didik didorong untuk memunculkan berbagai sudut pandang terhadap topik/ konsep/ masalah yang sama, dan untuk mempertahankan sudut pandangnya dengan argumentasi yang relevan. Hal-hal ini merupakan salah satu realisasi hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran.

D. Kooperatif
Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama. Kesempatan ini diberikan melalui kegiatan investigasi, interpretasi dan rekreasi. Di samping itu, peserta didik juga mendapat kesempatan untuk membantu temannya dalam menyelesaikan satu tugas. Kebersamaan, baik dalam investigasi, interpretasi dan rekreasi dengan pemajangan hasil merupakan arena interaksi yang akan memperkaya pengalaman.

E. Investigasi
Dalam pembelajaran, kreativitas dapat ditumbuhkan dengan menciptakan suasana kelas yang memungkinkan peserta didik dan guru bebas mengkaji, mengeksplorasi dan meneliti, dan menyelidiki topik-topik penting. Guru mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir keras, kemudian mengejar pendapat peserta didik tentang ide-ide besar dari berbagai perspektif. Guru mendorong peserta didik menunjukkan/ mendemonstrasikan, menginvestigasi  pemahamannya tentang topik-topik penting menurut caranya sendiri.

Dengan mengacu kepada karakteristik tersebut, model pembelajaran investigasi kelompok diasumsikan mampu memotivasi peserta didik dalam melaksanakan berbagai kegiatan sehingga peserta didik tertantang secara kreatif. Dengan karakteristik seperti itu, model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran lain, baik untuk topik-topik yang bersifat abstrak maupun konkret.

II. Karakteristik Model
Model investigasi kelompok memiliki karakteristik, yaitu (1) tujuan dan asumsi, (2) prosedur, (3) sistem sosial, (4) prinsip pengelolaan/reaksi, dan (5) dampak instruksional dan pengiring.

A. Tujuan dan Asumsi
Model investigasi kelompok mengambil model yang berlaku di masyarakat terutama cara anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui kesepakatan sosial. Melalui kesepatakan-kesepakatan inilah para peserta didik mempelajari pengetahuan akademis dan melibatkan diri dalam pemecahan masalah. Dalam model ini terdapat tiga konsep utama yaitu penelitian (inquiry), pengetahuan (knowledge), dan dinamika belajar kelompok (the dynamics of the learning group).

B. Sistem Sosial
Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat demokratis. Kegiatan kelompok yang terjadi bertolak dari pengarahan guru. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan. Pembelajaran ditandai dengan kegiatan bersama yang memperlihatkan hubungan timbal balik antara guru dengan peserta didik dan peserta didik satu dengan peserta didik yang lain. Peserta didik dan guru mempunyai peran (status) dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang dibuat atas kesepakatan bersama.

Kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di kelas terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk  suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Dengan penerapan model investigasi kelompok, peserta didik diharapkan dapat bekerja sama dalam kelompok yang heterogen.

C. Sistem Pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan peserta didik untuk menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah. Sistem pendukung yang dimaksud adalah sarana prasarana, budaya sekolah dan masyarakat multikultural. Sarana prasarana yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran berbasis ICT adalah laboratorium multimedia/komputer, hotspot, LCD proyektor, perpustakaan sekolah,  perpustakaan digital, dan lain-lain. Budaya sekolah adalah budaya yang diterapkan di sekolah yang membiasakan semua warga sekolah menghargai adanya keberagaman, melek teknologi dan budaya membaca. Sedangkan masyarakat multikultural adalah orang tua dan lingkungan sekolah yang beragam, berbeda status sosial dan berbeda etnis. Terpenuhinya daya dukung tersebut diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang positif.

Segala daya dukung  diharapkan mampu mengoptimalkan pembelajaran konteks multikultural. Keberadaan perpustakaan sekolah, laboratorium komputer dan hotspot kiranya bukan hanya sekadar kelengkapan yang asal ada tetapi merupakan sarana yang pemanfaatannya memang diperlukan.  Perpustakaan sekolah harus menyediakan ensiklopedia, kamus dan buku-buku yang diperlukan untuk pembelajaran konteks multikultural.

D. Prinsip Pengelolaan/Reaaksi
Di dalam kelas, guru berperan sebagai konsultan dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam hal ini, guru hendaknya membimbing kelompok melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap pemecahan masalah, (2) tahap pengelolaan kelas (3) tahap pemaknaan secara perseorangan. Peserta didik harus merasakan kenyamanan, keamanan, perlindungan, kerja sama, tolong-menolong, saling menghargai, saling menghormati dan saling memberi antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, dan peserta didik dengan peserta didik yang lain.

E. Prosedur Model Investigasi Kelompok
Model inivestigasi kelompok yang dikembangkan, dilaksanakan dengan tujuh langkah, yaitu: pemilihan topik, perencanaan kooperatif, penerapan, analisis dan sintesis, presentasi, re-kreasi dan evaluasi. Re-kreasi merupakan langkah pengembangan model ini. Tujuan penambahan langkah ini  untuk meningkatkan  dan menggali kompetensi individual peserta didik secara optimal. Setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru, dengan berpegang pada hakikat setiap langkah, sebagai berikut.

a. Pemilihan topik
Kegiatan pembelajaran diawali dengan memilih topik untuk diselidiki. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural dan memberikan gambaran tentang konteks multikultural. Topik yang ditawarkan guru adalah:

1) masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok, etnis, ras atau suku,
2) kebiasaan-kebiasaan, tradisi dan pola perilaku masyarakat,
3) kegiatan atau tradisi yang merupakan identitas kelompok masyarakat.
4) Topik-topik yang dapat dijadikan kajian antara lain: buka luwur, sedekah bumi, bersih desa, perayaan tahun baru Islam, dandangan, punden, imlek, mitoni, budaya sekolah, kepercayaan dll.

b. Perencanaan kooperatif
Pada tahap ini, guru dan peserta didik mengomunikasikan dan menyepakati tugas dan langkah pembelajaran. Guru mengomunikasikan tujuan, materi, waktu, langkah, hasil akhir yang diharapkan dari peserta didik, serta penilaian yang akan diterapkan. Peserta didik, dengan bantuan guru merencanakan cara mengumpulkan data dan aktivitas pembelajaran lain seperti penelusuran di internet dan perpustakaan serta investigasi.

Pada kesempatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang langkah/cara kerja serta hasil dan penilaian. Negosiasi tentang aspek-aspek tersebut dapat terjadi antara guru dan peserta didik. Pada tahap ini diharapkan sudah terjadi kesepakatan antara guru dan peserta didik.

Peserta didik merencanakan topik yang akan diteliti secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lain sebagai satu kelompok atau tim. Perencanaan dibuat bersama untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, pada tahap ini terjadi saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, keterampilan untuk menjalin hubungan pribadi  atau keterampilan sosial antara satu peserta didik dengan peserta didik yang lain, antara peserta didik dengan guru.

Implementasi
Peserta didik melaksanakan rencana yang telah dibuat  dengan strategi dan sumber pembelajaran yang berbeda. Pada tahap ini, peserta didik melakukan eksplorasi dengan cara investigasi terhadap masalah/konsep yang akan dikaji. Investigasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, melakukan observasi, wawancara, melakukan percobaan, browsing lewat internet, dan sebagainya.

Waktu untuk investigasi disesuaikan dengan luasnya bidang yang harus diinvestigasi. Investigasi yang memerlukan waktu lama dilakukan di luar jam pelajaran, sedangkan investigasi yang singkat dapat dilakukan pada jam pelajaran. Agar investigasi menjadi terarah, panduan singkat disiapkan oleh guru. Panduan investigasi memuat tujuan, materi, waktu, cara kerja, serta hasil akhir yang diharapkan. Misalnya, peserta didik diharapkan mengumpulkan tiga artikel atau buku multikultural selama satu minggu atau peserta didik diminta mencari informasi mengenai kegiatan/tradisi masyarakat di satu daerah, yang meliputi: nama dan alamat tempat kegiatan, alasan kegiatan, sikap masyarakat terhadap kegiatan yang dilakukan, serta proses kegiatan. Investigasi dilakukan secara berkelompok sesuai dengan kesepakatan. Selama proses investigasi, peserta didik dapat berkomunikasi dengan guru melalui e-mail, yahoo massenger, maupun facebook. Komunikasi melalui internet ini dapat membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam proses penyusunan karya ilmiah.

Analisis dan sintesis
Peserta didik menganalisis dan mengolah informasi yang didapat untuk dipresentasikan. Dalam tahap ini dilakukan analisis, diskusi, tanya jawab dan revisi, jika hal itu memang diperlukan. Analisis dan sintesis dilakukan pada jam tatap muka maupun di luar jam tatap muka. Pelaksanaan analisis dan sintetis di luar jam tatap muka dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi melalui e-mail, yahoo massenger, dan facebook

e. Penyajian hasil  (presentasi)
Setiap kelompok menyiapkan 5-10 slide power point bahan presentasi. Waktu penyajian tiap kelompok 10-15 menit. Setelah mendengarkan presentasi, kelompok lain memberikan tanggapan secara sopan dipandu salah satu perwakilan kelompok. Selama presentasi berlangsung, guru menilai proses presentasi,  memberi komentar dan saran perbaikan, baik perbaikan materi maupun cara presentasi.

6. Re-kreasi
Re-kreasi merupakan langkah pengembangan model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis karya ilmiah konteks multikultural. Tahap ini diperlukan agar peserta didik dapat mengeksplorasi kemampuannya secara optimal.  Re-kreasi mencerminkan pemahaman peserta didik terhadap konsep/topik/masalah yang dikaji menurut kreasinya masing-masing. Hasil re-kreasi yang dipajang atau dimuat dapat digunakan sebagai sarana penyampai pesan pendidikan multikultural yang telah dilaksanakan.

Pada tahap ini, peserta didik dapat diminta membuat, artikel, teks berita, atau poster sesuai peristiwa dan kegiatan yang sudah diteliti. Re-kreasi dilakukan secara individual sesuai dengan pilihan peserta didik. Re-kreasi merupakan produk kreatif peserta didik yang dapat dipresentasikan, dipajang, atau ditindaklanjuti. Re-kreasi diperlukan untuk memberdayakan peserta didik dengan segala potensinya. Dengan memberikan kebebasan berekspresi, pembelajaran diharapkan menjadi lebih bermakna. Hasil re-kreasi diharapkan dapat menjadi sarana penyampai pesan multikultural pada khalayak.

Evaluasi
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara objektif pencapaian hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Pada tahap ini, peserta didik dapat belajar menilai segala hal yang berkaitan dengan penyusunan karya ilmiah sederhana. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil investigasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan/argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran. Setelah selesai menyusun karya ilmiah, peserta didik diajak untuk menilai kelebihan dan kekurangan karya ilmiah dan hasil re-kreasi yang disusun kelompok lain dengan kriteria yang telah disiapkan guru.

F. Dampak Instruksional dan Pengiring
Model investigasi kelompok cukup menarik, bermanfaat dan komprehensif yang memadukan tujuan penelitian akademik, integrasi sosial, pembelajaran sosial dan proses sosial. Model ini dapat digunakan dalam semua subjek pelajaran, pada peserta didik dalam semua umur.

Dalam bentuk bagan, dampak instruksional dan  pengiring model investigasi kelompok sebagai berikut.

PENUTUP
Pengembangan model investigasi kelompok dengan penambahan langkah re-kreasi diharapkan dapat mengembangkan kompetensi individu peserta didik. Hasil re-kreasi yang dipajang atau dimuat pada blog juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengenalan dan  penyebarluasan pendidikan multikultural. Melalui pembelajaran menulis peserta didik diharapkan mengenal dan memahami beragam budaya yang dimiliki oleh umat manusia yang pada gilirannya akan tumbuh saling pengertian dan menghargai perbedaan kebudayaan di antara sesama. Pembelajaran menulis tidak boleh dijadikan sarana propaganda bagi satu kebudayaan atau paham tertentu sebab hal ini akan bertentangan dengan konsep multikulturalisme. Dalam kerangka ini, guru harus menyediakan bahan ajar yang inklusif, dan bukan ekslusif terhadap beragam kebudayaan umat manusia.

 

 

Pengembangan model investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis konteks multikultural  diharapkan dapat:

(1)     mengoptimalkan peserta didik untuk mengeksplorasi potensi budaya yang dimiliki, mengenal, memahami dan menghargai budaya yang berbeda dengan prosedur pemilihan topik, perencanaan kooperatif, penerapan, analisis dan sintesis, presentasi, re-kreasi dan evaluasi. Kompetensi  menulis karya ilmiah dapat dikembangkan dengan mengangkat masalah-masalah multikultural yang hidup di lingkungan peserta didik.

(2)     mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Pembelajaran konteks multikultural adalah salah satu model pembelajaran pendidikan multikultural yang diharapkan bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hall, Gene E, Linda F. Quinn dan Donna M. Gollnick. 2008. The Joy of Teaching: Mengajara dengan Senang. Terjamahan Soraya Ramli. Jakarta: PT Indeks.

Hasnun, Anwar. 2009. Pedoman Menulis untuk SMP dan SMA. Yogyakarta: Andi Offset.

Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jacobsen, David A, Paul Eggen & Donald Kauchak. 2009. Methods for Teaching: Metode-Metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Peserta didik TK-SMA. Terjemahan Achmad Fawaid & Khoirul Anam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Supriadi, Dedi. 1997. Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Rosda Jayaputra.


Guru dan Karakter Bangsa

$
0
0

Oleh : Zaenal Arifin, S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kroya, Cilacap dan Sekretaris ISPI Cilacap

“Kedisiplinan yang rendah, ketenggangrasaan yang meluntur, keramahan yang menipis, kepekertian yang memudar, keteladanan yang menghilang, dan prestasi yang rendah merupakan merupakan cermin dunia pendidikan kita akhir-akhir ini” (Ki Supriyoko).

Seolah membenarkan pendapat Ki Supriyoko di atas, SMP Purnama 2 Cilacap mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Peran Satuan Pendidikan dalam Menanamkan Pendidikan yang Berbasis Karakter Bangsa”. Dalam seminar tersebut mengemuka anggapan yang kuat bahwa karakter bangsa: disiplin, tenggang rasa, ramah, budi pekerti, dan keteladanan telah hilang dari dunia pendidikan. Kasus-kasus yang menimpa dunia remaja dewasa ini semakin menguatkan anggapan tersebut. Narkoba, perkelahian, seks bebas, asusila, bahkan tindak kriminal merupakan sesuatu yang marak terjadi di kalangan remaja kita.

Di mana peran pendidikan formal dalam mereduksi masalah-masalah itu? Barangkali tidak salah jika sebagian besar masyarakat menuding bahwa pendidikan formal telah gagal dalam mencetak murid yang memiliki karakter bangsa. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan kegagalan tersebut, yaitu manajemen sekolah dalam mengaktualisasikan visi sekolah dan keteladanan guru.

Aktualisasi Visi Sekolah
Sejak era MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), setiap sekolah diharuskan memiliki visi sekolah, di mana visi itu dijadikan ‘ruh’ dari perjalanan sekolah dalam menjalankan perannya. Atau bisa dikatakan visi sekolah adalah jiwa seluruh perangkat kerja sekolah (termasuk program kerja sekolah) dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sejak saat itu pula, seluruh sekolah telah menyusun visinya. Banyak pula di antaranya yang menyelipkan aspek karakter bangsa di dalam visi sekolahnya.

Sebuah sekolah menyusun visinya “Membentuk Generasi yang Berkompetensi Tinggi, Beriman, Santun, dan Mandiri”. Sekolah yang lain visinya “Unggul dalam Prestasi, Santun dalam Perilaku”. Dari visi dua sekolah tersebut, nampak bahwa pembentukan karakter bangsa pada siswa di sekolah itu, sangat kuat menjiwai langkah kerja sekolah itu. Berkompetensi/berprestasi tinggi adalah dalam rangka mengejar aspek kognitif, dan aspek afektif tercermin dari visi beriman, santun, dan mandiri. Jika visi sekolah tersebut diaktualisasikan dengan optimal, saya kira kondisi pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Ki Supriyoko di atas tidak terjadi.

Pada kenyataannya, visi sekolah saat ini, sebagian besar hanyalah simbol atau slogan belaka. Aktualisasinya dalam kebijakan sekolah terbilang rendah. Sebagian besar sekolah hanya mengedepankan aspek kognitifnya (prestasi akademik) dan melupakan aspek lainnya.

Keteladanan Guru
Hal lain yang juga mengemuka dalam seminar nasional di atas adalah rendahnya keteladanan guru. Guru merokok di kelas, guru terlambat datang ke sekolah (atau masuk ke kelas), guru yang tidak berpakaian semestinya, guru yang kurang menguasai materi yang disampaikan kepada siswa, barangkali adalah pemandangan jamak yang terjadi di sekolah.

Sejak dulu, guru selalu menjadi anutan tidak hanya siswa di sekolah, tetapi juga masyarakat di luar sekolah dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tidak salah jika Ki Hajar Dewantara menciptakan semboyan bagi guru: ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani(di belakang memberi dorongan).

Rasulullah SAW, ketika memerintahkan kebaikan, maka beliaulah orang pertama yang menjalankannya, dan ketika memerintahkan manusia menjauhi kejahatan, maka beliaulah orang pertama yang menjauhinya. Dalam ajaran Rasulullah SAW ini, kesesuaian perkataan dan perbuatan adalah hal yang sangat penting. Ketika guru menyampaikan tata tertib sekolah, maka gurulah orang pertama yang harus menegakkan peraturan tersebut pada dirinya. Ketidaksesuaian antara perkataan dengan perbuatan yang dilakukan guru hanya akan membuat murid bingung, dan akhirnya tidak menghiraukan perkataan tersebut.

Model-model Pembelajaran Geografi

$
0
0

Oleh : Momon Sudarma, S.Pd., M.Si
Penulis Buku “Model-model Pembelajaran Geografi”

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, berkah hidayah dan nikmat sehat yang diberikan Allah Swt, penulis mampu menyelesaikan impian ini. Impian lama untuk menuangkan pengalaman mengajar ke dalam bentuk wacana. Walaupun pada dasarnya, berbagai hal yang dalam buku ini, tidak seluruhnya pengalaman, ada juga pengetahuan, dan atau juga harapan. Hal itu, kelak akan pembaca temukan pada bab khusus dibagian akhir, yaitu wacana yang lebih merupakan hasil kajian terhadap model pembelajaran dan media pembelajaran yang sudah beredar di masyarakat.

Bila selama ini, kita menemukan sejumlah model pembelajaran atau kajian kependidikan yang sangat text books, maka dalam kesempatan sekarang ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyakinan profesi mengajar mengenai praktek mengajar dari apa yang teralami, terketahui dan teringinkan. Setidaknya inilah pengalaman mengajar, sebagaimana yang pernah dirasakan, dibaca dan diinginkan. Mudah-mudahan, apa yang dituliskan ini dapat memberikan rangsangan kepada rekan seprofesi lain untuk turut juga ambil bagian dalam mempublikasikan pengalaman, pengetahuan dan pemikirannya.

Dalam konteks yang berbeda, hasrat menulis karya ini atau semangat yang dimiliki ini, tiada lain karena terinspirasi oleh pesan moral Rasulullah Muhammad Saw. ”sampaikanlah olehmu, walaupun hanya tahu satu ayat…” Sekali lagi, kendati dalam konteks yang berbeda, spirit mengkomunikasikan pengetahuan, pengalaman atau pemikiran ini, kiranya tetap perlu diacu sebagai buah dari inspirasi Rasulullah Muhammad Saw dalam hidup ini. Dengan spirit itu jugalah, kendati pengetahuan atau pengalaman mengajar geografi ini sangat sedikit (hanya satu ayat atau satu bait atau satu kali atau satu model), tetapi terbakar semangat untuk bisa mengkomunikasikannya kepada rekan seprofesi lainnya.

Di lain pihak, memang terdapat sejumlah alasan untuk menulis tema ini. Alasan yang paling praktis, kerap kali saya pribadi mengalami kesulitan untuk menemukan model pembelajaran yang cocok untuk diterapkan di kelas. Bila harus membaca ke sana ke mari, harus beli buku ini dan buku itu, kadang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Memang, kita sudah dimanjakan dengan internet, sebuah teknologi yang dapat dengan cepat membantu kita menemukan informasi yang kita inginkan, tetapi bagi banyak kalangan dan banyak pihak, informasi itu kurang bisa diterapkan secara praktis, terlebih lagi banyak yang menggunakan bahasa asing. Karena alasan itulah, kebutuhan untuk memiliki panduan praktis mengenai model pembelajaran menjadi kuat dalam diri ini.

Di sisi lain, tuntutan untuk membuat karya ilmiah, khusus PTK (Penelitian Tindakan Kelas), tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan guru untuk mempelajari variasi model pembelajaran. Dalam wacana yang saya sampaikan, untuk konteks kegeografian, saya sebutnya PTR (Penelitian Tindakan Keruangan).[1] Model pembelajaran inovatif dengan PTK, seolah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. PTK adalah sebuah tindakan praktis dalam memperbaiki layanan pendidikan. Kualitas pendidikan tidak akan dapat berubah menjadi lebih baik, bila kita tidak memperhatikan dan memperbaiki aspek model atau strategi pembelajaran. Karena alasan serupa itulah, maka belajar mengenai model pembelajaran menjadi sangat penting.

Paparan yang ditampilkan dalam buku ini, diusahakan semaksimal mungkin sebagai sebuah uraian yang singkat, sederhana, dan praktis. Sehingga guru di lapangan, atau mahasiswa pendidikan geografi umumnya dapat dengan mudah memahami variasi model pembelajaran tersebut. Sejumlah uraian yang dikembangkan dalam wacana ini, merupakan pengalaman pribadi dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru geografi, dan sebagai tindak lanjut dari hasil Pendidikan dan Latihan Profesi Guru di akhir tahun 2012.

Akhirnya, penulis perlu ucapkan terima kasih kepada beberapa pihak, khususnya yang membantu memberikan informasi mengenai model pembelajaran kreatif dan inovatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dan kegairahan kita dalam belajar dan mengajar.

Wacana yang disajikan dalam buku ini, bukanlah pilihan terbaik. Wacana ini, hanya pilihan yang penulis anggap mudah dan bisa diterapkan dalam praktek mengajar di kelas. Oleh karena itu, bila ditemukan sejumlah informasi mengenai inovasi pembelajaran yang lainnya, maka, itulah pembelajaran yang perlu kita perhatikan pula.

Belajar terus, terus belajar, dengan itulah kita bisa mempertahankan kualitas diri kita, dan meningkatkan kualitas pelayanan sehingga melahirkan generasi muda yang berkualitas

Secara khusus, ucapan terima kasih ini, kami sampaikan kepada komunitas MGMP Geografi Kota Bandung dan Asosiasi Pendidik Geografi Indonesia (APGI). Kang Latief, Kang Mustar, Kang Agus, Kang Abdurrahman, dan Iis serta bu Cucu, yang seringkali mengingatkan untuk terus berkumpul dan berdiskusi mengenap pendidikan geografi di Kota Bandung. Ucapan ini pun, penulis sampaikan pula kepada Kyai-nya Geografi, Dr. Mamat Ruchimat, dan Dr. Ahmad Yani, juga gurunya guru geografi di UPI, yaitu Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja dan Dr. Epon Ningrum. Terima kasih atas dorongan, dan ilmu yang sudah diwariskannya selama ini.

Khusus untuk Dr. Mamat Ruchimat dan Prof. Dr. Enok Maryani, barangkali inilah, kemampuan penulis untuk menjawab tantangan yang diajukan tempo hari. Bila tempo hari, masih ada keraguan akan keprofesianku sebagai tenaga pendidik (guru) di sekolah, masih ragu akan kegeografianku, maka hari ini, mohon maaf, di sini, ingin berujar, “Pak, Bu, inilah Aku, Aku masih sebagai guru, bukan yang lain…”. “Aku adalah ABG-B adalah Aku Bukan Guru Biasa”. Karya ini, sebagai bentuk penghormatanku kepada para guru, dosen, dan orangtua yang sudah mengajari hidup yang lebih baik.

Setiap membuat kata pengantar, senantiasa teringat kepada Dr. Darun Setiadi. Semoga sehat selalu, dan inilah bakti adikmu terhadap profesi ini. Asahan keilmuan, penulis dapatkan juga dari Iwan Rosadi, MPd., dan Kokom Komariah, M.P.Fis, serta guru-guru di MAN 2 Kota Bandung dan di MAS/Mualimin Manbaul Huda. Ucapan terima kasih, akhirnya patut disampaikan kepada keluargaku di rumah, dan di kampung halaman. Istriku, Winda, dan anak-anakku, Iqbal Fahdil Tresnadarma, serta Muhammad Aidil Fathir Sudarma, semoga kalian semua mendapatkan berkah dari setiap langkah dalam hidup ini. Amin.

Terima kasih kepada semua, terima kasih atas semuanya. Semoga Allah Swt memberkahi dan melindungi kita semua. Amin.

Quovadis Uji Kompetensi Guru

$
0
0

Oleh : Jaja Jamaludin, S.Pd., M.Si
Dosen Bosowa University dan menjabat Wakil dekan I FKIP Bosowa University.

Hari-hari ini para guru se-nusantara tengah sibuk dengan Uji Kompetensi Guru (UKG). UKG ini semacam ujian nasional bagi para guru yang notabene untuk pemetaan kualitas guru. Sepintas, istilah Uji kompetensi Guru, begitu sangat menarik dan boleh jadi kita mengatakan setuju 100%. Namun, ternyata bila kita lihat lebih seksama, sesungguhnya UKG ini tidak lebih dari sekadar ujian dengan kadar dan kualitas sama dengan penyelenggaraan Ujian Nasional untuk siswa, yakni sama-sama quovadis kalau tidak disebut absurd orientasinya.

Setidaknya ada 5 (lima) alasan mengapa UKG berkadar Quovadis. Pertama, UKG Inkonstitusional. UKG tidak memiliki basis legitimasi konstitusional secara explisit. Sebagaimana kita pahami, tidak ada satu pun legal standing sebagai dasar dari sembilan landasan peraturan yang disebutkan dalam pedoman UKG, yang dapat dijadikan pembenaran dilaksanakannya UKG. Sebagai contoh PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemetaan hanya berlaku untuk siswa melalui Ujian Nasional, tidak disebutkan pemetaan guru melalui UKG. Kemudian, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan pemerintah wajib mensertifikasi guru hingga 2015, bukan menguji guru bersertifikat. Masih ada sekitar 1,8 juta lebih guru belum disertifikasi. Jadi, UKG jelas inkonstitusional.

Kedua, UKG cacat substantive. Sebagaimana kita ketahui, secara substantive, UKG sejatinya harus mengukur 4 kompetensi guru yaitu, kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi social dan kompetensi kepribadian. Pada praktikanya UKG hanya mengukur dan menguji hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman guru secara kognitif belaka. Ini karena UKG dilakukan dengan ujian Online atau semacam Computer Based Test (CBT). Sudah pasti 2 domain penting lainya yakni afektif dan psikomoterik guru luput dari pengukuran dan pengujian. Padahal 2 domain yang disebut terakhir justru merupakan puncak tertinggi gambaran kesejatian seseorang benar-benar guru yang kompeten. Alih-alih ingin memetakan kompetensi kualitas guru justru yang terjadi adalah pengukuran dan pengujuian reduksionis.

Ketiga, Akibat Cacat substantive, maka UKG tidak lebih menjadi produk kebijakan Invalid kalau tidak disebut gagal fungsi. UKG dengan model seperti yang diselenggarakan sekarang jelas tidak mampu secara tepat dan presisif untuk mengukur dan menguji komprehesivitas kompetensi seorang guru. Oleh karena UKG berkadar Invalid, maka apapun hasil yang didapat dipastikan tidak mampu mengeksplorasi secara komprehensif kompetensi guru. Jika data ini digunakan untuk pemetaan guru secara nasional
sekalipun maka peta kompetensi guru nasional juga berkadar invalid.

Keempat, UKG telah merampas hak public dan stakeholder guru dalam memberikan penilaian atas kompetensi kepada guru tersebut. Jadi, UKG lebih merupakan aksi sepihak pemerintah yang tidak disadari telah merampas hak untuk menguji / meng-apresiasi guru oleh stakeholder guru seluas 360 derajat. Murid sejatinya berhak untuk menilai dan mengapresiasi gurunya. Teman sejawat juga punya hak untuk saling melakukan koreksi dan menilai serta mengapresiasi dalam membangun profesionalitas sebagai sesama pendidik. Kepala sekolah sebagai pimpinan dan sekaligus atasan langsung sudah tentu berhak untuk menilai, menguji dan sekaligus membimbing guru tersebut sebagai anak buahnya. Orang tua dan masyarakat juga berhak untuk menilai dan menguji kompetensi guru.

Namun, jika metodologi penyelenggaraan UKG sebagimana kita lihat, tentu seluruh stakeholder guru diluar pemerintah telah dirampas haknya. Padahal, pada saat yang sama, secara cultural stakeholder guru (diluar pemerintah) juga berpeluang besar untuk memberikan apresiasi kepada guru tersebut yang mungkin akan jauh lebih besar nilai dan maknanya daripada gaji bulan guru yang dibayar pemerintah atau lembaga swasta/yayasan (untuk sekolah swasta).

Kelima, UKG inefesinsi APBN. Sudah dipastikan bahwa UKG dibiayai dari dana APBN yang bersumber dari uang rakyat. Padahal, keempat alasan diatas jelas telah membuktikan bahwa kebijakan UKG adalah inkonstitusional, Cacat Substantive, Invalid, dan merampas hak publitinya. Kebijakan yang inkonstitusional jelas sejatinya harus distop tidak dilaksankan bukan malah dibiayai. Ini jelas merupakan kebijakan yang sembrono alias absurd. Sudah tentu hasil UKG yang menyedot miliaran rupiah dana APBN ini hanya akan bernasib sama seperti UN bagi siswa yang justru telah memproduksi sikap dan prilaku antitesa dari tujuan pendidikan itu sendiri.

UKG alih-alih ingin mengukur dan menguji mutu guru jsutru yang akan dan bahkan sudah terjadi di beberapa tempat, justru telah memproduksi sikap dan prilaku tercela dari para guru yang mengikutinya. Sebagai contoh, ada beberapa guru yang melakukan ujian dengan tidak mengedepankan kejujuran. Jika demikian, maka UKG hanya akan menjadi mesin produsen prilaku dan mental bobrok guru ketimbang menghasilkan pemetaan kualitas guru.

Sejatinya, pemerintah meninjau kembali kebijakan UKG dengan model dan metodologi penyelenggaran seperti sekarang. Mengetahui konfigurasi kualitas guru jelas penting, tetapi untuk mendapatkan data yang valid dan komprehensif mustahil dengan cara-cara reduksionis.‪#‎wallahu‬’alam#

Mereposisi Profesi Guru

$
0
0

Oleh : Maswito
Mantan Guru SMK Negeri 1 Kota Tanjungpinang, saat ini anggota Majelis Pendidikan Provinsi Kepri

SEBUAH pengalaman menarik saya ingin saya ketengahkan kepada pembaca. Yakni, sebuah pengalaman pribadi ketika saya baru diangkat jadi calon pegawai negeri sipil awal tahun 2005 lalu. Untuk sebuah keperluan, saya diperintahkan atasan saya menemui seorang pejabat penting di daerah tempat saya mengajar. Saat berjumpa denganya, saya mengucapkan salam kepada sang pejabat yang saat itu sedang sibuk menandatangani surat-surat di atas meja kerjanya. Beliau menjawab sekenanya tanpa mengangkat kepala. Jantung saya langsung berdetak menghadapi kenyataan ini.

Setelah selesai dengan surat-surat yang ditandatanganinya, barulah sang pejabat yang terkesan arogan itu mengangkat kepala dan mempersilakan saya duduk di kursi kosong di depannya. Beliau menanyakan keperluan saya. Saya mencatat ada tatapan dingin dan sikap arogan yang dipertontonkannya kepada saya. Saya mendengar rupanya kejadian serupa juga sering dialami oleh rekan-rekan saya sesama guru jika berurusan dengan kalangan birokrasi. Kata-kata saudara dari mana? Bapak lagi sibuk atau ada tamu dan sebagainya sering kali terdengar jika seorang guru mau berurusan. Maaf, ini adalah realitas yang perlu saya sampaikan apa adanya tanpa harus ditutupi.

Sebelum menjadi guru, selama beberapa tahun saya pernah berkecimpung di dunia swasta. Dan, seingat saya perlakuan seperti itu belum pernah saya alami – karena di berbagai perusahaan tempat saya bekerja, pimpinannya selalu memperlakukan karyawan sebagai sebuah aset yang berharga. Setelah peristiwa itu, saya sering mengamati rekan-rekan saya ketika datang menjumpai pejabat harus menunduk atau terbungkuk-bungkuk untuk mendapatkan sebuah pelayanan dari kalangan birokrasi. Akan tetapi ketika ada rekanan atau kontraktor yang datang, pelayanan yang mereka terima aduhai manisnya. Terkadang saya cemburu, tapi untuk apa? Tak ada gunanya juga jika mental pejabat selalu ingin dilayani dan tak mau melayani. Iya kan?

Saya ‘curhat’ kepada seorang guru senior soal pelayanan yang kurang memuaskan yang saya alami dan yang sering diterima guru jika berhubungan dengan pejabat. Spontan beliau menjawab: “Saat ini pelayanan terhadap guru sudah agak berubah ke arah yang lebih baik. Pada zaman Orde Baru, parah lagi,” katanya menasehati sembari berharap saya bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada.” Saya membatin mendengar ucapannya itu.

Lalu dia melanjutkan, perlakuan terhadap guru yang tidak layak pada zaman Orde Baru merupakan konsekuensi dari terposisinya guru sebagai karyawan birokrasi pemerintah, tanpa kemampuan untuk mendobrak kekuasaan saat itu yang begitu tidak memberikan kesempatan untuk guru berkembang dan mengharuskan guru untuk tunduk kepada perintah. Pada zaman reformasi ini, katanya, kendati telah banyak perubahan dalam memberikan pelayanan, perlakuan terhadap guru belumlah mencerminkan sebuah perlakuan yang selayaknya mereka terima. Yakni, sebuah perlakuan sebagai tenaga profesional. Artinya, kalau profesi lain seperti dokter, hakim, akuntan, polisi, jaksa, dan sebagainya mendapatkan penghidupan yang layak, mengapa guru tidak? Tugas yang disandang guru juga tidak lebih ringan dibandingkan dengan profesi tersebut di atas karena guru berhadapan dengan manusia yang senantiasa menghabiskan energi psikis daripada phisik.

Dan, untuk menjadi seorang guru sebagaimana amanat UU No. Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disyaratkan pendidikan khusus profesi. Dan, seperti bidang keilmuan lainnya di Indonesia, untuk lulus S-1 atau D-4 dari perguruan tinggi diperlukan waktu tidak kurang dari empat tahun. Ditinjau dari sisi ini, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui kesetaraan guru dengan profesi lainnya. Kendati kenyataannya pelayanan yang diterima guru sedikit berbeda dari mereka jika berhubungan dengan kalangan birokrasi.

Saya setuju dengan pendapat Elslee YA Sheyoputri (2005) yang mengatakan hanya ada dua profesi di dunia ini yakni: guru dan bukan guru. Alasannya jelas, gurulah yang membidani kelahiran profesi apapun. Dengan kata lain, tidak ada profesi lahir di dunia ini tanpa tangan dingin guru. Sayangnya, kebijakan yang diambil dari awal sudah keliru, dengan tidak menghargai guru sebagai profesi yang bisa menjamin kesejahteraan hidup penyandangnya.

Sebagai ujung tombak pendidikan, guru perlu bekerja tenang dan fokus tanpa terbebani dengan masalah. Ini berarti guru perlu mendapat jaminan kesejahteraan hidup, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan keamanan, jaminan keselamatan kerja, jaminan bagi anak-anak mereka di semua jenjang pendidikan serta jaminan untuk peningkatan kompetensi.

Jika ada orang yang mengatakan RUU tentang Guru dan Dosen yang sudah disahkan menjadi UU oleh DPR-RI pada 2005 dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Zaenal Ma’arif sebagai “hadiah” untuk guru, saya berpikiran agak lain. Itu adalah “hak” yang sudah sejak lama seharusnya diberikan kepada guru. Sebagai profesional, guru juga menyadari bahwa hak senantiasa berdampingan dengan kewajiban. Fair play dan aturan main memang perlu ada karena sangat tidak etis menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban.

Sikap Profesional
Usaha mereposisi profesi guru tidak akan menghasilkan momentum yang diinginkan jika tidak disertai sikap yang profesional. Untuk menghadapi sikap profesional tersebut, guru harus menghadapi tantangan untuk mengubah tiga hal. Yakni, mindset, heartset, dan skillset.

Mindset adalah perubahan pola pikir yang berorientasi pada kualitas dari kerja sebagai mata pencarian menjadi kerja sebagai pemuliaan martabat kemanusiaan; dari mengajarkan mata pelajaran menjadi mengajar manusia melalui mata pelajaran; dari guru buruh menjadi guruh pemimpin; dari pandangan birokrat adalah bos menjadi birokrat adalah mitra; dari manusia puas ilmu menjadi manusia haus ilmu; dari kerja induvidu menjadi kerja tim.

Heartset adalah perubahan perilaku guru dalam kesehariannya. Sikap di antaranya sikap terhadap peserta didik dan mitra kerja adalah melayani bukan dlilayani; menolak segala bentuk kekerasan dalam pendidikan, bukan menerapkan; mendampingi peserta didik mencapai kemampuan optimalnya bukan membiarkan mereka tersesat; memberikan yang terbaik bukan seadanya; mencontohkan perilaku menghargai lingkungan, bukan sekadar memberitahu bagaimana menghargai lingkungan; bangga akan profesinya buka merasa rendah diri; malu melakukan perbuatan tercela, bukan malah ikut serta melakukannya; dan di atas segalanya, memberi tauladan karena guru adalah kurikulum yang hidup. Inilah proses transper nilai yang merupakan roh pendidikan.

Skillset adalah perubahan yang mengacu pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan, berkreasi, dan berinovasi, baik di bidang akademik maupun mengikui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperkaya pelayanannya terhadap peserta didik di samping menjaga wibawa dan martabatnya.

Tatty S.B. Amaran, seorang profesional muda mengatakan bahwa pengembangan profesional diperlukan “KASAH”. KASAH adalah akronim dari Knowlodge (pengetahuan), Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Atttitude (sikap diri), dan Habit (kebiasaan diri). Adakah guru mempunyai KASAH itu, atau hanya pandai berkeluh kesah, terutama tentang subsidi dan insentif? Sementara tak pernah mencoba mendekati diri menjadi profesional, bahkan mungkin sudah termasuk kelompok yang tidak rasional.

Adalah tragedi yang amat menyedihkan jika peserta didik ternyata lebih berkompeten daripada gurunya, karena itu hanya berarti satu: guru tidak dibutuhkan lagi. Sekarang yang diharapkan itu adalah guru yang sukses yang tidak hanya kaya secara materi namun juga kaya dalam nilai-nilai moral dan spritualnnya. Guru cerdas, smart yang mampu memberdayakan segala kualitas positif dalam dirinya berhak untuk mengukir nasibnya sesuai dengan yang dia impikan. Kalau kita ingin mengubah nasib kita, kita harus memulainya dengan cara berpikir kita. Orang bijak berkata: “You can if you thing you can.”

Akhirnya, lewat tulisan yang sederhana ini saya mau mengutip pendapat mantan Sekretaris Jenderal Pusat PGRI, Drs. H. Soemardhi Thaher: “Perjuangan guru untuk menjadi lebih baik menuju kesuksesan adalah sebuah perjuangan tanpa akhir. Seorang guru baru berhenti menjadi guru ketika dia menghembuskan napasnya yang terakhir.”

Cara Semut

$
0
0

Oleh : Karim Suryadi
Dosen PKn FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia dan peneliti komunikasi politik
Saat ini menjabat Dekan FPIPS UPI Bandung

Sumber Tulisan : Pikiran Rakyat
MUNCULNYA surat permintaan fasilitasi saat melakukan kunjungan keluar negeri yang dipandang sebagai bentuk kegagalan pejabat publik memahami visi revolusi mental pemerintahan Joko Widodo, dan mentalitas pejabat muda yang dinilai masih memelihara sifat patrimonial (Kompas, 3 April 2016 hal 2) merupakan ujian bagi “projek” revolusi mental pemerintahan Joko Widodo, sekaligus peringatan bahwa muda secara biologis tidak identik dengan pemikiran segar dan gagasan baru.

Revolusi mental menjadi doktrin politik (meminjam istilah Harold D. Lasswell), atau filsafat politik (menurut Mac Iver), atau formula politik (menurut Gaetano Mosca) pemerintahan Joko Widodo yang didengungkannya sejak masa kampanye. Publik menyambut gagasan ini, dan mengkonversinya menjadi dukungan dalam pemililhan presiden setahun silam.

Tawaran Joko Widodo sebangun dengan kegeraman publik karena proses pembangunan kerap dirusak, atau setidak-tidaknya dihambat oleh mentalitas yang tidak mendukung, seperti yang sejak lama digambarkan Koentjaraningrat sebagai mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas, tak percaya diri sendiri, tak berdisiplin murni, dan mengabaikan tanggung jawab. Ciri kurang sedap pun pernah digambarkan Mochtar Lubis, yang antara lain menyebut hipokrit, bersikap feodal, berkarakter lemah, dan memercayai takhayul.

Tak heran, bila semua presiden menyoal masalah ini. Mereka pun menyodorkan beragam langkah solusi. Bila Soekarno memajukan beragam kursus dan pencerdasan rakyat, maka Soeharto mencetuskan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Berbeda dengan keduanya, Presiden Wahid melakukan restrukturisasi kementerian dan menyerahkan sebagian urusan kepada masyarakat sebagai upaya membangun kemandirian dan meningkatkan partisipasi masyarakat.

Sementara pada era Presiden Yoedhoyono pendidikan karakter menjadi salah satu tema penting, termasuk memperbaharui kurikulum sekolah guna memberi porsi yang lebih besar bagi pendidikan karakter.

Namun pada era Presiden Joko Widodo pembangunan mentalitas bangsa seakan menemukan kembali momentumnya. Janji melakukan revolusi mental telah didengungkan sejak kampanye calon presiden. Publik terpikat dengan janji itu, bukan hanya pemilihan kata “revolusi” yang mengesankan janji akan dilakukannya upaya luar biasa untuk mengatasi penyakit mental bangsa, tetapi juga karena representasi Joko Widodo yang dikesani sebagai merakyat, sederhana, dan dekat dengan warga.

Wajar bila harapan publik melambung, sehingga di awal pemerintahannya banyak warga mengadukan berbagai penyimpangan langsung ke hotline yang disediakan presiden.

Sayangnya revolusi mental yang digagas Jokowi, lengkap dengan usaha menghidupkan kembali ajaran trisakti yang dicetuskan Bung Karno, belum tampak dalam gerak birokrasi di bawahnya. Jokowi seperti menabrak karang ketika akan membumikan gagasan revolusi mentalnya ke dalam struktur birokrasi di pusat dan daerah, yang puluhan tahun terbiasa dengan kultur yang menempatkan pejabat sebagai boss, beradat bangsawan, dan selayaknya dilayani dan diagung-agungkan.

Sebagai sebuah gagasan dan pemikiran (atau credenda menurut ilmuwan politik Charles E. Merriam), Jokowi telah berulang kali menyampaikannya. Pun para menteri dan pejabat terkait sering pula menyebut-nyebut revolusi mental. Bahkan konon ada anjuran bagi pegawai negeri sipil untuk memakai hitam putih sebagai salah satu seragamnya, meskipun filosofi dan maksud kebijakan ini tidak dipahami oleh pegawai negeri yang memakainya.

Yang dinanti publik adalah langkah Presiden Jokowi, para menteri dan pejabat terkait di pusat dan daerah dalam menghidupkan kebiasaan atau praktik bernegara yang mampu menumbuhkan perasaan (atau miranda menurut ilmuwan politik Charles E. Merriam) yang dapat memengaruhi jiwa masyarakat.

Kreativitas Jokowi saat melantik menteri, atau gubernur, atau ketika Presiden bepergian menggunakan pesawat kelas ekonomi sempat mengundang decak kagum, namun pesannya sayup-sayup meredup ketika Presiden lebih menggenjot pembangunan infrastruktur dan para menteri berlomba melakukan “blusukan”.

Karakter atau sikap mental tidak serta merta terbangun seiring penyediaan infrastruktur modern. Berkaca pada pengalaman bangsa lain yang lebih maju, mereka telah menggarap “proyek” pendidikan karakter jauh sebelu mmenggenjot pembangunan infrastruktur. Bahkan dalam dunia pendidikan pun, mereka menanamkan pendidikan karakter di kelas-kelas rendah, sebelum melatih kemampuan berpikir saintifik.

Namun jarum jam tidak mungkin diulang. Lagi pula sejak awal, ma’nan wal afzan, baik tersirat maupun tersurat, kaidah moral sejatinya telah membidani kelahiran republik ini. Rumusan Pancasila telah dibahas mendalam jauh sebelum negara ini diproklamirkan. Sayangnya, hubungan Pancasila dan praktis politik tidak selalu seiring.

Praksis politik terlalu mudah tergoda, dan berpaling kerujukan nilai yang lain. Untuk menyelamatkan proyek revolusi mentalnya, Presiden Jokowi perlu mendorong perubahan nyata pada level suprastruktur politik. Perubahan dimaksud mengubah kebiasan mempraktikkan “hard power” ke arah penggunaan “soft power”. Sudah saatnya para penguasa mengakhiri mewujudkan sesuatu yang diinginkan dengan mengandalkan uang, surat sakti, koneksi, teror, intimidasi, atau pengucilan sosial dan menggantinya dengan kemampuan memperoleh apa yang diinginkan dengan mengandalkan daya pikat, da nmeraih keberpihakan seseorang.

Ilustrasi yang bagus untuk transformasi mental sepeti dilukiskan di atas adalah meniru cara semut merebut pengaruh sesamanya. Sebagai mana terungkap dalam berbagai riset, seekor semut menjadi pemimpin bukan karena tubuhnya paling besar atau karena sengatannya paling mematikan, namun karena paling banyak mengeluarkan feromon.

Semut yang paling banyak mengeluarkan feromon menjadi pemimpin koloni semut, menunjukkan jalan terdekat menuju makanan, dan memberi peringatan dini datangnya ancaman.

Semua kebaikan moral tidak akan tumbuh bila kehormatan diri dibangun di atas kegilaan akan sanjungan. Karena itu, para ulama alim mengajarkan tanamkanlah wujudmu pada tanah kerendah(hati)an, sebab sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam tidak akan sempurna.***

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional

$
0
0

Oleh : Dra. Eko Hastuti, M.M.
Anggota ISPI dan staf edukatif pada SMP Negeri 1 Wonosobo

Sebagian warga Indonesia khususnya yang bekerja pada instansi pemerintah dan kalangan dunia pendidikan, tadi pagi tentu melaksanakan upacara Hari Kebangkitan Nasional, yang tepat jatuh pada Jum’at, 20 Mei 2016. Seperti halnya upacara-upacara lainnya, peserta diwajibkan mengikuti serangkaian upacara dengan tertib, khidmat, dan sungguh-sungguh. Baik itu pembina upacara, petugas, maupun peserta karena upacara selain menjadi agenda rutin juga bentuk penghormatan terhadap esensi dari peringatan itu sendiri. Misalnya upacara Hari Kartini, tentu memperingati perjuangan RA Kartini dalam menyetarakan persamaan hak-hak perempuan dan memajukan pendidikan. Upacara Hari Kemerdekaan adalah penghormatan kepada para pahlawan yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan dan upaya untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri. Demikian juga dengan upacara hari besar lainnya, tentu mempunyai esensi masing-masing.

Berkaitan dengan hal tersebut lantas terpikirkan esensi apa kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional tadi? Apakah hanya sekedar ceremonial belaka? Tentu saja tidak. Tanggal 20 Mei 1908 adalah tanggal berdirinya Boedi Oetomo, organisasi pergerakan masyarakat yang bercita-cita Indonesia merdeka. Juga munculnya kesadaran pentingnya organisasi yang berjiwa nasionalisme. Hanya dengan persatuan dan kesatuan Indonesia kita dapat mencapai kemerdekaan. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk, baik dari segi bahasa, agama, budaya, suku, dan wilayah berupa pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke. Bhineka Tunggal Ika, menjadi semboyan yang terus disuarakan demi keutuhan bangsa. Namun setelah Indonesia merdeka, apa yang terjadi hingga kini? Pertikaian antar suku masih terjadi, perseteruan dengan dalih agama masih ada, dunia pendidikan masih stagnan, permasalahan sosial terjadi di mana-mana, dan upaya-upaya untuk mencederai kemerdekaan juga menggejala. Dunia pendidikan kita juga masih memrihatinkan. Adanya perkelahian pelajar, pemerkosaan/pencabulan yang dilakukan oleh pelajar, merokok, mengkonsumsi narkoba, membolos sekolah, dan sebagainya. Meski pemerintah sudah mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dengan berbagai cara, namun mutu pendidikan belum menggembirakan. Sebagai guru yang juga orang tua, merasa miris dengan kondisi itu.


Sebagai guru, ada perasaan sedih dan malu. Sedih karena upaya penanaman karakter di sekolah dengan berbagai kegiatan yang positif, tidak sepenuhnya dapat membentengi siswa memiliki pribadi yang unggul, cerdas, terampil, dan berkarakter. Materi pelajaran, pembiasaan, pembudayaan perilaku positif, dan pengembangan kegiatan eskul seperti menulis dalam air saja. Alias pekerjaan yang sia-sia. Dalam hitungan waktu yang sangat terbatas, karena siswa lebih banyak bersama orang tua dan bergaul dengan masyarakat, namun guru menjadi tumpuan kesalahan. Seakan-akan dosa masa kini dan masa depan berada di pundak guru. Padahal sejatinya guru hanya salah satu faktor dalam penyelenggaraan pendidikan, masih ada faktor lain yang berpengaruh. Faktor orang tua, sarana prasarana, kurikulum, kebijakan pemerintah, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, tontonan yang dilihat, dan pengaruh perkembangan teknologi tercanggih ‘internet’ ikut andil dalam keberhasilan pendidikan di sekolah.

Khususnya teknologi sekarang ini berkembang sangat pesat. Di samping berdampak positif, teknologi juga berdampak negatif bahkan menjadi ancaman terhadap kebribadian siswa dan keutuhan NKRI. Mirisnya lagi, derasnya arus teknologi tidak berimbang dengan kualitas pendidikan. Kondisi ini menjadi lahan empuk karena masyarakat termasuk siswa mudah menerima informasi bentuk apa pun tanpa mampu mem-filter hal-hal yang negatif. Tak heran budaya konsumerisme tak terbendung, menjadikan orang malas, boros, tidak mau bersusah payah, serba instan, dan sebagainya. Akhirnya, dengan berbagai cara orang/siswa melakukan kecurangan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Buktinya, korupsi masih terus terjadi, penegakkan hukum lemah, kolusi, nepotisme, pembocoran soal UN, meyontek, dan lainnya. Juga perilaku-perilaku negatif yang dipertontonkan siswa dalam merayakan kelulusan, seperti mencoret-coret baju segaram, konvoi di jalan raya, merobek-robek seragam, pesta miras, dan lain-lain. Jujur, sebagai guru merasa malu menyaksikan fenomena itu.

Namun rasa sedih dan malu tak cukup untuk menggambarkan keprihatinan itu. Ada rasa kesal bahkan geram, ketika guru dianggap kurang pecus. Sementara di sisi lainnya, guru dibuat tak berdaya, tidak punya keleluasaan dalam mengajar dan mendidik siswa. Guru tidak boleh menghukum siswa yang melanggar tata tertib/norma susila. Guru dengan mudah divonis bersalah dan dipenjarakan. Orang tua tertalu memproteksi guru namun kurang perhatian dengan anak-anaknya sendiri. Jadinya siswa menyepelekan guru, tidak patuh, tidak menghormati/menghargai guru, susah diatur, berani melawan, dan sikap-sikap negatif lainnya.

Sebenarnya masih banyak yang perlu dituangkan di catatan ini, namun cukuplah hal itu menjadi refleksi bersama. Kita harus bangkit dari keterpurukan pendidikan dengan meningkatkan kesadaran bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Tidak perlu menyalahkan satu sama lain, agar generasi muda kita berkarakter dan berkualitas. Semoga peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-108 ini dapat mewujudkan Indonesia yang mampu bekerja dengan nyata, mandiri, dan berkarakter. Salah satunya dengan membudayakan gemar membaca, meminimalisir budaya tutur dan memilih tontonan tayangan (TV/ internet) yang bermanfaat.

Hanya negara maju yang dapat cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tuntutan global. Sementara salah satu ciri negara maju adalah budaya gemar membaca dan gemar belajar yaang tinggi. Sungguh prihatin, minat baca kita baru peringkat 108 dari 187 negara di dunia, lebih rendah dari lima negara ASEAN, seperti Singapura (26), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112). Selamat membaca dan selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional!

Saat Menulis Terasa Membosankan

$
0
0

oleh : Yanuardi Syukur, M.Si.
Dosen Universitas Khairun, Maluku Utara dan Penulis Buku

Yanuardi Syukur

Tiap orang pasti pernah merasa bosan beraktivitas, termasuk bosan menulis. Awalnya terasa sangat sangat indah, menguntungkan, serta membahagiakan. Akan tetapi, di waktu yang lain, menulis jadi aktivitas yang membosankan.

Secara pribadi, saya sering mengalami hal seperti itu. Kadang, laptop sudah dibuka, internet sudah tersambung, tapi tidak ada satupun paragraf yang jadi. Walhasil, tulisan yang direncanakan tak kunjung jadi. Sebaliknya, bermain facebook lama-lama dan nonton Youtube pun jadi pengganti menulis.

Saat terasa bosan menulis, saya membiasakan diriku dengan beberapa hal.

Pertama, jalan-jalan ke tempat yang baru. Saat ini sebenarnya saya lagi bosan menulis, tapi ketika jalan-jalan ke UI Depok, saya coba sempatkan main ke salah satu perpustakaan yang belum pernah saya masuki. Warna kursinya yang begitu terang, AC yang cukup dingin, dan bersih membuat saya sedikit terbantu untuk mulai menulis kembali.

Jadi, jalan-jalan ke tempat baru punya sesuatu yang dapat membangkitkan. Untuk penulis puisi, mungkin bisa jadi berbeda. Mereka perlu keheningan tertentu, atau perlu alam terbuka untuk menerawang apa yang ada di balik awan tersebut, kemudian menuliskannya dalam bebait puisi. Atau, penulis cerpen, novel, dan seterusnya mungkin juga punya cara-cara yang berbeda dalam mengatasi rasa bosan dalam menulis.

Kedua, berkompromi dengan diri sendiri. Tiap kita pasti punya banyak rencana dalam satu hari. Bisa berbentuk pekerjaan kantor, tugas kuliah, atau tugas-tugas lainnya yang begitu menguras tenaga. Banyak yang tidak sempat menulis alasannya seperti itu: “terlalu sibuk”, “pulang terlalu malam”, “tidak ada waktu” dan seterusnya. Padahal, jika mau diseriusi, tiap kita pasti bisa menulis bahkan saat kita lagi tidak mood.

Kalau lagi banyak urusan dan saya ingin menulis, maka yang perlu saya lakukan adalah menunda sementara pekerjaan lain yang bisa ditunda, untuk memulai tulisan tentang apa saja yang saya senangi. Jika kita menulis sesuatu yang kita senangi, biasanya segalanya akan berjalan lebih cepat dan lebih lancar mengalir.

Tidak ada beban. Tidak ada rasa berat. Semuanya terasa menyenangkan.

Ketiga, mencoba melihat sesuatu dengan tidak mainstream. Banyak motivator memotivasi kita agar dalam menulis kita jangan menulis yang biasa-biasa saja. Kita pun diminta menangkap apa hal-hal unik dari sebuah peristiwa yang tampak sepele tapi bisa dijabarkan secara elegan.

Yang paling mudah adalah kata ‘pintu’. Ketika melihat pintu, umumnya orang berpikir bahwa pintu itu bentuknya persegi panjang, tempat masuk/keluar, ada gagangnya, dst. Di sela-sela diskusi informal di Benteng Fort Rotterdam, Makassar beberapa waktu lalu, beberapa orang menjawab seperti itu. Pintu dilihat sebagai benda yang sangat biasa.

Padahal, pintu bisa ditafsirkan lebih dalam lagi. Pintu bisa diartikan gerbang, sebuah gerbang menuju keabadian. Siapa yang ingin menuju surga, maka ia harus rela memasuki sebuah pintu yang bernama kematian. Kendati kematian adalah tema yang sangat berat untuk dibahas, akan tetapi kematian adalah pintu yang sesungguhnya sebelum memasuki dunia kubur.

Ketika kita bosan, cobalah kita melihat dunia ini dengan kacamata yang berbeda. Lihatlah orang-orang yang tidak berdaya di pinggir jalan, peminta-minta, orang yang kakinya rusak, orang yang memiliki kecacatan dalam tubuhnya. Kita melihat itu dengan kacamata kesyukuran. Ah, walaupun saya banyak beban, tapi saya yakin Allah pasti punya rencana untukku. Lihatlah segalanya dengan pendekatan positif, dengan tidak menghakimi orang lain, tidak menyebarkan berita bohong, hoax, dan mendekati manusia dengan rasa kasih dan rasa sayang.

Soal menulis adalah soal kemanusiaan. Kita tidak akan bisa menulis dengan baik jika tak punya rasa kemanusiaan. Tulisan yang baik adalah yang menjaga, merawat, dan memperbaiki, bukan melalaikan, menghancurkan, dan merusak.

Mari coba menulis, terus menulis. Lawan bosan dengan jalan-jalan, kuasai diri sendiri, dan lihat sesuatu dengan kacamata yang berbeda.

UI Depok, 2 Juni 2016


Senyuman dan Lebaran

$
0
0

Oleh : Muhammad Irfanudin Kurniawan, M.Ud.
Direktur TMI Pesantren Putri Al-Hasanah Darunnajah 9 Pamulang, Pesantren Putri Pertama di Tangerang Selatan dan Kepala Madrasan Aliyah MAS Darunnajah 9

Seorang bijak mengatakan, “Senyuman tidak bisa membeli roti, namun dia bisa membeli jiwa”. Maha suci Allah dan Rasulnya yang menjadikan senyuman sebagai ibadah. Senyum yang mengembang dari seorang muslim kepada muslim lainnya mampu mempererat hubungan satu dengan yang lain.

Dalam suasana lebaran yang penuh dengan keberkahan ini sangat mudah bagi kita menemukan senyuman di wajah setiap orang. Tetapi apakah senyuman ini akan terus ada di sepanjang waktu? Terutama pasca lebaran telah berakhir? Bagaimana cara membuat orang lain agar tetap terus tersenyum?

Jawaban dari itu semua ada dalam diri kita, karena senyuman merupakan gambaran dari kejiwaan setiap manusia. Semakin kita bisa mengolah jiwa, maka akan semakin merekah senyuman di wajah kita. Dengan mengolah jiwa yangg melahirkan senyuman, seketika itu kita sudah membuat orang lain tersenyum, karena senyuman adalah cermin yang akan memantul kepada setiap manusia.

Senyuman kala lebaran yang menentramkan hati

Selain mengolah jiwa, untuk menghasilkan senyuman salahsatunya melalui saling berbagi. Dalam haditsnya, baginda  Rasul bersabda yang artinya saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan saling mencintai. Melalui saling berbagi pula tumbuh kedekatan antara satu dengan lainnya. Ada semacam ikatan emosional yang akhirnya membawa kebahagiaan.

Maka tidak heran, di masa lebaran ini hampir setiap kita berkirim hadiah, baik makanan, minuman dan lainnya. Semoga hal ini tidak hanya menjadin ritual atau tradisi semata, tetapi menjadi spirit yang terus kita lakukam kapanpun, di manapun dan kepada siapapun.  Jadi, mari kita tebarkan senyuman…

Semoga!

Penulis dapat dihubungi melalui :
Tw:@darunnajah9
Fb:@darunnajah9pamulang
alhasanah.darunnajah.com

Alumni UPI Menjadi Menteri

$
0
0

Oleh : Mi’raj Dodi Kurniawan, S.Pd.
Magister Sekolah Pascasarjana UPI dan Anggota IKA UPI

Tulisan telah dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat
Sejarah baru telah ditorehkan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), terutama oleh Ketua Umum Ikatan Alumni (IKA) UPI Enggartiasto Lukita. Sebab, dalam pengumuman perombakan jilid II Kabinet Kerja tempo hari di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/7/2016), Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengangkatnya menjadi Menteri Perdagangan RI menggantikan Thomas Lembong.

Peristiwa tersebut adalah torehan sejarah baru. Sebab, di masa-masa sebelumnya, belum pernah ada satu pun alumni UPI yang menduduki posisi menteri. Bahkan, kendati UPI (dahulu IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung) adalah institusi pendidikan tinggi pertama yang fokus mencetak para pendidik di negeri ini, tetapi posisi Menteri Pendidikan RI pun belum pernah dipercayakan kepada salah satu alumninya.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa belum ada satu pun Presiden dan Wakil Presiden RI yang menaruh kepercayaan kepada salah satu alumni UPI terbaik untuk menjadi orang nomor satu di kementerian pendidikan. Alih-alih Menteri Pendidikan RI, fakta terpilihnya Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita malah menandakan bahwa salah satu alumni UPI lebih dipercaya Presiden dan Wakil Presiden RI memimpin kementerian di luar kementerian pendidikan.

Betapa pun belum pernah dipercaya menjadi orang nomor satu di kementerian pendidikan, namun – sebagaimana telah dikatakan tadi – terpilihnya jebolan Sarjana Bahasa Inggris UPI ini adalah sejarah baru UPI. Enggartiasto Lukita merupakan alumni UPI pertama yang dipercaya dan menduduki posisi menteri di republik ini. Maka, dalam konteks ini, ia bukan saja telah melakukan sebuah terobosan besar, melainkan juga mencetak sejarah.

Dalam sejarah panjang orang nomor satu di Kementerian Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita bertengger dan tercatat dalam sejarah lembaga ini bersama para pendahulunya yang adalah figur-figur mentereng para pemimpin bangsa: Surachman Tjokrodisurjo, Darmawan Mangunkusumo, A.K. Gani, Sjafruddin Prawiranegara, I.J. Kasimo, Ir. Djuanda, Sumitro Djojohadikusumo, Adam Malik, Radius Prawiro, Tungki Ariwibowo, dan Muhammad Jusuf Kalla.
Karena itu, kendati Enggartiasto Lukita lebih kecil atau hanya bagian kecil saja dari keluarga besar UPI maupun para alumni UPI, namun – setidaknya – secara formal, posisi dan kewenangan politiknya di bidang perdagangan akan lebih menentukan di tataran nasional ketimbang para alumni UPI lainnya. Di kancah politik nasional, nama Enggartiasto Lukita akan lebih banyak mendapat sorotan dan menentukan sejarah Indonesia. Maka, UPI pun akan ikut tersorot.

Di satu pihak, apabila posisi menteri dan peranan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dianggap positif (baik atau terpuji) oleh publik, maka bukan hanya Pak Enggar – panggilan Enggartiasto Lukita – yang akan dianggap positif dan merasa bangga, tetapi juga institusi dan para alumni UPI. Namun, di pihak lain, jika yang terjadi malah sebaliknya, maka bukan hanya Pak Enggar yang akan dianggap negatif dan tidak bangga, tetapi juga institusi dan para alumni UPI.

Sebagaimana UPI yang dalam kadar tertentu menjadi salah satu sebab munculnya sosok Pak Enggar, maka akibat kiprahnya pun – dalam kadar tertentu – akan berakibat kepada UPI. Kalau begitu, Enggartiasto Lukita dengan keluarga besar UPI harus bersinergi. Majunya bidang perdagangan tanah air di bawah kepemimpinanya bukan saja merupakan prestasi dirinya, tetapi juga akan turut mengharumkan nama baik UPI.

Medan Juang
Kementerian Perdagangan RI yang dipimpin Enggartiasto Lukita adalah salah satu kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan perdagangan di republik ini. Tugasnya adalah menyelenggarakan urusan di bidang perdagangan dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam melaksanakan pemerintahan negara. Intinya, perdagangan ekspor-impor dan perdagangan skala domestik (dalam negeri) wajib diurusnya agar Indonesia adil makmur.

Beberapa fungsi Kementerian Perdagangan RI diantaranya: Kesatu, merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan perdagangan. Kedua, bertanggung jawab mengelola barang milik atau kekayaan negara. Ketiga, mengawasi pelaksanakan tugas di lingkungan kementeriannya. Keempat, melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi pelaksanaan urusan kementerian ini di daerah. Kelima, melakukan kegiatan teknis perdagangan berskala nasional.

Dengan tugas dan fungsi serta – tentu saja – kewenangan (kekuasaan) yang digenggam Enggartiasto Lukita sebagai menteri, maka sejarah perdagangan Indonesia akan tergantung kepada kearifannya dalam memimpin kementerian. Berbagai terobosannya dalam mengurus perdagangan demi kemajuan nasional sangat dinanti. Terutama peranannya memajukan sektor perdagangan nasional yang akan berkontribusi memajukan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks mewujudkan visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita harus dapat menerjemahkan program berdikari dalam ekonomi yang dicanangkan presiden dan wakil presiden. Sejumlah program yang dapat ditempuh kementerian perdagangan yang dipimpinnya diantaranya: Kesatu, membangun kualitas berdagang manusia Indonesia. Kedua, mewujudkan kedaulatan pangan.

Ketiga, berdaulat energi berbasis kepentingan nasional. Keempat, penguasaan sumber daya alam. Kelima, memberdayakan buruh. Keenam, menguatkan sektor keuangan nasional. Ketujuh, menguatkan investasi sumber domestik. Kedelapan, menguatkan kapasitas fiskal negara. Kesembilan, membangun ekonomi maritim. Kesepuluh, mengembangkan kapasitas perdagangan nasional.

Semoga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito berhasil mengemban amanat ini sekaligus mengharumkan nama baik UPI di kancah nasional maupun internasional.

Maling Telor

$
0
0

Oleh : Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si.
Dekan FPIPS UPI, Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

Tulisan telah dimuat di media Pikiran Rakyat.
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/09/19/maling-telor-380272

Karim Suryadi

KORUPSI kembali menyedot perhatian publik di tanah air. Untuk sementara, kasus ini mengalihkan perhatian publik dari kasus Aa Gatot, persidangan kasus pembuhunan Wayan Mirna Salihin, atau kemeriahan pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat.

Operasi tangkap tangan terhadap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menambah panjang daftar pimpinan lembaga negara yang terlibat kasus korupsi. Selain telah merontokkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April 2014, korupsi pun menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2013. Ke dalam daftar orang penting yang terjerat korupsi ini tentu saja bisa dimasukan sejumlah menteri, anggota legislatif, dan kepala daerah.

Terungkapnya kasus operasi tangkap tangan terhadap Ketua DPD tiga hari lalu amat menyesakkan. Lembaga yang hadir untuk memastikan kepentingan setiap daerah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan strategis, malah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak masyarakat yang diwakilinya. Ini adalah sebuah anomali yang menohok mata.

Kurang dari dua pekan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melakukan operasi tangkap tangan terhadap salah seorang bupati termuda di salah satu kabupaten di Sumatera. Rentetan kasus korupsi yang melibatkan tokoh dari banyak kalangan dengan beragam latar belakang menegaskan bahwa korupsi merupakan ancaman yang serba hadir (omnipresent).

Kian gencarnya usaha pemberantasan korupsi di satu sisi, dan makin seringnya “orang penting” terlibat korupsi di sisi lain, menegaskan bahwa ancaman korupsi pun bermetamorfosis, makin licin, dan kian nekat. Motifnya bukan lagi mempertahankan hidup, melainkan untuk memperkaya diri. Bagi orang kebanyakan, motif yang disebut terakhirlah yang membuat perilaku korup menjadi perbuatan yang sulit dipahami akal sehat.

Adalah Augusto Boal, seorang sutradara, pemain drama, penulis, dan akhirnya menjadi vereador (anggota Dewan Perwakilan Rakyat) di Brazil, yang mengibaratkan koruptor sebagai maling telor ayam yang sudah kehilangan kehormatan. Seperti halnya pencuri telor ayam, para koruptor harus melakukan tindakan korupnya dengan gesit, lembut, dan penuh keberanian. Bedanya yang dicuri para koruptor adalah kekayaan negara dan hak rakyat.

Dalam pandangan Boal, para maling telor ayam setidaknya masih memiliki sedikit rasa “kepahlawanan”, karena mereka mencuri untuk mempertahankan hidup. Namun tidak bagi koruptor. Mereka mencuri untuk memperkaya diri. Karenanya koruptor telah kehilangan kehormatan, dan manusia tanpa kehormatan bukanlah manusia. (Augusto Boal, Legislative Theatre, Using Performance to Make Politics – first published 1998)

Mungkin karena merasa kehilangan kehormatan pula banyak koruptor di negara lain memilih mengakhiri hidupnya begitu kasusnya terkuak. Para koruptor di Tiongkok paling banyak yang memilih mengakhiri hidup dengan cara tidak wajar seperti ini, meski beberapa kasus ditemukan di Korea, atau di Prancis. Hingga kini, Tiongkok menjadi negara paling banyak menghukum mati koruptor. Meski tindakan bunuh diri dipandang sebagian pihak sebagai usaha menyelamatkan keluarga dari ancaman balas dendam mafia yang melakukan persekongkolan korupsi, namun ancaman hukuman yang amat berat tidak bisa dimungkiri menjadi penyebab koruptor memilih mengakhiri hidupnya dengan cara tidak wajar.

Meski dipandang sebagai kejahatan luar biasa, banyak pelaku korupsi dihukum relatif ringan di tanah air. Beberapa kasus dipidana jauh lebih ringan dibanding pelaku teror, atau pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Padahal dampak kejahatan korupsi sama berbahayanya bila dibanding teror atau kejahatan seksual terhadap anak. Tapi mengapa pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat terancam hukuman kebiri, namun tidak bagi koruptor? Bukankah koruptor melakukan pemerkosaan (kekayaan negara dan hak rakyat)?

Lebih mengherankan lagi, banyak terpidana korupsi saat bebas disambut dan diarak layaknya pahlawan. Ini sebuah bentuk anomali lain, yang menisbikan keniscayaan dampak dan ancaman kejahatan korupsi.

Kita bisa berdebat panjang tentang berat ringannya hukuman yang layak dijatuhkan bagi koruptor dan efektivitasnya bagi upaya pencegahan korupsi. Namun satu hal sulit disangkal, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki akses dan jaringan. Karena itu, hukuman mati pun tidak akan menghapuskan ancaman korupsi bila sistem yang korup tidak diubah dan preferensi antikorupsi belum terbangun.

Selain menciptakan sistem birokrasi yang tidak memberi ruang bagi tindak korupsi, penting menciptakan pola seleksi pejabat publik yang mampu mencegah munculnya pejabat korup. Semisal tidak melantik calon pejabat yang berstatus tersangka hingga keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.

Upaya lain adalah mencegah kekuasaan bertumpuk di tangan satu orang, atau hanya beredar dalam siklus keluarga. Penumpukkan kekuasaan pada satu orang atau keluarga akan memberi celah besar bagi terjadinya penyimpangan akibat terbangunnya pola-pola saling menguntungkan sejalan dengan tindakan melanggengkan kekuasaan. Mencegah politik keluarga (dinasti) akan menjadi investasi penting bagi pembentukan sistem politik yang sehat.

Di atas segalanya, hanya politik tahu diri yang akan menyetop perilaku korup. Cukup adalah tidak cukup bagi mereka yang menginginkan lebih, namun bagi orang yang tahu arti mengendalikan diri, yang tidak cukup pun akan dicukup-cukupkan. Untuk urusan perut, hanya ketika perut sudah terisi tanah keinginan untuk berlebih akan berhenti.***

Undangan Suci

$
0
0

Oleh : Siska Yuniati
Guru MTs Negeri Giriloyo, DIY
Juara 1 Lomba Cipta Puisi Festival Sastra UGM 2016.

Aku akan datang meski tanpa undangan. Undangan pernikahanmu yang aku sendiri hanya dapat mereka-reka. Barangkali undangan itu terbuat dari kertas ivory putih, sederhana. Beraroma melati menyisir hasratku yang tak lagi dapat aku benamkan. Ornamennya, adalah mawar merah yang menghentak-hentak kalbuku. Dan di sana tertatah namamu dengan tinta emas, bersanding dengan nama asing. Jelas, bukan namaku.

Tiga bulan lalu, masih jelas kulihat wajahmu bersemu merah ketika aku katakan kapan-kapan aku akan bertandang ke rumah. Kuharapkan suaramu yang lembut itu akan bersambut sekadar mempersilakan atau menangkapnya dengan canda. Nyatanya engkau kembali beraktivitas, merapikan kertas-kertas usai rapat organisasi pemuda.

Tidak ada kelanjutan apa-apa setelah keterkejutanmu untuk sekian detik dan rona darah di parasmu. Aku pun menduga engkau malu atau memang tidak mendengar kata-kataku. Malah kian hari nyaliku menciut, mendapatimu kembali pada tabiat tegas, berbicara apa adanya di dalam forum. Tentang perkataanku, tidak pernah engkau singgung sedikit pun.

Suci, namamu, demikian sulit ternodai. Jika ada yang menanyakan dirimu, pastilah akan diperoleh jawaban yang menggetarkan. Suci yang santun, baru lulus kuliah dengan predikat cumlaude. Suci adalah mutiara yang berkilau, membuat para bujang berdecak kagum.

Siska Yuniati

Akan halnya diriku, telah bekerja sebagai guru di sebuah SMP swasta. Tak banyak gaji memang, namun sekolah ini adalah napas keluarga kami. Kakekku, Mbah Zuber, yang merintisnya. Tidak ada alasan lain untuk tidak mengabdi di sana.

“Siapa lagi kalau bukan kita, Le. Jadi guru itu memang kudu sabar, apalagi guru yang menghidupi sekolah, bukan mencari penghidupan di sekolah. Kalau kau ingin penghasilan, sawah Bapak yang cukup luas itu bisa kau tanami,” ujar Bapak suatu kali membuatku tak banyak cakap.

Begitulah. Aku terombang-ambing antara maju dan mundur untuk datang kepada Suci. Hatiku mengatakan Suci juga menaruh perasaan kepadaku. Lewat tatapan matanya yang tak sengaja kutangkap. Ia juga kerap tersipu saat  terjebak percakapan kawan kami yang hendak menikah. Tidak ada yang perlu dipertanyakan kembali tentang perasaan kami. Seolah ada tarikan kuat agar kami saling mendekat. Hanya saja, tarikan itu tak jarang tiba-tiba pudar, berhamburan tak jelas bentuknya.

“Kalau tidak kau lamar sekarang, kapan lagi?” kata Naryo, temanku.

“Kau tega membiarkan dia terus menunggumu, atau bisa-bisa keduluan yang lain,” Naryo melanjutkan kata-katanya. Aku terdiam, kendati peluru serasa menghujam jantung. Benarkah Suci akan menerima lamaran yang lain? Bukankah selama ini tidak ada yang berani mendekatinya. Termasuk aku, mungkin. Bisaku hanya mengukir angan, tanpa mampu mengumpulkan kekuatan untuk ke rumahnya sekaligus melamar.

Namun, tidak semudah itu. Aku harus menyiapkan segalanya. Tidak cukup bermodal cinta, kendati itu kusematkan dalam nampan penuh kasih sayang. Materi juga harus diindahkan. Apa jadinya, Suci yang anak juragan mebel tiba-tiba hidup sederhana bersama seorang guru honor.

Tapi aku yakin Suci tak akan berpikiran demikian. Ia santun dan rendah hati. Mana pernah ia pamer kekayaan orang tuanya. Tidak sekali pun kulihat ia memilih kawan berdasarkan derajat kekayaan.

Ah, sebentar aku kuat, sebentar kemudian seperti terhempas begitu rupa. Aku benar-benar tenggelam dengan arus perasaanku  sendiri. Hingga siang itu tatkala aku bertemu Suci di depan pasar kampung yang hadir sepekan sekali, bibir ini nyerocos begitu saja.

“Aku akan ke rumahmu,” kataku.

“Kapan?” Suci bertanya balik. Tak kusangka aku mendapatkan pertanyaan demikian. Dan gemuruh batinku menjadi badai, menggigilkan sekujur tubuh. Iya, kapan? Aku sendiri tidak tahu. Suci nyaris berlalu ketika aku menjawabnya.

“Minggu depan!” kataku nyaris tak terdengar.

Kata minggu depan itulah yang membuatku menjadi sesak. Aku tak kuasa harus merangkai kata yang indah untuk Suci. Sempat kupikirkan untuk menyulam kata, bait demi bait dan menitipkannya kepada angin malam yang kebetulan singgah di kamarku.

Apakah aku benar-benar mencintai Suci? Tapi mengapa cinta demikian merepotkan. Bagaimana dengan Suci? Apa ia terbelenggu dengan adat kampung kami yang tetap memegang teguh bahwa perempuan yang baik tak selayaknya mengungkapkan perasaannya kepada laki-laki? Harusnya itu tidak ia lakukan. Semestinya ia berkirim pesan atau isyarat yang jelas-jelas sehingga aku cukup berani untuk membawanya duduk di pelaminan sebagai perempuanku. Bukankah sekarang zaman sudah modern? Tidakkah di luar sana perempuan biasa menyatakan perasaannya kepada lelaki?

Lantas, bagaimana denganku? Bukankah aku laki-laki pengecut yang hanya dapat meraba-raba perasaan orang? Terlebih sejak pertemuan kami di pasar kampung, sikap Suci menjadi aneh. Ia jarang terlihat bersama teman-temannya. Di rapat organisasi pemuda, Suci juga tidak terlihat.

Tepat hari ketujuh setelah aku berjanji akan datang ke rumah Suci, aku sakit. Tubuhku demam luar biasa. Tidak ada dokter yang aku temui. Tidak juga kawan, atau kerabat. Bahkan orang tuaku sendiri tidak mengira kalau aku sedang sakit. Aku berdalih kecapean dan butuh istirahat. Maka seharian itu aku terkatung-katung dalam ketidakpastian diri.

Bulan begitu redup tatkala aku goreskan perasaanku kepada Suci. Mungkin hanya tinta yang bisa aku gunakan untuk mewakili perasaanku. Sayangnya tidak. Remahan kertas berserakan di sudut-sudut hatiku. Ia menolak membawa pesanku. Angin malam menyarankanku untuk datang memenuhi janji. Lebih kesatria, katanya. Meski dengan langkah terseok.

Sore itu, langkahku terhenti pada sebuah halaman luas dengan tetumbuhan beraneka rupa. Ada jalan setapak kecil terbuat dari batu-batu kali mengantarkan pada pintu sebuah rumah. Rumah besar bercat putih, kokoh, memandangku. Pintu rumah dari kayu jati berukir kerang tertutup rapat. Aku memandangnya untuk beberapa saat sebelum kutekan bel di samping pintu.

Tak lama, wajah Suci melongok dari balik pintu. Ia mempersilakanku masuk. Aku duduk berhadapan dengannya. Sekian waktu saling diam. Sesekali aku berdehem, tapi tiada kelanjutan suaraku.

“Mas, ada perlu apa, ya?” lirih Suci berkata.

“Untuk memenuhi janjiku.” Jawabku tak kalah lirih.

“Janji apa?” wajah Suci sedikit mendongak.

Aku tergeragap.

“Janji ke rumahmu. Aku ingin memintamu menjadi istriku,” suaraku tiba-tiba bertenaga.

Senyap. Suci memandangku.

“Terlambat,” katanya.

“Maksudmu?” aku ganti menatapnya.

“Sebulan lalu ada teman kuliahku dulu datang melamarku. Aku tangguhkan untuk memberikan jawaban. Aku masih menunggumu, dan  Mas tak kunjung datang.” Suci kembali menunduk.

“Baru kemarin jawaban aku berikan. Aku menerimanya,” lanjutnya.

“Tidakkah bisa dibatalkan?” tanyaku setengah berharap.

Suci menggeleng, membuat dadaku bergemuruh turun naik tak beraturan.

Kini, aku mematut diri di depan cermin. Ada titik air mengambang di sudut mataku. Namun aku sudah berjanji kepada diriku untuk datang pada pernikahan Suci, meski tanpa undangan. Sebuah kado kecil aku siapkan. Di dalamnya, ada sebuah buku tentang pernikahan. Semoga Suci menjadi istri yang baik. Perlahan aku merapal doa. (*)

 

Catatan:

Cerpen ini dipublikasikan pertama kali di Minggu Pagi edisi 29 Mei 2016.

 

Ancaman Malapraktek dan Kriminalissasi Guru Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia

$
0
0

Oleh : Suaidin Usman
Seorang Praktisi Pendidikan Indonesia, Pengawas SMA/SMK Kab. Dompu, Nusa Tenggara Barat dan Anggota ISPI

suaidin

Suaidin Usman

Malapraktik ternyata tak hanya terjadi di dunia kedokteran. Di dunia pendidikan, kasus malapraktik pun banyak ditemukan terutama pada kelas pemula di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), yakni kelas 1, 2 dan 3. ” Siswa malas belajar, menjadi pasif, dan takut terhadap jenis mata pelajaran tertentu, serta prestasi siswa tidak optimal, ini bisa jadi indikasi malapraktik. Padahal, saat di TK siswa-siswa itu kreatif,”. indikasi demikian banyak ditemukan pada anak didik. Namun tidak banyak guru yang menyadari bahwa apa yang terjadi pada siswa tersebut sebenarnya merupakan bentuk malapraktik dalam dunia pendidikan. Malapraktik ini, dapat terjadi akibat beberapa hal. ”Di antaranya guru kurang memahami latar belakang dan bakat siswa serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah, guru dalam melaksanakan tuganya tidak sesuai atau tdk memenuhi Standar Proses, Standar Penilaian, Standar isi dan SKL dalam pembelajaran di kelas”. Idealnya Guru dalam melaksanakan tugasnya (mengagar, melatih, mendidik) ratusan anak dalam sehari adalah untuk menyelamat manusia dari kebodohan, dan tdk berkarakter baik. Bayangkan saja bila manusia dalam kebodohan dan tdk “berkarakter baik” di negra indonesia ini akibat malpraktek dalam dunia pendidikan, apa yang terjadi? . Jika kita amati lebih dalam, bentuk-bentuk malpraktik dalam dunia pendidikan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di lingkungan SD saja, pada jenjang pendidikan di atasnya pun tampaknya masih dapat ditemukan berbagai bentuk tindakan malpraktik yang dilakukan oleh para pendidik, baik pada tingkat SLTP, SLTA, bahkan Perguruan Tinggi.

Oleh karena itu, diperlukan kearifan dari para guru yang memegang siswa-siswa kelas bawah ini. Dalam hal ini, pemenuhan persyaratan kompetensi sebagai guru SD tampaknya menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berbekal kompetensi yang memadai inilah diharapkan tidak tejadi lagi aneka bentuk malpraktik atau maltreatment dalam pendidikan..

Merujuk pada istilah malpraktek di bidang kedokteraan Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law , “bahwa malpraktek di bidang pendidikan bisa diakibatkan karena sikap kurang kehati-hatian seorang guru didalam pelaksanakan kewajiban professional,misalnya guru dlam mengajar di kelas harus sesuai standat proses. Guru menilai kompetensi siswa harus mengacu pada standar penilaian. Guru mebuat persiapa pembeajaran harus mengacu pada standar isi. Dan lain sebagainya. Pengaduan Kasus malpraktik dalam dunia pendidikn memang belum marak seperti kasus malpraktek di dunia kedokteran.Namun tidak menutup kemungkinan di era informasi dan globalisasi tanpa batas sekarang ini akan meluas ke dunia pendidikan .Maraknya orang tua melakukan tindakan kekerasan trhadap guru, atau banyaknya siswa melawan guru adalah suatu pertanda karena meraka merasa tindakan yg diambil guru menurut pemahaman mereka merupakan tindakan guru tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, yang mengakibatkan sakit secara fisik pada dirinya.

Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi guru ditambah dengan sikap altruis (rela berbgi ikhlas mendidik untuk anak bangsa). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.

Untuk menyelamatkan siswa dari malapraktik di masa-masa yang akan datang , maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah “menempatkan posisi profesi Guru di atas dan atau sama dengan profesi Dokter. Sebagaimana salah satu hasil Studi penulis yang tergabung dalam Tim 12 PTK Prestasi Nasional + 3 Pendamping dari Kemdikbud RI ke beberapa negara di eropa, seperti Rusia, Swedia dan Finlandia thn 2014 sudah menempatkan profesi guru pada level teratas dalam hal ini di atas profesi profesi dokter. Karena profesi guru yang tidak kompotensi atau tdk profesional dikhawatirkan akan beresiko tinggi terhadap keselamatan bangsa dan negara.Oleh karena demikian Standarisasi guru harus dimuali dari awal seleksi masuk mahasiswa calon guru di LPTK maupun di FKIP tdk terkecuali negeri maupun swasta dipeketat dengan standar tinggi.maka akan tercetatak guru guru hebat, kepala sekolah hebat, pengawas hebat , juga mendikbud di angkat dari guru dan atau pengawas hebat, sebagaimana yg dilakukan oleh negara negara tersebut. Akhirnya dunia pendidikan akan Hebat. Karena sesuatu yg biasa, jika diserahkan pada ahlinya maka menjadi luar biasa (Om Won).

Hasil studi di atas sejalan dengan pemikiran Dr.Mayong Maman Salah seorang dosen senior Fakultas Bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam diskusi online di Fb:Suaidin Dompu tentang Judul di atas beliau menanggapi “Kalau melihat hasil UKG yang masih rendah saat ini, apakah pemerintah tertarik utk menaikkan tunjangan guru setara dengan tunjangan dokter? Untuk memulai perbaikan kualitas guru, perlu diawali dengan seleksi calon guru yang bermutu dan yang berbibit unggul. Pemantauan dilakukan sejak di TK sampai di SMA. Siswa SMA/SMK/MA yang dipilih untuk calon guru hanya lima terbaik di setiap kelas. Lima terbaik seluruh Indonesia inilah diuji kompetensinya yang meliputi tes IQ/EQ, akhlak agama, bidang studi, sikap, bakat, fisik, dan minat keguruannya. Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk seleksi calon guru ini. Siapkah pemerintah utk hal ikhwal ini?

Untuk mengantisipasi terjadinya malapraktik sebenarnya pemerintah telah menerapkan uji coba program induksi untuk guru pemula (setelah guru lulus CPNS) pada enam kabupaten percontohan yakni Sumedang, Bantul, Pasuruan, Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara.Pogram induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula ( CPNS) untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi.Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas untuk menghindari malpraktek tersebut. ”Jika dalam evaluasi ternyata guru yang bersangkutan tidak layak mengajar, maka ia tidak bisa dipaksakan menjadi guru. Ia bisa saja dialihkan ke tugas lain seperti administrasi atau petugas perpustakaan,” Program induksi ini untuk sementara hanya diberlakukan pada guru-guru pemula. Pertimbangannya, selain keterbatasan dana, umumnya guru pemula belum banyak mengenal lapangan serta standar Nasional Pendidikan seperti diuraikan di atas.. Namun, belum bisa dipastikan kapan program induksi ini bakal diterapkan secara menyeluruh di indonesia.

Jika standarisasi guru tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah maka kedepan sangat wajat berdasarkan logika dan kajian ilmiah sederhana di atas , pemerintah indonesia saatnya harus menyamakan besaran tunjangan Dokter dan tunjangan guru. Mengapa demikian?. Kita ketahui bahwa Tunjangan dokter itu tinggi karena menyangkut pekerjaan menyelamatkan nyawa manusia dan memperkecil terjadinya MalPraktek` Sedangkan guru dalam melaksanakan tugasnya mengagar, mendidik, melatih ratusan anak dalam sehari adalah juga untuk menyelamat manusia dari kebodohan, dan tdk berkarakter baik. Bayangkan saja bila manusia dalam “kebodohan” dan “tdk berkarakter baik” di negra indonesia ini, apa yang terjadi?.

Namun ancaman malpraktek dan kriminalisasi guru dalam dunia pendidikan di indonesia di era globalisasi saat ini tidak menutup kemungkinan akan bernasib sama dengan ancaman malpraktek yang di alami oleh Dokter dewasa ini. Kriminalisasi terhadap dokter akibat tuntutan malpraktek tanpa disadari akan berdampak sangat luas terhadap pelayanan dokter terhadap pasien di Indonesia. Paling dirugikan nantinya adalah masyarakat miskin dan masyarakat daerah terpencil. Salah satunya dokter akan menerapkan Defensive medicine atau praktek kedokteran defensif. Defensive medicine juga disebut pengambilan keputusan praktek kedokteran defensif, mengacu pada praktek dokter merekomendasikan tes diagnostik atau pengobatan yang belum tentu pilihan terbaik bagi pasien dan sesuai dengan indikasi medis. Tapi praktek kedokteran defensif merupakan pilihan utama untuk melindungi dokter terhadap gugatan pasien sebagai potensi penggugat dan vonis hakim terhadap malpraktek dokter.

Hal senada akan terjadi pada profesi guru, maraknya kriminalisasi terhadap guru yang dilapori orang tua siswa ke polisi tidak sedikit yang berujung ke “jeruji besi” belum lgi tindakan brutal orang tua murid memukul guru sampai babak belur di lingkungan sekolah karena menghukum siswa yang tidak disiplin menlanggar tata tertin sekolah yang belum tentu merupakan tindakan malpraktek. Akibatnya tanpa disadari juga berdampak sangat luas terhadap lemahnya pelayanan pendidikan di sekolah. Yang Paling dirugikan nantinya adalah murid yang nakal dan sulit di atur di sekolah yag memerlukan pelayanan pendidikan standar oleh guru Bimbingan Konseling tidak mendapatkan layanan pendidikan yang maksimal . Salah satunya guru akan menerapkan pola pembiaran atau hanya teguran tanpa tindakan yang belum tentu sesuai dengan masalah siswa. Tapi pola teguran tanpa tindakan adalah merupakan pilihan utama untuk melindungi guru terhadap gugatan malpraktek oleh orang tua.

Mengingatnya beratnya resiko tugas profesional guru dan Dokter selayaknya pemerintah indonesia perlu memikirkan kedepan untuk menyamakan besaran Tunjangan Dokter dan tunjangan guru.

Langkah Antisipatif Oleh Satuan Pendidikan
Untuk melindungi guru dari ancaman malpraktek dan profesionalime guru di sekolah dapat berjalan sesuai standar ideal yang telah di tetapkan oleh pemerintah, maka dalam penyusunan KTSP melibatkan Wakil orang tua murid, Wakil Siswa (OSIS) dan pengawas sekolah membahas aspek-aspek disiplin yang menjadi tata tertib sekolah termasuk di dalamnya aspek pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas (hard and coherent).di cantukman dalam kurikulum sekolah Dikatakan keras karena ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila terjadi pelanggaran berat.

Pihak sekolah bersama Tim sepakat untuk menerapkan disiplin untuk ditaati bersama., yaitu : disiplin preventif dan disiplin korektif (Sondang P. Siagaan, 1996). Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para Tim (Pihak Sekolah dalam hal ini guru, orang tua siswa, dan siswa) untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan prilaku yang diinginkan dari setiap anggota Tim , untuk mencegah jangan sampai berperilaku negatif. Para anggota organisasi perlu didorong, agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang menjadi miliknya.

Para guru, siswa, dan orang tua siswa perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksudkan seyogyanya disertai oleh informasi yang lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang bersifat normatif. guru, siswa, dan orang tua siswa didorong, menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam rangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum.

`
Disiplin korektif diberlakukan sebagai upaya penerapan disiplin kepada guru dan atau siswa yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan dan kepadanya dikenakan sanksi secara bertahap. Tindakan sanksi korektif seyogyanya dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat yaitu: (1) peringatan lisan (oral warning), (2) peringatan tulisan (written warning), (3) disiplin pemberhentian sementara /Skorsing (discipline layoff), dan (4) pemecatan (discharge) dikelurkan dari sekolah dengan tidak hormat..

Di samping itu, dalam pemberian sanksi korektif seyogyanya memperhatikan tiga hal berikut: (1) Siswa yang diberikan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan apa yang telah diperbuatnya; (2) kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri dan (3) dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan “wawancara keluar” (exit interview) pada waktu mana dijelaskan antara lain, mengapa pihak sekolah terpaksa mengambil tindakan sekeras itu.

Untuk itu, dalam penerapan sanksi korektif hendaknya hati-hati jangan sampai merusak kepribadian dan mental siswa maupun suasana sekolah secara keseluruhan. Dalam pemberian sanksi korektif harus mengikuti prosedur yang benar sehingga tidak berdampak negatif terhadap karakter siswa. Pengaruh negatif atas penerapan tindakan sanksi korektif yang tidak benar akan berpengaruh terhadap kewibawaan manajerial sekolah yang akan jadi menurun,.

KESIMPULAN :
1. Pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), khususnya pada kelas bawah merupakan bentuk pendidikan yang amat vital dan mendasar. Kegagalan proses pendidikan pada masa ini akan berpengaruh bagi perkembangan individu pada masa berikutnya. Oleh karena itu, diperlukan kearifan dari para guru yang memegang siswa-siswa kelas bawah ini. Dalam hal ini, pemenuhan persyaratan kompetensi sebagai guru SD tampaknya menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berbekal kompetensi yang memadai inilah diharapkan tidak tejadi lagi aneka bentuk malpraktik atau maltreatment dalam pendidikan.

2. Jika kita amati lebih dalam, bentuk-bentuk malpraktik dalam dunia pendidikan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di lingkungan SD saja, pada jenjang pendidikan di atasnya pun tampaknya masih dapat ditemukan berbagai bentuk tindakan malpraktik yang dilakukan oleh para pendidik, baik pada tingkat SLTP, SLTA, bahkan Perguruan Tinggi

3. Untuk melindungi guru dari ancaman malpraktek dan profesionalime guru di sekolah dapat berjalan sesuai standar ideal yang telah di tetapkan oleh pemerintah, maka pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan guru dalam penyusunan KTSP melibatkan Wakil orang tua murid, Wakil Siswa (OSIS) dan pengawas sekolah membahas aspek-aspek disiplin yang menjadi tata tertib sekolah termasuk di dalamnya aspek pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas (hard and coherent).di cantukman dalam kurikulum sekolah Dikatakan keras karena ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila terjadi pelanggaran berat.

4. Tentunya, dalam hal ini saya mendukung sepenuhnya gagasan program induksi bagi para guru pemula yang ditawarkan oleh Depdiknas, sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan harapan semoga dapat semakin memperkokoh penguasaan kompetensi bagi para guru yang bersangkutan. Melalui program induksi ini diharapkan dapat terlahir guru-guru kontruktivis, yang mampu membangun dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didiknya. Bukan sebaliknya, menjadi perusak perkembangan peserta didik alias destruktivis..Oleh karena itu, sasaran program induksi ini pun seyogyanya dapat diperluas lagi, tidak hanya disiapkan bagi para guru pemula di lingkungan SD tetapi juga dapat diberikan kepada para guru pemula di SLTP dan SLTA.

5. Apakah pemerintah tertarik utk menaikkan tunjangan guru setara dengan tunjangan dokter? Untuk memulai perbaikan kualitas guru, perlu diawali dengan seleksi calon guru yang bermutu dan yang berbibit unggul. Pemantauan dilakukan sejak di TK sampai di SMA. Siswa SMA/SMK/MA yang dipilih untuk calon guru hanya lima terbaik di setiap kelas. Lima terbaik seluruh Indonesia inilah diuji kompetensinya yang meliputi tes IQ/EQ, akhlak agama, bidang studi, sikap, bakat, fisik, dan minat keguruannya. Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk seleksi calon guru ini. Siapkah pemerintah utk hal ikhwal ini?

6. Bagaimana teknis implementasi dari program ini? Bagaimana pula peran pengawas sekolah dalam program ini? Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya!

Sumber :

1. Diambil dan disarikan dari: Republika Online (di akses Rabu, 23 September 2016)
2. Diambil dan disarikan dari: Direktur Tendik Ditjen PMPTK Depdiknas. 2008. Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Lingkungan Sekolah (bahan diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah). Jakarta.
3. https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/01/17/malpraktek-dan-perlindungan-hukumnya/, di akses Rabu, 23 September 2016
4. https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/03/program-induksi/. di akses Rabu, 23 September 2016
5. https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/01/upaya-mencegah-kecemasan-siswa-di-sekolah/. di akses Sabtu, 26 September 2016
6. https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/01/29/kompetensi-pedagogilk-guru/. di akses Sabtu, 26 September 2016
7. Kementerian Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru (PK Guru). Jakarta. bermutuprofesi.org
8. http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3050-malpraktik.html, diakses 30 Nopember 2016.

PROFIL PENULIS :
1. Guru SMA : Tahun 1987 sd tahun 1998
2. Kepala SMA : Tabun 1998 sd 2006
3. Pengawas SMA : Tahun 2016 sd sekarang
4. Pengurus Unit Akreditasi Sekolah : Tahun 2007 sd 2015
5. District Koordintor AIBEB Ind-Aus/Trainner : Tahun 2007 sd 2011
6. Narasumber Nasionaal KTSP : Tahun 2008 sd 2011
7. Narasumber Nasional K-13 Prop.NTB : sampai sekarang
8. Menulis Artikel dan opini dan Jurnal Pendidikan Pendidikan diberbagai koran lokal dan nasional ,Inti rakyat, Republika,Medikom, ISPI, P4TK matematika, P4TK PLB, IGI, dll
9. Finalis Penuisan Best Practice Tk Nasional tahn 2011, 2012 dan thn 2013.
10. Pengawas Prestasi Terbaik Nasional thn 2013
11. Sebagai Delegasi Ilmiah Benchmarking Ke Rusia, Finladia dan Swedia bersama 12 orang PTK terbaik Nasional + 3 Orang Pendamping dari Pejabat Kemdikbud RI.
12. Mendapat sertifikat penghargaan Facebook International Award 2012.
13. Lima (5) Blogger papan Atas Indonesia versi Indonesia Tahun 2012.

Membangun Kesiapan Manusia Indonesia hidup Dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Dunia Kerja Global : Tantangan Bagi Pendidikan dan Pendidikan Guru

$
0
0

Oleh : Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.

Guru Besar Ilmu Pendidikan bidang Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Umum ISPI dan Rektor UPI periode 2005-2010 dan 2010-2015

Orasi Ilmiah, disampaikan pada acara Dies Natalis ke 60 Universitas Pendidikan Indonesia, 20 Oktober 2016

Pengantar
sunaryoMasyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan sebuah sistem, struktur, dan kultur kehidupan baru abad 21 di kawasan ASEAN, sebuah pasar tunggal dan basis produksi. MEA adalah sebuah pasar bebas yang akan menjadikan berbagai aspek kehidupan, seperti barang dan jasa, ketenagakerjaan, arus modal dan investasi akan bergerak bebas antar negara ASEAN. MEA adalah masyarakat dengan mobilitas dan kompetisi tinggi namun harus berjalan di atas prinsip keadilan sehingga tidak terjadi eksploitasi satu sama lain. Kesenjangan antar negara dipersempit melalui standarisasi produk dan kesepakatan memanfaatkan produk, khususnya dalam bidang pendidikan, profesi, dan tenaga kerja terampil dalam bentuk Mutual Recognition Arrangement (MRA). Tantangan bagi dunia pendidikan adalah membangun kesiapan manusia Indonesia, sebagai negara yang memiliki bonus demografi tinggi, untuk mencapai dan menguasai kualifikasi kompetensi yang disepakati di kawasan ASEAN, memperoleh akses luas dalam mobilitas kehidupan dan pekerjaan di kawasan ASEAN, menjadi bangsa pendidikan dan bangsa inovasi yang berjati diri kultural Indonesia yang berada di dalam dan melintasi keragaman antar negara-negara ASEAN. Dunia kerja dan pendidikan juga dihadapkan kepada kecenderungan dan tatangan kehidupan abad 21 yang ditandai dengan perubahan dunia yang amat cepat dalam berbagai aspek, dunia yang dirasakan semakin sempit, karakteristik manusia abad 21 sebagai generasi digital, tuntutan akan penguasaan kecakapan kognitif tinggi, dan penguasaan kecakapan psikologis dalam kaitannya dengan sustainabilty kehidupan dan karir. Pemenuhan standar yang mengacu kepada kerangka kualifikasi rujukan (qualification framework references) dan sistem akreditasi di dalam dunia pendidikan, menjadi penting dalam kaitan dengan keterbukaan dan mobilitas yang disebutkan, karena manusia boleh hidup dan bekerja dimanapun di berbagai belahan dunia ini asal memenuhi persyaratan dan kualifikasi yang ditetapkan. Mempersiapkan manusia hidup di dalam MEA dan dunia kerja global berarti mendidik manusia untuk menguasai pengetahuan dan kecakapan secara adaptif terhadap tuntutan dan standar dunia kerja. Namun demikian manusia sebagai organisma yang berkepribadian dan berjati diri tidak boleh kehilangan jati diri dan nilai-nilai kultural yang menjadi akar kehidupan baik sebagai pribadi, warga negara, maupun bangsa dan manusia tetap menjelma menjadi pribadi yang sejahatera (well-being).

Implikasi Masyarakat Ekonomi ASEAN
Tahun 2015 adalah awal efektif kehidupan MEA sebagai pasar tunggal dan basis produksi dan implementasi kesepakatan antar negara ASEAN yang terwujud dalam bentuk Mutual Recognition Arrangment (MRA), khususnya dalam persaingan delapan profesi, yaitu insinyur, perawat, surveyor, arsitek, dokter gigi, tenaga kesehatan, dan akuntansi. MEA bercirikan tata kehidupan baru sebagai (1) wilayah kesatuan pasar dan basis produksi tunggal yang membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar, dan tenaga terampil/profesional menjadi tidak ada hambatan bergerak dari satu negara ke negara lainnya di kawasan ASEAN; (2) kawasan ekonomi kompetisi tinggi yang akan membawa implikasi kepada kebijakan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektul, sistem perpajakan, dan perdagangan elektronik atau online yang akan harus dilandaskan kepada iklim persaingan yang adil; (3) kawasan perkembangan ekonomi yang memprioritaskan UKM, memfasilitasi akses informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan SDM, peningkatan kemampuan keuangan, dan teknologi; yang kesemuanya itu (4) diintegrasikan secara penuh ke dalam sistem perekonomian global. (Arya Baskoro. 2015).

Sebagai sebuah tata kehidupan baru, MEA mengandung dampak positif terhadap perdagangan, investasi, dan ketenagakerjaan tetapi juga mengandung dampak negatif dalam kompetisi yang bisa menimbulkan eksploitasi. Celah kesenjangan antara negara ASEAN semacam itu harus dipersempit melalui semangat kolaborasi dan membangun kesetaraan di antara negara-negara ASEAN, dan kerja keras masing-masing negara di dalam mencapai kualifikasi yang disepakati. Perubahan struktur dunia kerja global yang menuntut kualifikasi kecakapan tinggi berimplikasi kepada ragam kecakapan yang harus dikuasai seseorang. Merujuk penelitian Patrick Griffin tahun 2003 (Griffin, h. 3. 2012) menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan perubahan struktur dunia kerja dan ketenagakerjaan dari pekerjaan yang menuntut tugas-tugas rutin dan manual bergeser secara cepat ke arah pekerjaan yang menuntut tugas-tugas abstrak. Menjelang tahun 2020 sekitar 70% pekerjaan di dunia ini akan menuntut tugas-tugas abstrak dan kecakapan berpikir tinggi, dan kecenderungan ini akan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Tata kehidupan global sebagai sebuah sistem membawa dampak kepada cara manusia dalam berinteraksi, berhubungan dengan dunia kerja, dan memaknai kehidupan budaya. “Globalization is not just a trend, not just a phenomenon, not just an economic fad. It is the international system that has replaced the cold-war system. And like the cold war system, globalization has its own rules, logic, structures, and characteristics…” “The advent of globalization is changing the way in which people relate with each other, the way in which people relate to their work lives, and the way in which culture is defined”. (Friedman . 1999 dalam Leong: 2001)

Pada saat ini manusia sudah dan sedang berada di dalam tata kehidupan global sebagaimana digambarkan, bahkan sudah dalam era paska global, dan manusia diperhadapkan kepada tantangan kehidupan yang memerlukan kecakapan dan pola-pola respons yang adekuat seiring dengan kompleksitas kehidupan yang dihadapi. Kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat telah mengubah cara berpikir, cara hidup, dan pola interaksi manusia dalam berbagai hal. Kompleksitas kehidupan dan defisit lingkungan, termasuk perubahan iklim yang ekstrim dan krisis sumber energi merupakan kondisi yang menuntut manusia mampu merespons kompleksitas masalah. Kondisi yang digambarkan merupakan tantangan bagi manusia untuk membangun pola-pola respons atas kompleksitas kehidupan dalam nuansa kolaboratif, tidak dalam nuansa kompetisi yang saling mengalahkan, dan pengembangan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan.

Kecakapan berpikir tinggi, pemanfaatan teknologi informasi, semangat kolaborasi, dan kesadaran sebagai warga dunia merupakan esensi dari kecakapan yang harus dikuasai manusia dalam kehidupan dan dunia kerja global termasuk kehidupan manusia di dalam MEA. Hasil penelitian Patrick Griffin (2012) tentang kecakapan abad 21, melaporkan bahwa kecakapan abad 21 adalah pola respons yang harus dikuasai oleh manusia. Intisari dari penelitian Griffin (2012) menegaskan bahwa kecakapan manusia abad 21 mencakup kecakapan cara berpikir, cara bekerja, alat bekerja, dan hidup di dalam dunia.

Kecakapan berpikir yang dikembangkan adalah kecakapan berpikir tinggi yang mencakup problem solving, berpikir kritis, kreativitas dan inovasi, dan meta kognisi. Cara bekerja yang harus dibangun adalah kolaborasi shingga manusia dituntut cakap dalam hal komunikasi dan kolaborasi. Teknologi informasi harus dikuasai manusia abad 21 sebagai alat bekerja karena hampir seluruh pekerjaan di abad 21 akan menggunakan teknologi informasi. Kesadaran dan kecakapan hidup sebagai warga dunia harus tumbuh pada setiap warga negara sehingga mereka hidup tidak sebatas sebagai warga negara di negara masing-masing melainkan hidup sebagai warga dunia yang memerlukan kesadaran kultural, tanggung jawab kolektif, dan keberlanjutan karir. Dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila kecakapan yang dirumuskan Griffin mesti diutuhkan dengan aspek iman dan taqwa dan jati diri kultural bangsa.

Manusia Indonesia sebagai bahagian dari MEA harus memiliki kecakapan-kecakapan sebagaimana digambarkan agar mereka mampu bergaul dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dalam MEA. Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang disepakati negara-negara ASEAN menginsyaratkan adanya standar kualifikasi yang disepakati harus dipenuhi oleh warga ASEAN agar dia bisa diterima bekerja di seluruh negara ASEAN. Bagi Indonesia standar kualifikasi dimaksud dirumuskan dalam KKNI, yang kini telah menjadi rujukan wajib bagi pengembangan kurikulum di tanah air, khususnya kurikulum perguruan tinggi.

Ada hal menarik untuk difahami secara mendalam atas penggolongkan capaian belajar (learning outcomes) ke dalam 9 tingkatan dalam KKNI dan 8 tingkatan dalam Asean Qualification Reference Framework (AQRF). Terdapat keragaman jumlah tingkatan kualifikasi di antara berbagai negara sesuai dengan filosofi kebijakan kompetisi dan kebutuhan masing-masing negara. Dalam keragaman tingkatan kualifikasi bisa terjadi ada tingkatan kualifikasi yang tidak bisa dipadankan atau dipadankan ke tingkat kualifikasi yang lebih rendah, bahkan dalam tingkat kualifikasi yang sama sekalipun. Namun yang pasti ketika masuk ke dalam pasar bebas ASEAN kualifikasi kecakapan manusia (baca: kecakapan bangsa) harus ekwivalen dengan kualifikasi yang disepakati atau dipersyaratkan dalam MRA. Sistem akreditasi menjadi penting untuk memastikan penyelenggaraan pendidikan ada dalam standar mutu yang menjamin tercapainya tingkat kualifikasi yang ditetapkan. Perlu kerja keras dalam upaya pendidikan untuk membawa bangsa ini menggapai tangga demi tangga tingkatan kualifikasi kecakapan. Pembelajaran ibarat sebuah proses yang membantu peserta didik menaiki scaffolding.

Bangsa Pendidikan, Bangsa Inovasi: Tantangan Pendidikan saat ini
Pendidikan dibangun berlandaskan kepada hakikat manusia dan tujuan hidup manusia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maka pendidikan berlandaskan kepada dan bertujuan untuk membawa manusia ke arah pencapaian dan perwujudan tujuan negara dalam mensejahterahkan warganya. Rujukan konstitusional yang tercantum dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah kondisi tentang bagaimana seharusnya kehidupan bangsa Indonesia menjadi (becoming) dan mengada (being). Dua aspek pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dan…memajukan kesejahteraan umum lebih berorientasi inward looking, dan dua aspek lainnya, … mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, lebih berorientasi outward looking. Pendidikan bermutu terwujud jika kedua orientasi itu tumbuh dan tercapai secara seimbang. Ini berarti pendidikan turut bertanggung jawab di dalam mencapai tujuan hidup bernegara.

Pendidikan akan harus punya misi untuk membangun tata pikir (mind set) dan kecakapan hidup (life skills) bangsa, dalam ragam potensi yang dimiliki warganya, untuk mendukung terwujudnya kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan adalah sebuah power, (perspektif knowledge is power akan harus bergeser atau diikuti dengan perspektif education is power), sebagai kekuatan yang memberi pengaruh kepada kehidupan “politik” dan budaya peserta didik sebagai warga negara yang berjati diri bangsanya dalam pergaulan dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Pendidikan sebagai kekuatan akan harus menjadi prioritas tinggi secara nasional di dalam pembangunan bangsa ini untuk membawa bangsa Indonesia menjadi Bangsa Pendidikan. Bangsa Pendidikan adalah “…learning society where the education of children and adults is the highest national priority, on par with a strong economy, high employment, and national security. Where resources from public and private sources fund a “ladder of learning” for learner of all ages, from pre-K through “gray”. Where learners take courses through the formal institutions of high quality school and universities and take advantage of informal experience offered through museum, libraries, church, youth groups, and parks as well as via the media. (Chen, Milton: 2010:1).

Bangsa Pendidikan adalah bangsa terdidik yang menguasai kecakapan hidup bermutu, sebagai bangsa beradab yang berjati diri kultural, inklusif, bertatakrama terhadap kearifan lokal dan lingkungan, berdaya adaptasi secara kreatif dan inovatif, hidup dalam budaya damai dan kesehatan emosional spiritual yang didukung oleh sumber-sumber kehidupan ekonomi dan finansial yang kuat dalam jejaring sosial yang luas. Bangsa Pendidikan adalah juga Bangsa Inovasi, sebuah kondisi dinamis kehidupan bangsa yang memiliki daya adaptasi tinggi, karena manusianya memiliki kekuatan berpikir tingkat tinggi dalam bentuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif, pemecahan masalah, dan meta kognisi. Bangsa Inovasi adalah bangsa yang atraktif yang akan mampu menarik orang-orang pintar (talent), modal dan investasi serta sumber-sumber bisnis datang kepada bangsa itu.

Pertanyaan kita adalah, apakah kita Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi? Dari kondisi yang kita alami, kita belum masuk ke dalam kategori Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi. Tapi untuk masuk dan hidup di dalam MEA dan berperan dalam dunia kerja global, bangsa Indonesia harus menjadi Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi. Inilah tantangan dan tanggung jawab besar pendidikan saat ini, yang tidak bisa ditunda, dalam membawa manusia Indonesia siap hidup dalam MEA dan dunia kerja global.

Akan harus terjadi pergeseran peran pendidikan dan sekolah, dari peran yang berorientasi defisit, (orientasi yang menekankan kepada penanganan kesulitan peserta didik dan asesmen dalam bentuk ranking), kepada peran yang berorientasi perkembangan (orientasi yang menekankan kepada pengembangan ragam potensi peserta didik dan asesmen autentik). Inovasi pendidikan persekolahanpun mesti menyangkut banyak aspek secara komprehensif. Aspek-aspek untuk inovasi sekolah (Milton Chen (2010) menyangkut: (1) pengembangan cara berpikir peserta didik yang menekankan kepada cara berpikir tinggi (higher order thinking), (2) kurikulum yang mengakomodasi ragam peserta didik dan ragam belajar (diverse learner diverse learning) dan diikuti dengan asesmen autentik, (3) pemanfaatan teknologi sebagai alat bekerja dan alat belajar, (4) waktu, tempat, dan sumber belajar yang dimungkinkan terjadi kapan saja dan dalam tempat dan sumber yang beragam, (5) pembelajaran kolaboratif yang melibatkan orang tua dan sumber-sumber atau lembaga lain, (6) pemahaman mendalam terhadap peserta didik yang hidup sebagai generasi digital.

Potensi bonus demografi yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia, dan pernah menjadi topik popular pembicaraan para pemimpin bangsa ini, adalah generasi bangsa yang berada dalam generasi Y dan Z dan generasi selanjutnya berada pada generasi Alpha. Generasi Y dan Z adalah generasi milenia atau digital yang dibedakan sebagai generasi digital imigran dan generasi digital natif. Kedua generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda, namun keduanya hidup dalam kultur digital, yang berimplikasi terhadap strategi upaya pendidikan yang harus disiapkan bagi pendidikan mereka. Sudahkah kita secara sistematis menyiapkan langkah-langkah untuk mendidik generasi bangsa yang disebutkan untuk menjadi warga negara yang baik tetapi juga sekaligus menjadi warga global?

Kehidupan pada saat ini sudah ada pada era paska globalisasi atau era paska modernisme (postmodernism). Teori-teori ilmu pengetahuan tidak lagi mengutamakan prinsip universalitas, totalizing thought, dan grand narrative tetapi bergeser ke perspektif kritis, kepada pemahaman dan pemaknaan keunikan etnografis/etnokultur di dalam konteks global dan proses transformasi masyarakat dan individu untuk menumbuhkan daya kreasi adaptif dan sustainability manusia. Hal yang sama terjadi pada (teori-teori) ilmu pendidikan, baik ilmu pendidikan teoritis, keguruan, maupun praktis, yang harus diletakan dalam perspektif kritis yang memahami peserta didik dalam hakikatnya sebagai manusia di dalam konteks kultural secara konkrit dan di dalam tatanan kehidupan global. Perspektif kritis ini memunculkan tantangan bagi pendidikan (persekolahan khususnya) dalam cara bagaimana sekolah berkontribusi kepada kehidupan politik dan kultural peserta didik.

Peserta didik yang hidup dan dididik di era paska globalisasi adalah generasi digital yang akan dihadapkan kepada kondisi dan tantangan yang ditandai dengan: (1) perubahan dunia yang sangat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, (2) kemudahan akses informasi yang membuat dunia terasa sempit seperti mengkerut, (3) belajar di dalam kultur digital, (4) pengembangan kognitif dalam tataran tinggi terutama berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, dan (5) pengembangan (kecakapan) psikologis yang menumbuhkan ketahanan diri, sustainability hidup dan karir, dalam suasana perubahan dunia yang cepat dan kompleks.

Menyiapkan bangsa Indonesia memasuki dan hidup di dalam masyarakat global, jelasnya MEA, dan dunia kerja global juga tidak cukup sebatas menyiapkan manusia trampil dalam tingkatan kualifikasi yang dirujuk. Tataran ini lebih bersifat responsif, dalam tataran mengelola dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, dan harus bergerak maju ke tataran yang lebih tinggi yaitu tataran kualifikasi ilmuwan yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Tataran ini mulai dimasuki bangsa yang sudah maju, antara lain di kawasan Asia adalah Korea. (Joon-Chul Eom. 2016)

Dalam konteks seperti yang digambarkan, sekolah saat ini mesti membawa dan membelajarkan peserta didik membangun kesiapan diri memasuki dunia kerja global yang ditandai dengan dan menuntut untuk: (1) pekerjaan semakin kompleks, memerlukan pemikiran inovatif dan kreatif, (2) pekerjaan akan banyak diselesaikan oleh komputer, (3) pekerjaan rutin dan kognitif menengah akan semakin menghilang, (4) pekerjaan kreatif dan analitis non-rutin dalam diasin, pemasaran, penelitian dan teknik akan semakin meningkat, (5) menyiapkan manusia masa depan dengan mengajak mereka belajar keras dan cermat, (6) membelajarkan peserta didik untuk bertanya secara tajam dan mendalam (deep learning), dan tidak hanya sekedar menemukan jawaban yang benar. Dapat dipastikan dalam tantangan belajar seperti yang digambarkan akan menghendaki guru terbaik betah tinggal di sekolah.

Menyiapkan Guru Terbaik
Memaknai hal-hal yang diuraikan sebelumnya, betapa berat dan kompleksnya tugas dan tanggungjawab seorang guru. Menyiapkan manusia memasuki masa depan, jelasnya MEA dan dunia kerja global dimana kita sudah berada di dalam era itu, harus merupakan proses berkelanjutan sejak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Pendidikan karir dan bimbingan karir harus berlangsung sejak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, tidak sebatas membelajarkan dan membimbing peserta didik menguasai kecakapan vokasioanl tetapi juga kecakapan manajerial karir agar manusia mampu memelihara sustainability karir. Guru tidak lagi mengajarkan akumulasi pengetahuan tetapi harus membelajarkan peserta didik tentang masa depan, belajar tentang masa depan tanpa melupakan masa lalu. Perspektif historis harus diposisikan secara tepat,dan masa depan dipelajari melalui transformasi diri. Belajar pada saat ini tidak lagi pada kurva belajar 1.0 (learning 1.0 yang menekankan pada akumulasi pengetahuan) melainkan pada kurva learning 2.0, belajar (tentang) masa depan. (GFF. 2013)

Pembelajaran akan harus menekankan kepada proses mendalam (deep learning) yang membangun kecakapan berpikir tinggi dan mengedepankan otonomi dan tanggung jawab peserta didik. Pembelajaran bertanggung jawab mengembangkan hard skills dan soft skills sebagai siklus perkembangan berpikir, sebagaimana digambarkan Howard Gardner dalam teori “Five Minds for the Future”. Tugas guru tidak sebatas menyampaikan substansi pelajaran tapi menciptakan atmosfir belajar sebagai ekologi perkembangan peserta didik. Dalam perspektif ini pendidikan tidak mungkin menjadi monopoli sekolah dan oleh karena itu keluarga harus ambil peran dan tanggung jawab efektif secara kolaboratif dengan sekolah di dalam proses pendidikan peserta didik seutuhnya.

Titik kritis pendidikan guru terletak terutama dalam sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa, proses pembelajaran calon guru, dan penjaminan mutu. Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG) yang sedang dalam proses perumusan akhir harus dipastikan mengandung dan merefleksikan ruh jati diri professional guru dan tidak sekedar merupakan daftar rangkaian pasal dan ayat regulasi yang satu sama lain lepas konteks. Mendidik guru terbaik adalah proses membangun jati diri professional guru. Kecakapan guru mengajar bukanlah sekedar penampilan kumpulan (agregasi) teknik mengajar melainkan sebuah keputusan utuh secara kontekstual yang merefleksikan trajektori belajar guru yang akan semakin mengokohkan jati diri professional dan karir guru.

Mendidik guru professional tidak sebatas membelajarkan calon guru menguasai perangkat kompetensi, apalagi kompetensinya dirumuskan secara fragmentasris, melainkan harus mendidik mereka menumbuhkan dan menginternalisasi jati diri professional guru ( professional teacher identity). Ini adalah nilai inti guru professional yang akan mampu menghadirkan guru membelajarkan peserta didik dengan misi dan tidak sekedar mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Guru calon guru alias dosen membelajarkan calon guru belajar tentang mengajar, membuat tacit knowledge yang ada pada dirinya menjadi explicit knowledge yang bisa dipelajari para calon guru.

Pembelajaran praktikum bagi calon guru dalam berbagai bidang studi mestinya tidak berhenti pada asesmen hasil praktikum para calon guru melainkan harus masuk pada langkah lanjut yaitu membelajarkan calon guru untuk mengajarkan praktikum sejenis kepada para peserta didik dalam konteks pendidikan di sekolah. Inilah keunikan pendidikan guru. Oleh karena itu, UPI sebagai LPTK yang bereputasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pedagogik pendidikan guru sebagai ilmu.

Kehadiran guru dengan misi di tengah peserta didik, sebagaimana disinggung sebelumnya, mengisyaratkan bahwa guru hadir dengan penuh kesadaran untuk membawa peserta didik ke arah tertentu. Fokus dan tujuan pembelajaran adalah dua hal yang akan harus menjiwai misi dimaksud. Disinilah titik temu akan terjadi antara misi guru dengan misi negara dan bangsa karena misi guru mesti mengalir dari misi negara dan bangsa. Disini pula mengapa seorang guru perlu memahami kekuasaan dan politik bangsa. Kehadiran guru dengan misi memungkinkan guru dan sekolah berkontribusi kuat terhadap kehidupan politik dan kultural peserta didik sebagaimana disebutkan sebelumnya. Tantangan dan kondisi yang digambarkan sesungguhnya mustahil dikerjakan sendirian oleh guru. Oleh karena itu sebagaimana juga digambarkan, pembelajaran harus bersifat kolaboratif, masuk pada paradigma diverse learner diverse learning.

Dengan tantangan yang digambarkan UPI dan juga LPTK lain yang bereputasi perlu didorong untuk meyakinkan birokrasi bahwa pendidikan guru harus dikembangkan secara otonom oleh perguruan tinggi yang kompeten dengan dukungan penuh dari Pemerintah dan menjadi prioritas tinggi secara nasional. Keunikan pendidikan guru memerlukan sistem penjaminan mutu tersendiri yang berbeda dari pendidikan perguruan tinggi lain. Pendirian lembaga akreditasi mandiri (kita berharap LAM Masyarakat dan bukan LAM Pemerintah) yang sedang dikembangkan pada saat ini harus segera diwujudkan dalam semangat kolaboratif dan pengawalan mutu pendidikan guru di tanah air. Aspek legal lembaga ini telah dijamin oleh UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ke depan, BAN PT tidak lagi mengakreditasi prodi melainkan mengakreditasi institusi sedangkan akreditasi prodi dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri. Dalam konteks ini sistem penjaminan mutu harus memastikan bahwa pendidikan guru akan menghasilkan guru yang berjati diri profesional yang siap memfasilitas peserta didik belajar tentang dan menyiapkan diri untuk memasuki masa depan dan dunia kerja global.

Pada era saat ini, membuat guru terbaik betah tinggal di sekolah adalah sebuah keniscayaan. Terkandung makna dan implikasi bahwa guru harus dikelola sebagai profesi dan bukan sebagai aparat birokrasi. Namun kondisi yang dihadapi mungkin tidak mendukung tata kelola ketengaan guru secara ekstrim dan harus dicari sinergi antara sisi birokrasi dan profesi. Hal yang harus dipastikan adalah tidak terjadinya politisasi guru. Guru harus bebas dari intervensi politik dan tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis. Perlu ada satu garis komando nasional yang kuat dalam tata kelola ketenagaan guru. Pertanyaannya, cara apa yang harus dilakukan?. Apakah dengan cara menarik kembali tata kelola guru ke tingkat nasional dan menjadikan tata kelola guru sebagai kewenangan Pemerinah dengan disertai garis komando nasional yang kokoh akan menjadi alternatif terbaik di dalam menyelsaikan kompleksitas masalah guru di tanah air? Sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab secara sungguh-sungguh dan dengan diikuti penyampaian pemikiran kepada Pemerintah. Kita berharap dan perlu mendorong UPI melahirkan pemikiran alternatif tata kelola guru secara nasional.

Rujukan
Baskoro, Arya. (Associate Researcher). (2015). “Peluang, Tantangan, Dan Risiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN”. http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-risiko-bagi-indonesia-dengan-adanya-masyarakat-ekonomi

Brotherton, Susan, J. (1996). Counselor Education for the Twenty-First Century. Bergin & Garvey. USA Griffin, Patrick. et.al. (2012). Assessment and Teaching of 21st Century Skills. Springer, New York

Chen, Milton. (2010). Education Nation, Six Leading Edges of Innovation in our Schools. Jossey-Bass, San Francisco

Gardner, Howard. (2008). “Five Minds for the Future”. Geneva GFF. (2013), http://globalfuturist.com/wp-content/uploads/GFF-2013.pdf

Joon-Chul Eom. (2016). ‘TVET System in Korea”.(pdf.ppt) Keynote Address. KONASPI VIII, Jakarta 2016. http://www.seminars.unj.ac.id/konaspi

Leong, Frederick T.L. (2001). “Career Education as Part of National Competitive Strategies” Keynote Address. The 9th Asia Regional Association for Career Development (ARACD) Conference. Singapore

Manzala, Teresita R. (2015). “The ASEAN Qualification Reference Framework”. (pdf.ppt) http://ceap.org.ph/upload/download/20138/27222725873_1.pdf

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012. “Tentang Kerangka Kualfikasi
Nasional Indonesia”

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Peran Ilmu Pendidikan Dalam Membangun Kejujuran dan Kemandirian Menuju Bangsa yang Bermartabat

$
0
0

Pendidikan Sebagai  Ilmu [1]

Tujuan utama ilmu adalah untuk memperoleh pengetahuan yang reliabel tentang perilaku alam dan perilaku manusia ( George F. Kneller. 1971: 334). Untuk tujuan dimaksud metode inkuiri digunakan sebagai metode khusus dalam ilmu, yang menggantikan metode intuisi, doktrin, dan akal lumrah (common sense), yang menghasilkan generalisasi dan teori yang bisa diuji berulang-ulang secara empirik. Inilah yang disebut dengan pendekatan ilmiah di dalam mencari kebenaran. Fakta-fakta yang dihimpun melalui metode inkuiri (observasi, pengujian hipotesis, deduksi dan validasi) akan menghasilkan generalisasi. Generalisasi yang teruji berulang-ulang secara konsisten akan membangun sebuah teori, yang selanjutnya teori akan digunakan sebagai landasan untuk memahami dan menguji berbagai fenomena atau fakta. Demikianlah berpikir keilmuan sebagai sebuah dialektika, yang akan selalu melahirkan tesis, hipotesis, dan antitesis.

Dilihat dari ragam temuan dan rentang teknik yang dihasilkan, salah satu model berpikir tentang penggolongan ilmu    ialah pemilahan ilmu ke dalam ilmu fisik dan ilmu biologis ( George F. Kneller. 1971: 317). Namun demikian selagi alam ini sebagai satu keutuhan (wholeness), maka pemahaman dan pengujian atas fakta dan fenomena akan harus dijangkau oleh pendekatan intersains (seperti biofisik, biokimia) dan interdisplin (seperti sejarah dan filsafat ilmu). Ada kelompok ilmu lain yaitu ilmu-ilmu perilaku manusia yang mencakup psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan linguistik.

Berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu ditegaskan, sebagaimana disebutkan, bahwa pendidikan adalah proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Pendidikan berurusan dengan perilaku manusia yang sedang berkembang sehingga pendidikan memerlukan ilmu-ilmu perilaku manusia. Tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke arah mana manusia dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan memerlukan filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara utuh.

Ilmu yang dianggap mampu menjelaskan atau memberikan gambaran cukup lengkap tentang perilaku manusia adalah psikologi; antropologi, sosiologi, biologi, dan bahkan linguistik memberikan gambaran sisi lain tentang perilaku manusia. Namun penjelasan dan pemahaman perilaku manusia yang digambarkan oleh psikologi tidak sampai kepada sebuah komposit pemahaman tentang manusia secara utuh melainkan lebih menyajikan rangkaian ragam gambaran tentang pemahaman perilaku manusia. Pemahaman seperti ini tidak memuaskan bagi kepentingan pendidikan karena hanya menjelaskan aspek keragaman manusia dan bukan keutuhan manusia. Dapatkah kita menyatukan gambaran parsial tentang manusia itu ke dalam satu kesatuan atau keutuhan? Jawabannya, bisa! Tapi tidak dengan menggunakan cara-cara ilmu pengetahuan belaka, melainkan harus menggunakan filsafat yang mampu mempersatukan temuan-temuan ilmiah yang terpilah-pilah itu dan menghubungkan konsep-konsep fundamental dari temuan itu secara koheren. Metode yang digunakan dalam filsafat adalah metode pemahaman, pernenungan, hermenuetic (Brenneman, Jr. 1982).

Hampiran filsafat selalu mempertimbangkan pertanyaan yang muncul sebelum dan sesudah hampiran keilmuan dilakukan. Pendekatan tradisonal keilmuan, misalnya,  menganggap bahwa peristiwa itu ada penyebabnya (hukum kausalitas, hubungan sebab akibat), sementara penyebab itu sendiri sesungguhnya juga sebuah peristiwa. Bagi ilmu tidak ada peristiwa tanpa sebab. Akan tetapi bagaimana kita yakin akan hal ini? Apakah sebab dan akibat itu ada di dalam dunia ini sebagai kenyataan atau hanya merupakan wujud dari bagaimana cara manusia membaca peristiwa itu? Pertanyaan semacam ini tidak dapat dijawab oleh ilmu karena kausalitas bukanlah sebuah temuan ilmiah melainkan sebuah asumsi ilmu.

Asumsi yang disebutkan penting diambil oleh ilmu atau ilmuwan, yang dianggap sebagai sebuah kenyataan, karena tanpa asumsi semacam itu seorang ilmuwan tidak akan dapat melakukan penelitian, investigasi atau pengujian fakta atau fenomena. Ilmu berurusan dengan sesuatu (objek) sebagiamana sesuatu itu tampak dalam pengindraan, pemahaman, dan instrumen yang digunakan manusia. Akan tetapi apakah betul kenyataan yang ada dalam sesuatu itu sebagaimana tampak oleh pengindraan dan pemahaman manusia? Ilmuwan tidak dapat menjelaskan hal itu, karena kenyataan sesuatu itu ada di dalam dirinya sendiri, bisa berlawanan dari apa yang tampak, dan itu diluar batas (beyond, melintasi) verifikasi empirik.

Filsafat adalah hal yang alamiah dan sebuah keniscayaan bagi manusia. Berbicara tentang pengembangan manusia tidak mungkin terlepas dari filsafat. Tidak hanya filsafat dari sebuah cabang pengetahuan seperti seni, sains, dan sejarah melainkan mencakup semua displin dan membangun hubungan yang kokoh dari semuanya itu. George F. Kneller (1971: 201) menegaskan bahwa filsafat  mengokohkan koherensi konseptual keseluruhan domain pengalaman.

Setiap upaya dan tindakan pendidikan selalu mengandung pertanyaan yang bermakna filosofis, baik bagi guru maupun peserta didik. “Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus.” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik  berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. “Mengapa saya mengajar?”, “Apa yang terbaik diajarkan?’, “Mengapa saya mengajar bahasa?”, “Mengapa saya belajar?”, “Mengapa saya belajar matematika?”. Itulah pertanyaan filosfis yang muncul dari guru dan peserta didik, pertanyaan yang terkait dengan hakikat manusia dan dunia, pengetahuan, nilai, dan hidup yang baik. Sayangnya untuk menjawab pertanyaan dimaksud tidak ada definisi tunggal tentang filsafat.

Ada tiga model pemahaman filsafat (George F. Kneller. (1971: 199-200) yang relevan digunakan untuk kepentingan pemahaman tentang hakikat manusia dan hidup sebagai landasan keilmuan pendidikan, yaitu filsafat: spekulatif, preskriptip, dan analitik.

Filsafat spekulatif, adalah cara berpikir sistematis tentang sesuatu yang ada. Dalam pandangan filsafat ini pikiran manusia berkehendak untuk melihat sesuatu objek sebagai suatu keseluruhan atau totalitas; bahwa  keragaman itu membentuk suatu kebermaknaan totalitas. Filsafat spekulatif adalah sebuah proses menguak tabir keteraturan dan totalitas, yang diterapkan tidak hanya kepada hal-hal atau pengalaman khusus melainkan kepada upaya menemukan koherensi keseluruhan hazanah pemikiran dan pengalaman.

Filsafat preskriptif, terarah kepada upaya menemukan standar yang mapan untuk mengukur nilai (values), menimbang tindakan, dan mengapresiasi seni. Standar ini digunakan untuk menguji apa yang dimaksud dengan baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek. Standar ini mempertanyakan apakah kualitas itu bersifat inheren di dalam objek atau sebagai proyeksi pikiran manusia. Bagi psikologi eksperimen misalnya, ragam perilaku manusia bersifat netral, tidak baik maupun buruk secara moral; melainkan sebagai suatu bentuk yang sederhana sebagaimana dipelajari secara empirik. Namun lain halnya bagi pendidikan atau filsafat preskriptif; perilaku itu dilihat apakah mengandung faedah atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah. Filsafat prespektif  memikirkan dan menggali kaidah-kaidah dasar untuk menetapkan apakah tindakan itu berfaedah atau tidak dan mengapa harus melakukan hal itu.

Filsafat analitik, berfokus kepada kata dan makna; menguji makna seperti “sebab”, “pikiran”, kebebasan akademik”, “kesamaan kesempatan”, “adjustment”, “kemandirian” dengan keragaman makna dalam keragaman konteks. Filsafat ini menguji bagaimana ketidak konsistenan makna terjadi apabila makna yang tepat untuk satu konteks diterapkan di dalam konteks yang berbeda. Filsafat analitik cenderung skeptik, sangat hati-hati, dan  cenderung tidak membangun sistem berpikir.

Sesungguhnya kepedulian filsafat tidak hanya kepada dunianya sendiri, melainkan juga kepada asumsi-asumsi dasar dari suatu cabang pengetahuan. Oleh karena itu lahirlah ragam filsafat seperti filsafat hukum, filsafat ilmu, dan filsafat pendidikan. Sebagaimana halnya filsafat umum, filsafat pendidikan mencari pemahaman pendidikan dalam hal entitasnya, penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah umum yang akan menjadi  panduan bagi penetapan tujuan akhir dan kebijakan pendidikan. Jika filsafat umum membangun koherensi temuan ragam ilmu, filsafat pendidikan menafsirkan temuan itu dalam hakikat pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak serta merta berimplikasi pada pendidikan; tidak dapat langsung diterapkan dalam praktek pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filosofis.

Di dalam mengkaji persoalan-persoalan pendidikan, filsafat pendidikan tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan yang dipertanyakan dalam filsafat umum, seperti: (a) hakikat hidup baik, ke arah mana pendidikan harus berbuat, (b) hakikat manusia, karena manusia adalah mahluk yang dididik, (c) hakikat masyarakat, karena pendidikan adalah sebuah proses sosial, (d) hakikat kenyataan akhir, yang bersifat metafisik, karena pendidikan membawa manusia kepada kebenaran hakiki yang menembus dunia fisik.

Filsafat pendidikan, sebagaimana halnya filsafat umum, bisa bersifat spekulatif, preskriptif, atau analitik. Pendekatan spekulatif dalam hal membangun teori tentang hakikat manusia, masyarakat, dan dunia yang dapat dijadikan landasan di dalam membangun keteraturan dan menafsirkan (apalagi jika terjadi pertentangan) data riset pendidikan dan ilmu-ilmu perilaku. Pendekatan preskriptif dalam hal penetapan tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan dan cara-cara umum yang digunakan di dalam mencapai tujuan dimaksud. Pendekatan analitik dalam hal mengklarifikasi pemikiran spekulatif dan preskriptif.

Perlu ditegaskan kembali bahwa pendidikan sebagai proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya mengandung makna bahwa pendidikan tidak bisa terlepas dari tujuan-tujuan normatif. Pendidikan harus selalu berurusan dengan baik-buruk, benar-salah. Pendidikan harus membawa manusia ke arah kehidupan yang baik dan benar. Oleh karena itu pendidikan harus berlandaskan kepada filsafat tentang hakikat keberadaan (eksistensial) manusia, hakikat hidup baik dan benar, dan internalisasi makna dalam universalitas dan konteks.

Tiga frase kunci dalam pengertian pendidikan yang disebutkan adalah kondisi apa adanya, kondisis bagaimana seharusnya, dan proses membawa. Kondisi apa adanya mengisyaratkan keadaan objektif manusia yang memiliki fitrah (potensi), kemerdekaan berpikir, dan hidup dalam konteks (kultural). Kondisi bagaimana seharusnya mengisyaratkan ke arah mana manusia secara normatif harus mengembangkan diri, untuk menjadi (becoming) dan berada (being). Proses membawa mengisyaratkan hubungan transaksional dan asimilasi untuk memfasilitasi pengembangan fitrah dan kemerdekaan berpikir manusia dalam kaidah-kaidah universal yang tidak lepas konteks ke arah yang normatif sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri.

Ketiga frase kunci yang disebutkan mengandung makna dan implikasi akan perlunya pemahaman yang mendalam terhadap kondisi objektif manusia, kondisi bagaimana seharusnya manusia menjadi dan berada, dan bagaimana proses membawa itu dilakukan. Sesuai dengan hakikat ilmu, secara keilmuan, pendidikan memiliki fungsi untuk memahami perkembangan manusia, menjelaskan bagaimana perkembangan manusia terjadi, dan mengendalikan serta memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan manusia, dengan menggunakan cara-cara ilmiah (keilmuan) yang telah diuji secara filosofis kebenarannya untuk membawa manusia ke arah perwujudan hidup sesuai dengan hakikat hidup baik dan benar.

Diakui bahwa untuk membawa manusia ke arah bagaimana seharusnya seperti dimaksud diperlukan ragam alat (tools). Tools berfungsi sebagai ilmu bantu yang terdiri terutama dari ilmu-ilmu dasar (antropologi, sosiologi, psikologi) dan matematika. Ilmu pendidikan dibangun atas dasar filsafat yang menjadi  sistem keyakinan dan landasan tujuan pendidikan dan ilmu-ilmu dasar sebagai ilmu bantu.  Ilmu-ilmu dasar dikatakan sebagai ilmu bantu, karena ilmu-ilmu dimaksud digunakan untuk, memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan (perkembangan) perilaku manusia secara kontekstual yang koheren dengan filsafat hidup manusia sesuai dengan hakikat eksistensial manusia. Pangkal tolak ilmu pendidikan terletak pada pemahaman dan pemaknaan yang benar dan utuh tentang hakikat manusia dan hakikat hidup.

Ilmu-ilmu dasar yang menjadi ilmu bantu dalam pendidikan adalah antropologi, sosiologi, psikologi, dan matematika yang dilumatkan ke dalam filsafat pendidikan yang diangkat dari pemaknaan hakikat manusia dan hakikat hidup. Pemahaman antropologis diperlukan di dalam pendidikan untuk menjelaskan dan memahami perkembangan manusia dalam konteks kehidupan budaya. Setiap manusia hidup dan berkembang dalam konteks kehidupan budaya dan tidak dalam kevakuman budaya.  Secara kultural perkembangan kontekstual itu terkait dengan tataran emik dan etik. Persoalan emik dan keragaman budaya mengandung implikasi akan pentingnya pemahaman perilaku dan perkembangan manusia dalam konteks keunikan budaya masing-masing. Sedangkan persoalan etik mengisyaratkan perkembangan dalam konteks universal yang harus terwujud dalam kehidupan manusia yang berlandaskan kepada hakikat dan nilai-nilai hakiki kehidupan manusia.  Pendidikan menyeimbangkan emik dan etik, antara keunikan dan keuniversalan. Filsafat antropologi dan kebudayaan penting difahami sebagai landasan (keilmuan) pendidikan.

Pemahaman sosiologis penting bagi pendidikan untuk menjelaskan dan memahami relasi dan interaksi manusia di dalam kelompok, masyarakat, ras, bangsa dan antar bangsa serta seluruh dinamika proses dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemahaman psikologis memberikan gambaran paling lengkap tentang perilaku manusia, namun tidak sampai kepada suatu komposit utuh tentang manusia. Oleh karena itu pemahaman manusia dari semua sisi ilmu bantu yang disebutkan, termasuk juga dari perspektif ekonomi dan linguistik,  harus dikaji secara koheren dengan filsafat.

Dua frase, tentang kondisi apa adanya dan kondisi bagaimana sehaursnya, telah dicoba ditelaah makna dan implikasinya. Frase “proses membawa” mengandung makna sebuah situasi transaksional  yang dibangun atas dasar pemahaman peserta didik (dengan menggunakan ragam ilmu bantu) dan tujuan pendidikan (berdasarkan filsafat pendidikan) sehingga tercipta sebuah kondisi optimum yang memfasilitasi perkembangan manusia ke arah kondisi bagaimana seharusnya. Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai mahluk individual, sosial dan mahluk Tuhan. Sikun Pribadi (1971:225)menyatakan bahwa: “ The general aim of education is the facilitation of creating the personal maximum condition for self-realization.”

“Creating the personal maximum condition” yang dikemukakan Sikun Pribadi itu bermakna sebagai esensi dari tindakan dan proses pendidikan. Kondisi maksimum dimaksud tidak mungkin dikembangkan hanya menggunakan teknik-teknik psikologi atau teknik-teknik ilmiah semata tentang perilaku manusia tanpa diuji dan dilumatkan secara koheren dengan filsafat pendidikan. “Proses membawa” adalah situasi pendidikan yang melumatkan (blending) pemahaman atas kondisi apa adanya dengan kondisi bagaimana seharusnya untuk membantu peserta didik mencapai realisasi diri. Realisasi diri (selfrealization) mengandung arti yang sangat luas karena menyangkut mas­alah kesadaran individu terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sebagai life-space-nya. Masalah kesadaran diri (self-awareness) merupakan ciri hakiki yang fundamental dari manusia, karena kesadaran diri  hanya dimiliki oleh manusia. Dikatakan oleh Schumacher (1978, h. 29) bahwa kesadaran diri  adalah faktor yang membedakan secara nyata antara manusia dan hewan.

Adalah hal yang diyakini bahwa Agama sebagai sumber kebaikan dan kebenaran dari segala sumber kebaikan dan kebenaran. Tapi mengapa masih harus berfilsafat? Agama adalah ajaran hidup yang bersumber dari wahyu Tuhan yang harus difahami dan diinternalisasi dengan atas nama Tuhan, atas dasar keimanan dengan menggunakan rujukan nilai-nilai ke-Tuhan-an; namun demikian agama tidak bersifat dogmatis. Internalisasi dan asimilasi nilai-nilai ajaran agama perlu lumat dengan kecerdasan dan hati yang akan membangun filsafat hidup. Filsafat hidup ini akan menjadi, antara lain, sumber filsafat pendidikan.

Sampailah kepada pertanyaan: “Apakah pendidikan itu ilmu?”. Setelah melakukan penjelajahan singkat untuk memahami makna pendidikan dan keilmuan pendidikan, ilmu-ilmu terkait yang digunakan dalam pendidikan, serta telaahan falsafah yang relevan, dapatlah dirumuskan kaidah-kaidah dasar berikut.

  1. Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia untuk merealisasikan diri.
  2. Proses membawa adalah tindakan pendidikan, perbuatan mendidik, relasi dan transaksi pendidikan, dalam menciptakan situasi pendidikan sebagai kondisi maksimum untuk memfasilitasi manusia merealisasikan diri.
  3. Situasi pendidikan adalah kondisi maksimum untuk memfasilitasi realisasi diri yang dikembangkan dengan melumatkan pendekatan ilmiah (scientific bases) tentang perilaku manusia secara koheren dengan filsafat pendidikan.
  4. Situasi pendidikan, dengan demikian, menjadi keunikan wilayah kajian pendidikan yang akan membedakan pendidikan dari ilmu-ilmu lain yang menjadi ilmu bantu pendidikan di dalam memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku manusia.

Dari kaidah-kaidah yang disebutkan dapat ditegaskan bahwa Pendidikan adalah Ilmu. Pendidikan adalah ilmu normatif yang mengkaji situasi pendidikan. Pendidikan bukanlah ilmu fisik atau kealaman, bukan pula ilmu perilaku manusia dan biologi, sebagaimana penggolongan ilmu dibuat, melainkan sebagai ilmu normatif. Memang benar ilmu pendidikan bersifat hibrida karena dibangun dari ilmu-ilmu dasar, yang berkaitan dengan perilaku manusia, namun semua itu diuji koherensinya dengan filsafat, bersifat normatif dan melahirkan kajian unik wilayah pendidikan.

Kejujuran dan Kemandirian[2] sebagai Tujuan Pendidikan

Keharusan manusia untuk hidup jujur, secara langsung diperintahkan Allah swt dalam firman Nya:  ” Wahai orang orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang orang yang jujur (QS. At-Taubah : 199). Betapa kejujuran ini menjadi nilai fundamental dalam kehidupan manusia tergambar dalam sebuah kisah di zaman Rasulullah saw.

Suatu ketika seseorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. Kemudian berkata kepada Rasul, ” wahai Muhammad aku ingin ikut ajaranmu, akan tetapi  aku masih senang mabuk-mabukan, mencuri, berzina dan berbohong. Orang orang mengatakan engkau melarang kesukaanku itu.  Sungguh, aku tidak sanggup meninggalkanya, apakah masih ada peluang bagiku untuk bersamamu?’ Nabi menjawab, jangan khawatir, Islam terbuka pada siapa saja.  Kalau kamu masih ‘gemar’ dengan kebiasaanmu itu tidak apa apa  tapi satu syarat yang harus kamu penuhi. ” Apa itu Muhammad” tanya laki laki itu penasaran.  “Jujurlah jangan suka berdusta !!!. Dia terima persyaratan tersebut dan masuk Islam ” Gampang sekali agama Muhammad, syaratnya hanya jujur” gumamnya dalam hati.

Setelah keluar dari tempat Nabi, teman temannya menawarkan khamer . Dia berpikir, ” kalau aku minum dan Muhammad tanya bagaimana aku menjawabnya ? Jika bohong aku mengingkari janjiku, dan kalau jujur, Muhammad pasti akan menghukumku.  Akhirnya dia enggan meminum khamer. Dalam perjalanan pulang, diapun bertemu sahabat karibnya yang menawarkan gadis cantik untuk berzina, keingingan dan keraguan kembali menderanya dan diapun memilih untuk menolaknya.

Keesokan harinya, laki-laki itu menghadap Rasulullah SAW. “ Wahai Rasaulullh alangkah Indah ajarannmu, ketika kamu menyuruhmu untuk tidak berdusta, maka pintu maksiat tertutup bagiku , tak ada lagi hasrat untuk melakukannya”. Laki laki itupun bertaubat dan Nabi SAW. hanya tersenyum bersyukur kepada Allah SWT.

Dalam kitabnya Ihya Ulumiddin Imam Ghozali menjelaskan bahwa kata as-sidqu (jujur) digunakan pada enam pengertian. Jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur dalam tekad, jujur dalam melaksanakan tekad, jujur dalam perbutan, jujur dala ketentuan agama.   seperti jujur dalam zuhud ikhlas, ridho, tawakkal, cinta dan sebagainya, maka yang demikian itu sungguh telah menjalani maqom tersebut.

Dari ilustrasi yang digambarkan dapat ditarik makna bahwa kejujuran yang hidup dalam diri seseorang telah mewarnai cara berpikir dan  merasa seseorang di dalam menetapkan pilihan untuk bertindak dan mewujudkan pilihan itu di dalam tindakan nyata secara konsisten. Konsistensi antara cara berpikir, pilihan dan keputusan yang diambil, dan tindakan nyata sesuai dengan pilihan dan keputusan merupakan esensi kejujuran. Jujur kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Dalam kondisi semacam ini terjadi konsistensi antara cara berpikir, keputusan yang diambuil, dan tindakan yang dilakukan, secara sadar dan mandiri, tanpa paksaan dan tidak dalam kepura-puraan.

Perilaku yang muncul atas kejujuran adalah perilaku mandiri. Apakah kemandirian menjadi wilayah kajian ilmu pendidikan dan sebagai tujuan pendidikan? Secara fenomenologis pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya. Pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai mahluk individual, sosial dan mahluk Tuhan. Kembali ditegaskan apa yang diungkapkan Sikun Pribadi (1971: 225) bahwa: “ the general aim of education is the facilitation of creating the personal maximum condition for self-realization.” Istilah realisasi diri (self realization) mengandung arti yang sangat luas karena menyangkut mas­alah kesadaran individu terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sebagai life-space-nya.

Walaupun pendidikan dapat dilaksanakan secara kelompok, hakikat pendidikan tetap merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada individu-individu yang beragam. Diakui bahwa sampai batas tententu strategi upaya pendidikan secara kelompok mampu membawa manusia ke arah tingkat perkembang­an tertentu. Akan tetapi karena hakikat manusia itu berada pada tahap kehidupan yang bermakna, dan bahwa pen­didikan itu bertujuan meningkatkan kebermaknaan hidup manusia, yang dia alami secara individual, maka strategi upaya umum itu perlu dilengkapi dan dilanjutkan dengan strategi upaya khusus yang lebih intensif dan individual, dan upaya dimaksud adalah bimbingan dan konseling.

Ijinkan saya dalam orasi ini menyinggung kaitan pendidikan dan bimbingan dan konseling, dalam konteks pengembangan kemandirian individu. Bertolak dari prinsip yang disebutkan, keberadaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan muncul sebagai konsekuen­si logis dari hakikat pendidikan itu sendiri. Phenix (1964: 296) mengemukakan bahwa:

…person may not ordinary be ready for mature understanding of self and others, for moral insight, and for integrative perspective until they have passed beyond the usual period of formal general education. Such a conclusion points to the need for continuing general education throughout life, par­ticularly in the field of applied psychology (especially guidance and counseling on an individual or group basis with an existential emphasis,…)

Berbicara tentang bimbingan dan konseling, sama dengan pendidikan, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hakikat manusia. Keberadaan bimbingan secara terintegarasi di dalam pendidikan mengandung arti bahwa upa­ya bimbingan dan pendidikan terarah kepada tujuan yang sama, yakni membantu manusia mencapai kemandirian, membantu manusia agar mampu menolong diri sendiri.[3] Mc Daniel et.al. (1961) mengemukakan seperti berikut.

What are the basic goals and objectives of counseling? Although the statement could be phrased in many different ways, we may say that the counseling process should result in assiting individ­ual to become autonomous, self-directing, and self disciplined. This a rather ambitious statement of objectives and is not limited to the counseling and guidance. It could well be set up as general goal of education.

Melalui proses pendidikan dan bimbingan individu dibantu untuk mengembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap pengalamannya, sehingga dia menemukan kehidupan yang bermak­na. Pemikiran ini sejalan dengan asumsi yang mengatakan bahwa: “The self constantly strives for meaning, that is for understandirig of its experiences. There is a basic drive to organize experience into meaningful wholes: one of the highest value in life is to have meaning in one’s personal existence. Meanings are determined by the whole organismic reaction of person to his experiences. (Patterson,1966: 68).

Asumsi di atas mengandung arti bahwa pendidikan dan bimbingan bertolak dari suatu pandangan yang melihat manusia itu sedang berada dalam proses menjadi (becoming) untuk mene­mukan keberadaan dan kebermaknaan hidup (being). Implika­si pemikiran ini ialah bahwa tujuan tujuan bimbingan dan juga tujuan konseling tidak se­mata-mata bersifat terapeutik-klinis tapi lebih bersifat pneventif dan pengembangan. (Blocher. 1971 Dalam Beck. 1971: 5).

Dalam menghampiri masalah kemandirian, tujuan bimbingan yang bersifat “pengembangan” lebih penting dari pada tujuan terapeutik atau klinis. Ini bertolak dari asumsi bahwa kemandirian tumbuh dalam proses individuasi yang terwujud dalam interaksi yang sehat
antara individu dengan budaya atau lingkungarmya. Pandangan ini melihat bahwa perkembangan adalah proses perubahan yang berpola dan bergerak ke arah perilaku yang dikehendaki oleh individu maupun masyarakat dalam sistem nilai tertentu. Fungsi pendidikan dan bimbingan maupun konseling di dalam pemikiran seperti ini ialah menciptakan kemudahan bagi terjadinya perkembangan kepribadian individu secara normal. Hasil bimbingan dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan tugas-tugas perkembangan atau peningkatan perkembangan dari tingkat satu ke tingkat berikut yang lebih tinggi. Bertolak dari pemikiran di atas dan asumsi yang mengatakan bahwa kemandirian merupakan tingkat perkembangan dinamika kepribadian individu, maka cukup alasan jika kemandirian menjadi wilayah studi dan bahkan sebagai tujuan pendidikan maupun bimbingan dan konseling.

Apa esensi kemadirian itu? Apabila kembali kepada rumusan tujuan pendidikan yang diungkapkan Sikun Pribadi, nampak bahwa (Sunaryo Kartadinata, 1983) “… upaya pendidikan dalam membantu individu mengembangkan sistem penyesuaian diri  yang adekuat berlandaskan kepada sifat—sifat manusiawi dari manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, terutama anak didik.” Prinsip tersebut mengandung arti bahwa mendidik bukanlah memberi nasihat kepada anak, melainkan mendapatkan situasi yang penuh keakraban di mana dalam situasi tersebut terwujudnya nilai—nilai hidup dalam bentuk perilaku yang dapat mempengaruhi dan mendorong anak berbuat atas kesadaran dan kemauannya sendiri.

Berbicara tentang kemandirian akan merujuk kepada perkembangan diri, karena diri merupakan inti dari kemandirian. Banyak istilah dan konsep yang berkenaan dengan diri seperti: selfdeterminism ( Durkheim, 1925 ), autonomous morality (Piaget, 1932), ego integrity (Erikson, 1950), the creative self (Adler), selfactual­ization (Maslow), selfsystem (Sullivan), real self (Horney), selfefficacy, selfexpansion, selfesteem, selfpity, selfrespect, selfsentience, self sufficiency, selfexpression, selfdirection, selfstruc­ture, selfcontempt, selfcontrol, selfrighteousness, selfeffacement (Hall dan Lindzey; Sullivan; Horney; Wylie).

Konsep tentang diri yang dikemukakan di atas tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep kemandirian merujuk kepada konsep autonomy. Ada berbagai sudut pandang dalam menjelaskan makna dan proses perkembangan kemandirian. Durkheim (1925) melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat (society centered). Pandangan ini disebut juga pandangan konformistik. Menurut Durkheim kemandirian (autonomy) merupakan elemen esensial ketiga dari moralitasitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Kemandirian tumbuh karena ada disiplin (yaitu ada aturan bertindak dan otoritas), dan komitmen terhadap kelompok. Kedua elemen ini (disiplin dan kornitmen) merupakan prasyarat bagi kemandirian.

Dalam pandangan konformistik, kemandirian adalah konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Kemandirian adalah penampilan keputusan pribadi yang di­dasari pengetahuan lengkap tentang konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima konsekuensi tindakan tersebut. Pemahaman terhadap hukum moralitas menjadi faktor utama yang mendukung perkembangan kemandirian. Faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian atau self determinism dari kepatuhan (submission). Dikatakan oleh Durkheim (1925/1973: 116) “We liberate ourselves through understanding; there is no other means of liberation.” Dengan pemahaman inilah manusia akan terhindar dari konformitas pasif. Dikatakan lebih jauh oleh Durkheim, (1925/ 1973 :115) “Thus to understand the world and to order our conduct as it should be in relationship to it, we only have to take careful thought, to be fully aware of that which is in ourselves. This constitutes a first degree of autonomy”.

Konsep kemandirian konformistik ini tampak pula dalam pikiran McDougal (Togan dan Busch, 1984) yang melihat perilaku mandiri itu sebagai “hallmark” dari kematangan; sebagai pendorong perilaku sosial. Dalam konsep MeDougal kemandirian adalah konformitas khusus, yakni konformitas terhadap kelompok yang terinternalisasi. Manusia itu se­lalu berkonformitas; perbedaan satu sama lain terletak dalam hal kelompok rujukan yang disukainya. Dalam pemikir­an Durkheim maupun McDougal tampak bahwa polaritas antara kemandirian dengan konformitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Berbicara tentang kemandirian tidak dapat di­pisahkan dari pembicaraan tentang hakikat manusia, karena perkembangan kemandirian adalah perkembangan hakikat eksistensial manusia. Pandangan yang berpusat pada masyarakat tentang kemandirian lebih menekankan bahwa ling­kungan itu mempunyai kekuatan yang “super” terhadap kehi­dupan manusia. Seolah-olah manusia tidak bisa “berbuat” terhadap dunianya; padahal manusia adalah mahluk yang ti­dak semata—mata dipengaruhi lingkungan melainkan dia mempengaruhi, mengubah, bahkan menciptakan lingkungan; manusia adalah mahluk yang memiliki keragaman di dalam kesama­an. ( M.I. Soelaeman, 1988).

Bertolak dari pemikiran tentang hakikat manusia yang diuraikan di atas, maka kemandirian perlu dihampiri dari sudut pandangan lain dan tidak semata-mata dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Pandangan yang berpusat pada masyarakat akan membawa implikasi pada pendidikan sebagai proses transmisi budaya yang menekankan kepada proses penanaman harapan dan aturan masyarakat belaka.

Pemikiran tentang hakikat manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai proses interaksional dinamis. Proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberi makna terhadap dunianya atas dasar proses “mengalami” sebagai konsekuensi dari perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam pandangan ini kemandirian menjadi berpusat pada ego atau diri sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian (Kohlberg, 1984).

Kemandirian bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas, melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia. Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakikat manusia. Perilaku mandiri adalah perilaku memelihara hakikat eksistensi diri. Erich Fromm (1947) menyebut perilaku ini sebagai katahati humansitik.

“Interaksional” mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses pengembangan keragaman manusia dalam kesamaan dan kebersamaan dan bukan dalam kevakuman dan kesendirian. Dalam kaitan dengan kesamaan dan kebersamaan ini, Maslow (1971) membedakan kemandirian tak aman (insecure autonomy) dari kemandirian aman (secure autonomy). Kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ini sebagai kemandirian mementingkan diri sendiri (selfish autonomy). Sedangkan kemandirian yang aman ialah kekuatan untuk menumbuhkan cintakasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan  untuk menyenangi dan mencintai kehidupan dan membantu oanang lain. Inilah yang dimaksud oleh Maslow dengan kemandirian yang sehat.

Dalam konsep transendensi[4] (Maslow. 1971: 165) ditekankan bahwa autonomy dan homonomy adalah dua hal yang berhubungan dan tumbuh bersamaan. Dikatakannya bahwa:

“ … for as the person grows healthier and more authentic the high autonomy and the high homony grow together and tend finally to fuse and to become structured into a higher unity which includes them both. The dichotomy between autonomy and homonomy, between selfishness and unselfishness, between the self and non-self, between the pure psyche and outer reality, now tend to disappear, and be seen as a byproduct of immaturity and of incomplete development.

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam kemandirian justru tenkandung aspek keterkaitan, yakni pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai faset kehidupan. Dikatakan oleh Chikering (1971: 74) bahwa “…recognition and acceptance of interdependence, is the capstone of autonomy.” Kata interdependence mesti ditafsirkan lebih luas, bukan berarti ketergantungan antar manusia (saja) melainkan ketergantungan antar berbagai motif dan nilai  yang  melandasi perilaku yang tampil dalam interkasi dengan orang lain. Keputusan dan tindakan  tidak semata-mata didasarkan kepada kebutuhan dalam dimensi nuang dan waktu tetapi juga dalam dimensi nilai. Maslow (1971) menyebut kekuatan ini sebagai meta-motivasi perilaku.

Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur normatif. Ini berarti bahwa perkembangan kemandirian adalah suatu proses yang terarah, dan karena perkembangan kemandirian adalah perkembangan yang sejalan dengan hakikat eksistensial manusia, maka arah perkem­bangan tersebut mesti sejalan dengan dan bertolak dari tujuan hidup manusia. Berbicara tentang tujuan hidup akan selalu terkait dengan dimensi ruang, waktu, dan nilal. (M.I. Soelaeman, 1988: 56-61).

Menjadikan diri atau ego sebagai inti perkembangan kemandirian, memberi arti bahwa perkembangan manusia terarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Bagaimana manusia memberi makna terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena bengantung kepada ba­gaimana dia mempersepsikan diri dan dunia itu. Di sini ter­sirat arti bahwa memaknai itu adalah proses yang selektif, dan karena itu bangun kehidupan yang terbentuk dalam setiap diri manusia akan berbeda-beda. Dalam tataran makna yang lebih tinggi—Phenix (1964) menyebut makna sinoptik dan Maslow (1968) menyebut transendensi lingkungan (transcendence of environment)— hubungan antara individu dengan dunianya tidak lagi bersifat interaksi subyek-obyek melainkan merupakan hubungan antar-subyek­tivitas (intersubiectivity), yakni proses dialog dalam diri.

Sifat selektif dalam memaknai kehidupan menunjukkan bahwa apa yang dipersepsikan dan dimaknai oleh manusia ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih tidak terlepas dari proses kognitif, dalam menimbang berbagai alternatif yang akan selalu terkait dengan sistem nilai, dan bukan proses yang bersifat reaktif atau impulsif Ba­gaimana proses kognitif terjadi, dan bagaimana menyesuai­kan kehendak terhadap berbagai dimensi kehidupan akan mewarnai cara manusia memaknai dunianya. Implikasi yang tersirat di sini ialah bahwa hampiran kognitif terhadap kemandirian dapat digunakan apabila dipertautkan dengan berbagai dimensi kehidupan manusia.

Bagaimana proses perkembangan itu terjadi? Apabila hakikat manusia ditelaah kembali, ternyata pada saat dia lahir ke dunia dia berada dalam ketidak- berdayaan dan ketidak – tahuan tentang diri dan dunianya. Pada tingkat ini dia “menyatu” dengan dunia atau alam. Menyatu dalam arti dia belum tahu hubungan subyek-obyek. Dengan kemampuan berpikir, kemotekaran, dan imajinasinya manusia mampu mengenal perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan  dan orang lain itu. Di sini dia menuju dan berada dalam proses peragaman (diferensiasi). Dalam tahapan ini mungkin dia sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ikatan otoritas dan menuju kepada hubungan mutualistik mengem­bangkan kemampuan menuju spesialisasi tententu, mengem­bangkan kemampuan instrumental untuk mampu melakukan dan memenuhi sendiri aktivitas hidup. Chikering (1971) mengidentifikasikan tingkatan ini sebagai indipendensi emosional dan instrumental yang merupakan dua komponen dalam perkembangan kemandirian. Kedua komponen tersebut bersi­fat komplementer, yang secara bertahap akan mengarah ke­pada pengakuan dan penerimaan ke-saling bergantung—an di dalam kehidupan.

Walaupun dalam tahap peragaman ini manusia sudah memiliki kemampuan instrumental, tapi dia belum sampai ke­pada kemandirian karena aksentuasi penampilan dirinya baru dalam aspek – aspek kehidupan tertentu.  Proses peragaman dan spesialisasi ini sebenarnya baru merupakan proses pemilikan (having) akan pengetahuan, keterampilan, tek­nologi, dan masih harus berlanjut ke tingkat being seba­gai dimensi kehidupan yang lebih penting , yakni upaya me­mantapkan jati diri (Fuad Hassan, 1986). Tingkat peragaman ini harus berlanjut ke tingkat integrasi, atau tingkat mendunia (Driyakara) yakni tahap mendekatkan diri kepada dunia yang dihidupi dan dihadapi, dan bukan mengasingkan diri sehingga timbul kemandirian tak aman (Maslow).

Demikianlah bahwa konsep kemandirian itu sebagai konsep totalitas kepribadian dan kehidupan manusia yang harus paralel dengan tujuan hidup manusia. M.I. Soelaiman (1985: 519- 525) menggambarkan bagaimana interaksi dan dinamika perkembangan manusia itu berlangsung menuju kehidupan yang terintegrasi. M. I. Soelaiman mengungkap­kan lima karakteristik inheren dan esensial, yang saling berinteraksi, dalam kehidupan dan kepribadian manusia.

Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini manusia menampilkan:

(1)       kedirian, yang menunjukkan pengukuhan dirinya dan bah­wa dirinya itu berbeda dari yang lain. Akan tetapi kedirian itu tidak pernah berlangsung dalam kemenyendirian melainkan dalam:

(2)       komunikasinya dengan berbagai pihak baik dengan ling­kungan fisik, orang lain, diri sendiri, maupun dengan Tuhannya. Komunikasi manusia dengan berbagai pihak ini menunjukkan adanya:

(3)       keterarahan dalam diri manusia yang menyatakan bahwa hidupnya ini bertujuan. Proses penwujudan dan pen­capaian tujuan ini menghendaki adanya:

(4)       dinamika yang menyatakan bahwa manusia memiliki pikiran, kemampuan dan kemauan sendiri untuk berbuat dan berkreasi, dan tidak menjadi objek yang dipolakan atau digerakkan oleh (orang) lain. Keempat fenomena itu tampil secara terintegrasi dalam keterpautannya dengan:

(5)       sistem nilai, sebagai elemen inti dari tujuan dan cara hidup.

Dapatlah ditegaskan bahwa kemandirian adalah sebuah proses perkembangan, terbentuk melalui proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pendidikan dan bimbingan bertugas mengembangkan atau menyiapkan lingkungan yang mampu memperkaya kehidupan kemandirian individu dalam hubungannya dengan  kehidupan orang lain dan dunianya.  Esensi tujuan pendidikan dan juga bimbingan dan konseling adalah memandirikan individu; kemandirian (autonomy) adalah tujuan pendidikan dan bimbingan.

Kemandirian yang sehat akan tumbuh melalui interaksi yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya yang sehat pula. Di sinilah letak esensi upaya pendidikan  untuk menciptakan lingkungan perkembangan yang dilandasi kaidah-kaidah ilmu pendidikan. Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan pendidikan dan bimbingan tidak sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang hanya bersifat kekinian, melainkan terarah kepada penyiapan individu untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai mahluk Allah Yang Maha Kuasa. Pendidikan dan Bimbingan bertugas memfasilitasi individu menguasai perilaku jangka panjang yang diperlukan di dalam kehidupannya, dalam mengambil keputusan sosial-pribadi, pendidikan, dan karir.

  Dalam konteks pembelajaran, ”menciptakan situasi pendidikan” merupakan strategi upaya mendidik yang memfasilitasi individu  mempelajari perilaku jangka panjang. Ini berarti bahwa pembelajaran harus merupakan upaya mendidik. Pembelajaran yang mendidik, yakni pembelajaran yang tidak hanya berorientasi penyampaian substansi materi ajar melainkan menciptakan situasi pendidikan yang memfasilitasi individu mencapai kemandirian.  Di dalam dunia bimbingan dan konseling dikenal adanya layanan dasar yang berorientasi pengembangan perilaku jangka panjang yang memandirikan individu. Bimbingan dan konseling berorientasi memandirikan, yakni Bimbingan dan Konseling Memandirikan. Sebuah konsep bimbingan dan konseling yang konsisten dan sejalan dengan konsep ilmu pendidikan. Pembelajaran yang Mendidik dan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan adalah dua modus strategi upaya memfasilitasi perkembangan individu yang harus didukung oleh manajemen dan kepemimpinan pendidikan.

Bangsa Bermartabat dan Misi Pendidikan

Pendidikan di setiap negara bertujuan menyiapkan siswa menjadi waga negara yang baik. Dalam konteks kekinian, di era global, pendidikan tidak semata-mata menyiapkan individu  menjadi warga negara yang baik tapi menyiapkan mereka menjadi warga dunia, yang mampu berkomunikasi dan berkolaborasi antar bangsa dan mengembangkan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan manusia. Peran pendidikan (Griffin: 2012) bergeser dari peran yang beorientasi defisit ke peran yang berorientasi perkembangan.

Misi negara yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia adalah bahwa ”… Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”, sebagaimana termuat dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Dua misi pertama, berorientasi ke dalam yakni untuk menguatkan eksistensi bangsa dan negara dan mensejahterakan rakyat, dan dua misi terakhir berorientasi keluar, dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, yakni membangun kehidupan bangsa yang cerdas dan  menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Keempat misi yang disebutkan harus ada dalam setiap kepala dan pikiran manusia Indonesia, cara kerja dan cara hidup sebagai warga negara. Keempat misi negara ini mesti diterjemahkan ke dalam misi setiap sektor pemerintahan dan menjadi misi pemerintahan, termasuk misi pendidikan.

Bisa terjadi ragam pemaknaan terhadap misi dimaksud namun semuanya harus terarah kepada penguatan eksistensi dan martabat bangsa dan negara . Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mengandung makna menumbuhkan daya tahan bangsa dan negara dari segala ancaman. Daya tahan bangsa tidak sebatas daya tahan sekuriti melainkan daya tahan ideologi, jati diri, dan budaya. Strategi proxy war dan perang a simetris merupakan ancaman paling membahayakan terhadap keutuhan dan eksistensi bangsa karena bisa menimbulkan perang saudara dan penyimpangan ideologi.

Kesejahteraan (dalam arti well-being) mengandung makna kecakapan untuk meningkatkan hidup lebih baik dan dengan menempatkan hati dan pikiran  untuk kesehatan emosional dan spiritual, yang didukung oleh kecukupan material agar  manusia bisa melakukan pilihan untuk memelihara eksistensi dan keberlanjutan diri.  Keadaan well being bisa dalam arti intrapersonal, interpersonal dan struktural yang akan menjadi rangkaian peluang untuk dipilih manusia dalam memelihara eksistensi dan keberlanjutan diri.

Well being merupakan sebuah keadaan dan  proses perkembangan yang harus didukung oleh sumber-sumber kapital yang terkait dengan (1) kehidupan sosial, budaya, ekonomi yang menyediakan peluang yang bersifat mendukung terhadap pilihan yang paling mungkin dibuat  manusia untuk merealisasikan  diri; (2) ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan melalui riset yang berorientasi kemaslahatan masyarakat, (3) budaya yang dikembangkan menjadi sebuah warisan baik sebagai proses maupun produk, dan (4)  tata kelola pemerintahan yang efisien,  melindungi kekayaan fisik maupun non fisik, ketersediaan dan kecukupan bisnis, ketenaga kerjaan, dan sistem remunerasi.

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah “…membangun karakter, membangun watak, dan membangun kepribadian dan martabat  bangsa. Perlu disadari, bahwa yang ditegaskan dalam hal ini adalah, kecerdasan kehidupan bangsa bukan  kecerdasan  orang per orang, demikian pula halnya dengan  karakter bangsa, bukan karakter orang per orang, martabat bangsa bukan martabat orang per orang.  Kendatipun benar bahwa kecerdasan, karakter, dan martabat yang disebutkan akan melekat pada diri orang per orang namun kecerdasan bangsa, karakter bangsa, martabat bangsa bukanlah sebuah agregat dari kecerdasan, karakter, dan martabat perorangan; di dalamnya mesti ada perekat, yaitu nilai-nilai kultural, kesadaran kultural dan oleh karena itu pendidikan harus membangun kecerdasan kultural (cultural intelligence).” (Sunaryo Kartadinata: 2012: 7)

Turut serta memelihara ketertiban dan perdamaian dunia menjadi tugas dan tanggung jawab universal dari seluruh umat manusia. Perdamaian dan kedamaian bukan semata-mata dalam arti ketiadaan perang, kerusuhan, dan konflik dalam kehidupan manusia melainkan lebih kepada tata pikir (mind set) dan tindakan manusia untuk hidup damai dan membangun kedamaian. Tata pikir dan kehidupan damai ini mesti terwujud dalam kehidupan sekolah dan bahkan kelas. Perilaku kekerasan (violent behavior) yang terjadi di masyarakat baik secara verbal, fisik, maupun struktural merupakan refleksi dari ketidak damaian kehidupan. Perilaku konsumerisme, eksploitasi lingkungan, cara-cara “persuasi” untuk mengabil keuntungan pribadi secara tersembunyi semua merupakan perilaku kekerasan non fisik yang cukup membahayakan. Dalam kehidupan sekolah, tindakan bully baik antar siswa maupun guru kepada siswa adalah perilaku kekerasan yang harus dihentikan

Bangsa bermartabat adalah bangsa yang cinta tanah air, sejahtera lahir bathin, cerdas dalam memilih dan mengambil keputusan, cinta damai dan kedamaian, kerja keras dan berorientasi mutu, jujur,  bertanggung jawab, dan mengedepankan kemaslahatan bagi kehidupan manusia yang dilandasi oleh dan merupakan perwujudan dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sosok dan nilai-nilai bangsa bermartabat ini mesti melandasi misi guru ketika dia hadir di dalam proses pembelajaran dan kehidupan sekolah. Guru hadir ke sekolah dan kelas dengan misi.

Mengajar dengan Misi: Membangun Atmosfir Pembelajaran

Dalam seting persekolahan upaya pendidikan diwujudkan terutama dalam proses pembelajaran. Pembelajaran adalah upaya pendidikan  yang harus dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pendidikan. Hakikat ilmu pendidikan dan tujuan pendidikan yang dijelaskan terdahulu mengandung makna bahwa di dalam pembelajaran terkandung unsur tujuan jangka panjang (teleologis) dan suasana yang menfasilitasi perkembangan. Kejujuran dan kemandirian sebagai aspek tujuan pendidikan adalah perilaku jangka panjang yang terbentuk di dalam suasana pembelajaran yang mendidik. Sosok dan nilai-nilai bangsa bermartabat yang digambarkan perlu difahami dan dicerna sebagai sumber inspirasi bagi guru di dalam merumuskan misi pembelajaran. Bahan ajar yang  diajarkan kepada siswa tidak semata-mata dimaksudkan untuk dikuasai siswa secara baik, sebagai pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga berfungsi sebagai wahana pengembangan perilaku jangka panjang yang lumat di dalam  atmosfir pembelajaran.

Guru sadar akan misi yang dibawanya kedalam kelas,  dan dia memfasilitasi  siswa mencapai misi dimaksud dengan cara mempelajari  substansi ilmu pengetahuan dalam atmosfir pembelajaran yang memfasilitasi perkembangan perilaku sesuai dengan misi yang hendak diwujudkan. Substansi pelajaran, perilaku yang terkandung dalam misi, dan nilai-nilai kehidupan menjadi lumat dan dipelajari siswa secara serentak di dalam proses dan atmosfir pembelajaran. Pembelajaran merupakan sebuah kiat dan bukan semata-mata ilmu, namun pembelajaran dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan landasan keilmuan, yakni ilmu pendidikan.

Dalam konteks pembelajaran,  ilmu pendidikan menjadi landasan keilmuan kiat mengajar (a scientific bases of the art of teaching), dan guru hadir di kelas tidak hanya untuk membelajarkan siswa menguasai pengetahuan dan keterampilan dari bahan ajar yang dipelajari tapi dia (guru) hadir dengan misi untuk membawa siswa mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Misi merupakan idealisme dan spirit seorang guru, sebuah cita-cita jangka panjang seorang guru yang ada di dalam dirinya untuk membawa siswa ke kehidupan masa depan yang baik dan benar, baik sebagai pribadi, warga negara sebagai generasi penerus bangsa, dan sebagai mahluk Tuhan Allah Yang maha Kuasa.  Misi seorang guru lahir dari pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, nilai-nilai budaya, dan misi negara, yang lazimnya dituangkan dalam rumusan Tujuan Utuh Pendidikan Nasional.

Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, yakni tujuan individual, tujuan kolektif, dan tujuan eksistensial. Tujuan individual yaitu tujuan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya. Tujuan kolektif adalah tujuan yang harus dicapai dalam wujud kecerdasan kehidupan bangsa, dan tujuan eksistensial adalah tujuan yang harus terwujud dalam karakter bangsa yang bermartabat yang memiliki daya saing dan ketahanan hidup  yang kokoh. Dalam perspektif pendidikan yang digambarkan, membangun manusia Indonesia yang bermartabat melalui upaya pendidikan adalah mewujudkan tujuan utuh pendidikan nasional, sehingga dengan demikian setiap kebijakan, regulasi, praktek penyelenggaran, manajemen, dan evaluasi pendidikan harus secara konsisten beranjak dari mind set utuh pendidikan yang terarah kepada pencapaian tujuan utuh pendidikan nasional. (Sunaryo Kartadinata: 2012: 7)

Esensi pendidikan yang ditegaskan dalam UU Sisdiknas memposisikan peserta didik sebagai “pemikir”[5] yang harus aktif mengembangkan potensi diri dan mencari makna dari dunianya. Implikasinya, pembelajaran harus membangun nilai-nilai diskusi, kolaborasi, dan memaknai pengetahuan secara kultural yang berbeda dari pengetahuan secara personal, membangun “intersubyektivitas” yang memungkinkan orang faham akan apa yang terjadi pada orang lain. Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pebelajar imitatif dan belajar dari ekspose-ekspose didaktis belaka yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak konsisten dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri. (Sunaryo Kartadinata: 2012: 6)

Sebuah atmosfir pembelajaran, yang berorientasi perkembangan, mengandung unsur-unsur struktur, transaksi, dan penguatan. Struktur adalah penyajian tantangan kepada siswa yang mendorong siswa untuk berpikir, berbuat, menguji, mengalami. Tantangan yang disajikan hendaknya mengandung kebaruan (novelty) sehingga mendorong siswa untuk mencari ragam alternatif pemikiran baru. Transaksi adalah interaksi sosiopsikokultural guru-siswa maupun siswa-siswa. Proses dialog, berbagi (sharing), mensintesis pengetahuan dalam konteks, kolaborasi, respek, mengharagi keragaman pikiran dan sikap, dan perilaku lainnya sebagai sebuah proses mengembangkan alternatif respon terhadap tantangan yang disajikan.  Penguatan merupakan respons dan internalisasi atas alternatif pikiran, tindakan, dan apresiasi siswa terhadap tantangan.

Menyimak uraian yang dijelaskan tampak bahwa sosok guru ideal dan profesional tidak cukup sekedar menguasai kompetensi tapi juga harus memahami dan menguasai misi. Kompetensi merupakan perangkat perilaku yang terinternalisasi baik secara kognitif, psikomotorik  maupun afektif yang secara konsisten terwujud dalam unjuk kerja (professional).  Kompetensi menggambarkan mutu penguasaan tindakan yang diambil atas dasar serangkaian pilihan dan keputusan yang akuntabel. Kompetensi merupakan representasi dari rongga profesi yang beririsan dengan rongga pribadi.  Irisan dan keterpaduan antara rongga profesi dengan rongga pribadi akan membentuk jati diri professional. Seorang guru yang telah memiliki jati diri professional akan menjadikan nilai, tugas, kehidupan, dan tanggung jawab seorang guru sebagai nilai intrinsik dan spirit. Dia akan bekerja tidak sekedar memenuhi standar, yang terwujud dalam etos kerja, melainkan kerja atas dasar spirit dan idealisme yang selalu mendorong dirinya untuk berinovasi secara kreatif, dan disitulah misi tumbuh. Lintasan belajar sebagaimana dimaksud membawa guru dari kompetensi menuju (pembentukan) jati diri dan misi. Misi merupakan titik terdalam dari lintasan belajar (learning trajectoty) guru yang akan mewujudkan pekerjaan guru sebagai pekerjaan yang hidup (work live) dan bukan pekerjaan rutin dan mekanistik.

Akhirnya, ijinkan saya mengakhiri orasi ini dengan penegasan bahwa pendidikan tidak mungkin diselenggarakan dengan baik dan utuh tanpa menggunakan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan adalah jati diri LPTK yang harus dikembangkan melalui riset,  pendidikan guru harus menghantarkan para calon guru tidak sebatas menguasai kompetensi melainkan menumbuhkan spirit untuk mengembangkan jati diri dan misi, guru adalah pemegang kunci keberhasilan pendidikan melalui penciptaan atmosfir pembelajaran sebagai kondisi maksimum untuk realisasi diri siswa, yang harus didukung oleh sistem manajemen dan kepemimpinan pedagogis.

 

Rujukan

Bereiter, Carl. (1973). Must We Educate?. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice—Hal, Inc.

Blocher, Donald H. (1971). “Issues in Counseling: Elusive and Illusional”, dalam Beck, Carlton E. (ed.), (1971). Philosophical Guidelines for Counseling. Dubuque, Iowa: W.MC. Brown Company, 2 – 6

Brenneman, Jr. Walter L. (1982). The Seeing Eye Hermeneutical Phenomenology in the Study of Religion. (n.p) The Pennsylvania State University Press

Chikering, Arthur W. (1971). Education and Identity. San Francisco: Jossey-Bass Inc., Publisher

Durkheim, Emile. Wilson, Everet K dan Schnurer Herman (trans.). (1925/1961). Moral Education: A Study in the Theory and Application of the Sociology of Ed­ucation. New York: The Free Press

Erikson, E.H. (1953/1963). Childhood and Society. New York: W.W. Norton & Co. Inc.

Fromm, Erich.(1947). Man for Himself: An inquiry into the Psy­chology of Ethics. New York: Fawcett Premier

Fuad Hassan. (1986). “Mendekatkan Anak Didik pada Ling­kungan, Bukan Mengasingkannya”. Prisma 2,. 39 – 44

Hall, C.S. & Lindzey, G. (1981). Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons

Horney, Karen. (1942). Self—Analysis. New York: W.W. Nor­ton & Company, Inc.

ESENSI SEBUAH KEJUJURAN (pembelajaran ROSULULLOH)

Kneller, George F. (ed). (1971). Foundations of Education. New York :  John Wiley and Sons

Kohlberg, Lawrence.(1984). Essays on Moral Development II: The Psychology of Moral Development. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.

Loevinger, Jane. (1964). “The Meaning and Measurement of Ego Development”. American Psychologist, 195 – 20$

_______. (1979). Stages of Ego Development”. dalam Mosher, Ralph L. (ed.), (1979).. Adolescents’ Development sand Education, Berkeley: HcCutchan Publishing Co. 110 — 122

Maslow, Abaraham. (1968). Toward A Psychology of Being. New York: D. Van Nostrand Co.

______.(1971). The Farther Reaches of Human Nature. New York: The Viking Press

McDaniel, H.B.et al. (1961). Readings in Guidance, New York: Holt, Rinehart and Winston

Naisbitt, John. (1982). Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. New York: Warner Books, Inc.

Patterson, C.H. (1966). Theories of Counseling and Psyhotherapies. New York: Harper & Row, Publisher

Phenix, Philip H. (1964). Realms of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. New York: McGraw-Hill Book Co.

Piaget,          Jean.                (1932). terjemahan Gabain, Marjorie.(1965). The Moral Judgment of the Child. New York: he Free Press

Sikun Pribadi.(1971). In Search of A Formulation of The Gen­eral Aim of Education. Bandung: LPPD IKIP

Schumacher, E.F. (1978). A Guide for the Perplexed, Lon­don: Sphere Books Ltd.

Soelaeman, M.I. (1985). Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi, Bandung: IKIP

_______.(1988). Suatu Telaah Tentang ManusiaReligiPendidikan. Jakarta: P2LPTK

Sullivan, Harry Stack. (1953). The Interpersonal Theory of Psychiatry, New York: W.W. Norton & Company, Inc.

Sunaryo Kartadinata. (1983). Kontribusi Iklim Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana: IKIP Bandung

______. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa Serta Kaitannya Dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana: IKIP Bandung

______.dkk (1999). Quality Improvement and Management System Development of School

Guidance and Counseling Services. URGE Project, Ditjen Dikti

______.dkk. (2003). Pengembangan Model Analisis Tugas-tugas Perkembangan dalam

Peningkatan Mutu Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Riset Unggulan Terpadu, LIPPI

Wylie, Ruth C. (1974). The Self—Concept:A Review of Methodological Considerations and Measuring Instrument. London: University of Nebraska Press

[1]  Diangkat dari Sunaryo Kartadinata (2010), “Pendidikan sebagai Ilmu”, dalam Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. UPI Press

[2] Kajian tentang kemandirian diolah ulang dari Sunaryo Kartadinata (2010). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis. UPI Press

[3] Kemampuan menolong diri sendiri (self-help) merupakan salah satu dari sepuluh arah transformasi kehidupan di dalam dunia modern. (John Naisbitt. 1982)

[4] Konsep transendensi Maslow merujuk kepada konsep perkembangan. Self-transcendence bukanlah self-obliteration (penghapusan atau peleburan diri), melainkan proses prkembangan kekuatan kemandirian dan pencapaian identitas diri.

[5] Dalam konsep Jerome Bruner. 1996. (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html)  ada empat model pedagogi mutakhir dalam cara memandang dan memperlakukan siswa dalam proses pembelajaran, yang merefleksikan sebuah kultur pendidikan,  yaitu sebagai: 1) pebelajar  imitatif, 2) pebelajar ekspose didaktis, 3) pebelajar pemikir, dan  4) pebelajar  “berilmu” (knowledgeable).


Penerimaan Artikel Jurnal Medives

$
0
0

Ahmad Nayazik, pengelola Jurnal Medives menginformasikan melalui humas ISPI bahwa jurnalnya sedang menerima pengiriman artikel termasuk dari para sarjana pendidikan.

Menurutnya Jurnal of Medives (p-ISSN 2549-8231, e-ISSN 2549-5070) merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Matematika IKIP Veteran Semarang pada bulan Januari dan Juli setiap tahunnya.

Penulis jurnal adalah dosen, guru, peneliti, dan bahkan mahasiswa. Jurnal ini menerbitkan artikel asli hasil penelitian atau kajian pustaka di bidang pendidikan matematika meliputi pembelajaran matematika, evaluasi pembelajaran matematika, atau pengembangan media pembelajaran matematika.

Bagi anggota ISPI yang sekiranya berminat dapat menghubungi alamat yang tertera pada pamplet.

 

Burung Walet dan Ayam Jago

$
0
0

Oleh: Mukhlis, S.IP, S.Pd.
Guru SMP Negeri 3 Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di STAIN Pekalongan dan Anggota ISPI

Pengantar: Cerita mempunyai kekuatan dalam membentuk karakter. Melalui narasi yang mengalir, pembaca atau pendengar tidak terasa memperoleh pendidikan yang membentuk karakter dan kepribadian tanpa terbebani. Itulah kelebihan cerita atau dongeng; sehingga metode bercerita ataupun mendongeng (story telling) dari dulu digunakan dalam mendidik anak.

Di sebuah rumah sederhana yang terletak di ujung desa, tinggalah keluarga Pak Amat. Sebagaimana layaknya orang desa, Pak Amat beserta istrinya memelihara ayam. Tidak dalam jumlah banyak, tetapi hanya lima ekor saja. Pak Amat bukan peternak ayam, tetapi seorang petani. Memelihara ayam bukan kegiatan utama, tetapi hanya sebagai kegiatan tambahan saja.

Ayam Pak Amat terdiri dari empat ekor ayam betina dan satu “Jago” si ayam jantan. Si Jago terlihat paling gagah. Dengan bulu berwarna merah keemasan yang sangat indah, Jago merasa bangga. Lebih-lebih punya suara kukuruyuk yang melengking dan nyaring, membuat ayam-ayam betina kagum dan senang bila berada dekat dengan si Jago. Si Jago seolah-olah menjadi raja diantara ayam-ayam yang lain.

Di sudut rumah Pak Amat, tepatnya dibawah atap samping rumahnya, juga tinggal sepasang burung walet. Burung walet bertubuh kecil dengan bulu hitam sedikit ada warna putih di bagian dadanya. Suara burung walet hanya bercicit tidak nyaring. Keadaan burung walet sangat jauh berbeda dengan keadaan ayam jago yang gagah besar, berbulu indah, dan bersuara nyaring.

Kesempurnaan bentuk tubuh Jago yang gagah, dihiasi bulu-bulu berwarna keemasan dan suara kukuruyuk yang merdu, membuat Jago berbangga diri. Merasa dirinya paling gagah, timbul sikap sombong. Hal ini tampak sekali ketika melihat “Lena-Leni” sepasang walet yang juga membuat sarang di atap rumah Pak Amat.

“Hai, jelek! Lagi ngapain kamu di situ? Kerjanya bolak-balik terbang dan bertengger di atas. Apa kamu tidak bisa makan, kok tubuhmu kecil terus ndak besar-besar?!”

Mendengar kata-kata Jago yang bernada mengejek tersebut, Lena-Leni hanya bercicit. “Sudah, ndak usah hiraukan”, begitu kata Lena si walet jantan kepada Leni, dengan maksud  menguatkan hati Leni untuk tidak terpancing emosinya dan menjadi marah.

“Hai! Mengapa hanya mencicit saja. Sini turun ke tanah, nanti saya beri makan biar badanmu besar seperti saya. Kukuruyuuuk!”

Kata-kata Jago terus keluar dari mulutnya dengan nada merendahkan walet. Lena dan Leni yang mendengar ejekan Jago semakin tak sabar untuk menyahut. Namun lagi-lagi Lena si walet jantan terus menghibur Leni untuk tidak meladeni ejekan Jago. “Sabar ya sayang, tidak usah terpancing emosi. Lebih baik mengalah, daripada ikut-ikutan sombong”, kata Lena si walet jantan.

Kukuruyuuuk! Akulah Jago. Tidak ada burung yang lebih bagus dari aku. Kukuruyuuuk! Buluku indah, suaraku merdu; tidak seperti walet yang hanya bisanya mencicit. Kukuruyuuuk! Ayolah turun ke tanah walet, akan kuberi makan biar tubuhmu besar seperti aku”, suara Jago terus menerus seolah bernyanyi sambil mengejek burung walet.

Karena kata-kata Jago yang selalu mengejek, kesabaran yang dipertahnkan walet akhirnya jebol juga. Terutama Leni si walet betina tidak tahan mendengar ejekan ayam Jago. Leni pun menanggapi ejekan Jago dengan kata-kata yang cukup membuat Jago marah.

“Kami tidak kekurangan makan Jago! Justru di atas makanan berlebihan. Makanya sering juga berjatuhan ke tanah dan dikais-kais oleh mu kan?” begitu kata Leni si walet betina sedikit menyombongkan diri.

Mendengar jawaban walet, ayam Jago tersinggung juga karena memang kebiasaan ayam selalu mengais-ngais sesuatu di tanah dengan mengorek-korek menggunakan kaki (cakar)-nya.

“Hei, hei…, walet! Kalau kamu tidak kekurangan makan, mengapa tubuhmu kecil terus? Lihatlah tubuhku nih! Besar, gagah, dan perkasa. Tidak seperti kamu yang bertubuh kecil mungil.”

“Ha ha ha…, perkasa katamu? Bukan! Bukan perkasa, tetapi gendut tahu? Makanya kamu tidak bisa terbang. Buat apa mempunyai sayap kalau tidak bisa terbang. Percuma!” kata Leni menanggapi ejekan si Jago.

Kata-kata walet tadi betul-betul membuat Jago marah. Dengan sigap, seketika itu pula Jago mengepakkan sayapnya terbang dan hinggap di atas jemuran baju yang berada di samping rumah Pak Amat sambil berkukuruyuk. Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya juga bisa terbang. Namun pada saat yang sama istri Pak Amat melihat ayam jagonya bertengger di jemuran baju, langsung mengusirnya.

“Hus… hus… hus! Ayam kok naik-naik. Ayo turun!” begitu kata istri Pak Amat sambil membawa bilah bambu untuk mengusir ayam jagonya.

Melihat peristiwa tersebut, si walet tambah  metertawakan Jago dengan suara cicitannya yang riuh. “Makanya kalau ndak bisa terbang, sudahlah di bawah saja, gendut?!” ledek Leni si walet betina.

Mendengar ledekan Leni, ayam Jago semakin geram. Rasa-rasanya ingin mengejar walet, namun apa daya dirinya tidak bisa terbang tinggi seperti walet. Ayam Jago baru merasa kalau dirinya ternyata mempunyai kekurangan. Kalau selama ini ia memandang burung walet itu lemah, tidak bisa apa-apa, ternyata mempunyai kelebihan juga. Ia bisa terbang gesit, lincah, meliuk-liuk di udara. Tidak seperti dirinya yang tidak mampu mengangkat tubuhnya yang memang lebih gendut dari burung walet. Penilaian diri yang dilakukan oleh ayam Jago, sebenarnya menyadarkan kalau dirinya mempunyai kelemahan yaitu tidak bisa terbang seperti burung walet. Namun karena diliputi perasaan bangga diri yang terlalu besar, menyebabkan Jago tetap sombong.

Kukuruyuuuk! Huh, awas kau walet. Jika aku sudah bisa terbang tinggi, akan kukejar kau sampai ujung langit!”, kata-kata Jago sambil kesal.

“Mana mungkin, Jago bisa terbang sampai ujung langit?! Yang bener aja Jago. Kalau kenyataannya tidak bisa melakukan, itu namanya orang sombong, tau?” lagi-lagi Leni si walet betina mencoba menghentikan kesombongan Jago.

“Sudah-sudah. Jangan bertengkar terus. Kalau mencari kesalahan orang lain, pasti tidak ada habis-habisnya. Ayo pergi!”, kata Lena mancoba  menghentikan pertengkaran yang dari tadi tidak selesai. Kedua walet itupun terbang tinggi meninggalkan ayam Jago.

Kukuruyuuuk!” Dengan  perginya walet Jago merasa menang. Jago tetap merasa paling hebat dan menyombongkan diri. Jago pun memanggil-manggil ayam betina dengan cara berkokok sambil mengorek-korek tanah. Bahkan kali ini Jago pergi ke pinggir jalan umum untuk mencari perhatian banyak orang.

Dengan bangganya Jago menunjukkan keperkasaannya di depan ayam-ayam betina, bulunya yang indah merah keemasan, menjadi daya tarik ayam-ayam betina.  Ayam  Jago terus berkokok sambil mengajak ayam-ayam betina berkeliaran di pinggir jalan.

Sampai pada suatu saat, terjadi peristiwa nahas menimpa ayam-ayam Pak Amat. Ketika ayam-ayam itu berkeliaran dipinggir jalan, ada seorang pengendara sepeda motor ngebut dari arah barat. Karena begitu kencang dalam berkendara, ketika berpapasan dengan pengendara lain dari arah yang berlawanan, maka si pengendara motor yang ngebut tadi agak ke tepi jalan dan kurang terkendali, akhirnya menabrak kerumunan ayam-ayam Pak Amat yang berada di pinggir jalan.

Keoook! Keok…keok! Wuush!” antara suara ayam dan deru motor yang ngebut bercampur. Tampak satu ekor ayam menggelepar-gelepar, dan yang lain bubar lari tunggang langgang sambil bersuara keok, keok, kencang sekali.

Rupaya, ayam betina teman si Jago tewas menjadi korban tabrak lari. Jago sendiri kesakitan karena kaki kirinya terluka ikut terserempet sepeda motor. Sekarang Jago berjalan pincang karena kaki kirinya sakit.

Pak Amat yang baru pulang dari sawah segera menghampiri ribut-ribut suara ayam  berkotek. Dijumpainya satu ekor ayam tergeletak sudah mati di pinggir jalan. “Wah, rugi besar ini! Ayamku mati tertabrak motor. Kalau begini terus, lama kelamaan bisa habis ayamku nih. Ini harus dikandang, biar tidak berkeliaran di jalan”, begitu kata Pak Amat sendirian.

Pak amat tidak marah-marah, karena bukan pengendara motor yang salah. Menurut pemikiran Pak Amat, kalau  sarana jalan dibuat oleh manusia memang tujuannya adalah untuk digunakan berlalu lintas. Apabila ada kendaraan yang lewat di jalan, berarti sudah benar. Sebaliknya jika ayam berkeliaran di jalan, itu yang kurang benar. Sehingga apabila terjadi peristiwa ayam tertabrak sepeda motor bukan salah pengendara motor, tetapi ayamlah yang salah. Dari kejadian ini, akhirnya mendorong Pak Amat berpikir untuk membuatkan kandang bagi ayam-ayamnya.

***

Malihat musibah yang dialami Jago, Lena dan Leni ikut sedih. Bagaimanapun juga, sebagai tetangga ikut merasakan penderitaan yang dialami Jago dan teman-temannya. Lebih-lebih melihat keadaan Jago yang biasanya gagah perkasa kesana kemari sambil berkokok, kini lebih banyak berdiam diri. Bahkan untuk  mengorek-korek tanah pun sekarang tidak bisa karena kakinya sedang sakit.

Lena dan Leni terbang rendah mendekat ke tempat Jago yang sedang berbaring. Dengan gerakan-gerakan terbang yang lucu, akhirnya dapat menarik perhatian Jago. Si Jago sedikit merasa terhibur. “Maaf Jago, kami ikut berduka atas meninggalnya teman kamu. Kami juga ikut sedih karena Jago sakit. Bolehkah kami membantu kamu agar cepat sembuh? Kami punya obat yang sangat baik untuk menyembuhkan siapa saja yang sakit. Mau ya?”, begitu kata-kata Leni kepada Jago.

“Terima kasih walet. Tetapi sesungguhnya saya malu. Saya merasa bersalah, karena kemarin-kemarin telah mengejekmu. Mungkin musibah ini karena akibat dari sikapku yang  sombong dan selalu mengejekmu. Sungguh aku minta maaf atas sikap sombongku kepadamu. Apakah kamu mau memaafkan?”, begitu kata Jago dengan suara lirih memelas.

“Ah, ndak apa-apa. Kami sudah memaafkanmu kok”, kali ini gantian Lena si walet jantan yang berbicara. “Yang penting sekarang adalah bagaimana kamu bisa cepat sembuh, agar kita kisa bercanda lagi, bisa bermain bersama lagi. Mau ya, saya beri obat?” begitu sambung Lena.

“Wah, terima kasih sekali, tetapi kamu punya obat apa?” kata Jago

“Begini; sarang burung walet dikenal oleh manusia mempunyai khasiat yang luar biasa untuk menyehatkan. Bahkan manusia sangat menghargai sarang walet dengan harga mahal. Karena khasiatnya yang menyehatkan itulah sarang walet dicari oleh manusia. Oleh karena itu jika kamu mau makan sarang walet pasti kamu cepat sembuh. Mau ya saya beri sarangku sebagai obat?”, begitu penjelasan Lena panjang lebar.

Sambil menahan rasa sakit, si Jago menjawab, “Ya, ya. Saya mau.” Dengan tertatih-tatih ayam Jago berjalan ke bawah sarang walet. Lena dan Leni pun menjatuhkan sedikit demi sedikit sebagian sarangnya agar dimakan ayam Jago.

Benar juga setelah tiga hari berturut-turut Jago makan sarang burung walet, kesehatan Jago pulih. Jago sudah bisa berkokok kembali. Di malam menjelang subuh, terdengar suara “Kukuruyuuuk!” Lena dan Leni yang sedang tidur pulas di sarangnya terkejut mendengar suara Jago berkokok. Namun keduanya merasa lega, karena ternyata bantuan pengobatan yang mereka lakukan tidak sia-sia. “Alhmdulillah, teman kita sudah sehat!” bisik Lena kepada Leni.

Pada pagi harinya, buru-buru burung walet menghampiri ayam Jago. “Hai, Jago! Bagaimana kabarmu?” sapa leni membuka percakapan.

Alhamdulillah, saya sudah sembuh. Terima kasih ya, atas pertolonganmu, saya sudah sehat kembali.” Jawab Jago penuh semangat.

Kini Jago sudah mulai terbiasa dengan ucapan terima kasih. Jago sudah mengerti betapa berharganya pertolongan orang lain. Jago juga mulai mengerti betapa pentingnya sahabat dalam hidupnya. Ternyata menghargai orang lain akan membawa kebaikan kepada dirinya, sebaliknya sikap sombong yang dulu sering ia lakukan hanya merugikan diri sendiri.

 Kehadiran walet ke kandang ayam, membawa suasana bersahabat. Hubungan walet dan ayam yang sama-sama tinggal di rumah Pak Amat, terasa rukun. Tidak ada lagi ejek-mengejek satu sama lain. Keduanya sama-sama saling membutuhkan. Terbukti ketika tiga hari yang lalu, ketika subuh dini hari ayam Jago tidak berkokok karena sakit, burung walet bangun kesiangan. Akibatnya walet terlambat mencari serangga sebagai makanannya. Oleh karena itu ketika  mendengar Jago sudah bisa berkokok di waktu subuh, walet sangat bergembira.

Demikian pula bagi ayam, khususnya si Jago. Kunjungan walet ke kandang ayam mengingatkan perlunya berbagi kepada siapa pun yang memerlukan. Lebih-lebih  kepada tetangga. Jago merasakan betul betapa bantuan walet yang telah memberi sarangnya untuk obat bagi dirinya sangat bermanfaat sekali bagi kesembuhan dari sakit. Jago pun menggerak-gerakkan kakinya sambil melompat-lompat ingin menunjukkan kepada walet kalau dirinya sudah sembuh.

“Hati-hati Jago! Jangan terlalu keras, kakimu kan baru sembuh?!” kata Lena mengingatkan ayam Jago yang menggerakkan kaki dan lompat-lompat.

“Ah, ndak apa-apa. Aku sudah sembuh kok. Terima kasih ya, obat pemberian kamu memang hebat,” jawab Jago dengan wajah yang berseri-seri menampakkan betapa gembiranya dengan kesembuhan dan bantuan obat dari walet.

“Ya, memang sarang walet terkenal baik untuk kesehatan. Menurut penelitian manusia, sarang walet itu sangat baik untuk pemulihan tenaga dan membantu mempercepat kesembuhan bagi yang sedang sakit. Oleh karena itu  manusia mau membeli sarangku dengan harga yang tinggi,” begitu penjelasan Leni  panjang lebar tentang kehebatan sarang walet yang juga sudah terbukti membantu kesembuhan Jago. “Oh, ya. Saya mendengar  kamu akan dibuatkan kandang ya?” tanya Leni kepada Jago.

“Ya, betul. Kata Pak Amat, karena peristiwa tabrak lari yang menelan korban satu ayam sahabatku itu, kami ayam-ayam akan dibuatkan kandang agar tidak berkeliaran mengganggu lalu lintas.”

“Syukurlah, kami ikut bahagia. Artinya kalian tidak usah mencari-cari makan sendiri karena makanan ayam sudah disediakan oleh Pak Amat,” begitu kata Leni si walet betina.

“Betul, tetapi sebenarnya kami lebih senang kalau bisa mencari makan sendiri, tidak merepotkan orang lain. Lihat, kakiku bisa mengorek-korek tanah dengan kuat!”

Tiba-tiba, “Hai, awas! Jangan keras-keras dulu!” teriak Lena. “Kakimu baru sembuh, jangan mengorek-korek tanah dulu nanti sakit lagi,” sambung Lena mengingatkan.

“Ah, ndak! Kakiku sudah sembuh. Lihat, sudah tidak sakit lagi,” kata Jago sambil mengorek-korek tanah lagi, ingin memastikan bahwa dirinya sudah betul-betul sembuh dan kuat.

“Syukurlah, kalau kamu betul-betul sudah kuat. Artinya kamu sudah bisa menjadi kebanggaan bagi teman-teman. Termasuk kebanggaan bagi kami,” kata Lena.

“Kebanggaan bagi kamu? Bagaimana maksudnya? Bukankah selama ini aku suka mengejekmu Walet?”, tanya Jago dengan nada penuh penyesalan.

“Tidak, Jago. Saya yakin kamu tidak sunguhan untuk mengejek kami. Kalaupun memang mengejek,  saya yakin karena kamu belum tahu bahwa kami menyayangimu. Bagi kami Jago adalah pahlawan kehidupan,” si Lena menjelaskan.

“Ah, menyindir ya?! Sungguh saya betul-betul menyesal telah bersikap sombong dan suka mengejek. Oleh karena itu tolong maafkan aku,” begitu kata Jago dengan serius.

Iya, kami sudah memaafkanmu kok. Pujian kami bahwa Jago itu adalah pahlawan kehidupan itu memang pujian yang tulus dan sangat tepat. Coba bayangkan, pagi-pagi buta, suaramu sudah mengingatkan semua makhluk hidup untuk menyambut datangnya hari yang cerah. Dengan mendengar  ‘kukuruyuk’ suaramu, semua makhluk hidup diingatkan untuk berdo’a memohon kesuksesan dalam mengarungi kehidupan. Oleh karena itu kami sangat berterima kasih kepadamu Jago! Setiap pagi kami bisa berdo’a dan memperoleh kesuksesan dalam hidup sehari-hari. Hidup kami sangat dihargai oleh manusia. Itu karena kami bisa memberi manfaat kepada manusia. Sarang burungku setiap hari diambil dan dimanfaatkan oleh manusia. Tidak apa-apa, malah kami merasa bangga karena telah memberi manfaat kepada orang lain.”

Mendengar penjelasan Lena seperti itu, Jago semakin menyesal mengapa dirinya suka menyombongkan diri, sukanya mengejek orang lain. Tidak seperti Lena dan Leni yang mengisi hidupnya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Ternyata hidup itu menjadi berharga karena mau memberi manfaat kepada orang lain. Kemudian Jago pun memberanikan diri untuk bertanya tentang dirinya, “Lantas manfaat apa yang bisa saya berikan?” tanya Jago kepada Walet.

“Banyak, Jago. Suaramu! Suaramu  yang nyaring, merdu lagi. Itu menjadi hiburan bagi yang mendengarnya. Lebih-lebih suara kukuruyuk pada waktu dini hari menjelang subuh. Wah, luar biasa! Makanya kamu itu diberi julukan ‘Pahlawan kehidupan’, oleh karena itu teruslah berkokok setiap subuh, pasti semua makhluk hidup akan merasa senang mendengarnya.” Penjelasan Lena panjang lebar menjadikan Jago lebih percaya diri. Kini rasa bersalah kepada walet semakin bergeser menjadi rasa senang bisa bersahabat dengan walet yang ternyata sangat pandai. Jago pun merasakan betapa bahagianya punya sahabat walet.

***

Sejak peristiwa ayam milik Pak Amat tertabrak sepeda motor, ayam-ayam Pak Amat tidak dilepas. Keempat ayamnya dikurung, termasuk Jago. Sepertinya Pak Amat tidak mau kehilangan ayamnya lagi. Pak Amat pun segera membuat kandang ayam dengan memanfaatkan bambu yang banyak tersedia di belakang rumahnya.

Pada saat sedang bekerja membuat kandang ayam, Pak Amat juga melihat ke atap rumah tempat walet membuat sarang. Sambil duduk dan mengerjakan pembuatan kandang yang belum selesai, Pak Amat memperhatikan beberapa burung walet yang mondar-mandir terbang dan meliuk-liuk ke sarangnya. “Loh, kok kelihatan semakin banyak sih, burung waletnya?!” kata Pak Amat. Memang seiring berjalannya waktu, burung walet yang bersarang di rumah Pak Amat semakin bertambah. Tadinya hanya sepasang Lena dan Leni saja, tetapi karena telah beranak-pinak, kini walet yang membuat sarang di rumah Pak Amat telah berkembang semakin banyak.

 Karena penasaran Pak Amat bangkit dari duduknya dan mengamati dengan teliti sarang burung walet yang ada di atap samping rumahnya. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Wah, sudah ada enam sarang ternyata,” gumamnya. Pak Amat pun membayangkan bahwa dirinya akan memperoleh untung besar. Dengan banyaknya sarang burung walet yang berada di bawah atap rumahnya, akan ada orang kaya dari kota yang membeli rumahnya dengan harga mahal; dan selanjutnya uang hasil penjualan rumah sarang walet tersebut bisa digunakan untuk membangun rumah baru yang lebih bagus lagi di sebelah pekarang yang masih kosong.

Pada saat Pak Amat sedang memperhatikan sarang walet yang semakin banyak tersebut, datanglah istri Pak Amat membawa kopi panas dan jagung rebus. “Pak, minum dulu. Mumpung masih hangat nih jagung rebusnya!” kata Bu Amat.

Pak Amat pun menghampiri tempat dimana minuman itu dihidangkan oleh istrinya. “Ada apa Pak, kok senyum-senyum tampak gembira?” tanya Bu Amat.

Sambil menikmati kopi panas dan jagung rebus, Pak Amat mengemukakan apa yang ada dalam benak pikirannya, “Gini Bu, bagaimana kalau kita membuat rumah baru? Itu di sana, sebelah sana, di pekarangan yang masih kosong?” sambil menunjuk arah selatan sebelah bangunan rumah.

“Terus, rumah kita ini mau untuk siapa? Punya rumah sebesar ini saja, hanya kita berdua yang menempati, kalau buat rumah lagi untuk siapa? Bagaimana sih bapak ini?!” kata Bu Amat dengan nada kurang setuju. Memang rumah yang sudah ada cukup besar. Kedua anak Pak Amat semuanya sedang sekolah di luar kota sehingga sehari-harinya hanya Pak Amat dan istrinya yang menempati rumah sebesar itu. Pantaslah kalau istri Pak Amat kurang setuju.

“Sebentar, Bu! Coba perhatikan. Burung walet yang ada di rumah kita semakin banyak. Dari hari ke hari terus bertambah. Ini harus dibuatkan rumah khusus untuk burung walet sehingga mereka tidak terganggu oleh kita, Bu!” begitu penjelasan Pak Amat, sambil menikmati jagung rebus. Sesekali Pak Amat melempar jagung-jagung yang sedang dimakan ke arah ayam dan jagonya yang berada dikurungan. Ayam dan jago pun segera mematuk jagung-jagung tersebut dengan senang hati.

Tempat  ayam dan  jago yang berada dikurungan, hanya berjarak satu meter dengan Pak Amat dan istrinya yang sedang ngopi. Sambil terus minum kopi panas dan jagung rebus, mereka melanjutkan pembicaraan serius tentang rumah walet. Jago mendengar dengan  jelas semua isi pembicaraan  mereka perihal rumah walet. Dalam benak pikiran Jago, ada rasa ingin segera memberitahukan kabar baik ini kepada sahabatnya Lena dan Leni. Sayangnya Jago tidak bisa ke mana-mana karena dirinya sedang berada di kurungan.

***

Kukuruyuuuk, kukuruyuuuk! Ayo bangun, sambutlah mentari pagi, sukses untuk semua di hari ini!” suara Jago di subuh terdengar nyaring penuh semangat. Semenjak berteman dengan walet, Jago semakin tampak berperilaku baik. Memang begitulah manfaat berteman dengan orang baik, akan menjadi baik. Sebaliknya kalau berteman dengan penjahat, biasanya akan menjadi jahat pula.

“Hai, Jago. Bagaimana kabarmu hari ini?!” sapa walet menghampiri ayam Jago di kurungannya. “Terima kasih ya, do’amu untuk semua makhluk sangat baik, menjadikan kami semua bersemangat bangun pagi-pagi. Wah, rupanya kandang tempat tinggalmu sebentar lagi akan selesai, Jago!” suara cicit walet sambil menunjuk pada kandang yang hampir selesai.

“Oh ya, kabar baik sahabatku. Kami semua sehat. Kemarilah! Ada berita gembira untuk kamu,” kata Jago ingin segera memberitahu temannya walet.

“Berita gembira apa, untuk siapa?”

“Ya berita gembira untuk kamu. Kamu juga akan dibuatkan rumah sendiri, khusus untuk kamu, agar tidak menempel pada rumah Pak Amat,” kata Jago dengan penuh semangat.

“Ah, yang benar?!” kata Lena si walet jantan, kurang begitu percaya. “Kamu dengar dari siapa?”

“Tentu dari Pak Amat lah,”

“Bagaimana, bagaimana coba ceritakan yang jelas,” pinta Lena dan Leni penasaran.

“Begini, kemarin sore sewaktu Pak Amat menyelesaikan  kandang untukku, Pak Amat bercerita kepada istrinya kalau rumahnya yang besar ini mau digunakan khusus untuk rumah walet. Katanya agar kamu dan teman-temanmu bisa bebas bersarang dan tidak terganggu oleh Pak Amat, begitu katanya,”

“Terus Pak Amat sendiri mau tinggal  dimana?” tanya Leni si walet betina dengan perasaan cemas kalau-kalau Pak Amat akan pindah jauh.

“Pak Amat akan membuat rumah baru di lahan pekarangan sebelah rumah yang sekarang,” kata Jago menjelaskan.

“Kalau begitu, ndak masalah. Artinya kita masih sama-sama hidup bersama Pak Amat. Saya senang hidup bersama Pak Amat. Orangnya sabar, penyayang, kepada semua orang termasuk kita. Iya kan?! Makanya saya betah di sini. Nanti kalau rumah ini sudah betul-betul untuk rumah walet, saya akan mengajak teman-teman untuk tinggal di sini.” Kata Leni penuh semangat.

Iya, kita tetap tinggal bersama dengan keluarga Pak Amat yang baik hati. Saya juga senang, masing-masing kita dibuatkan rumah oleh Pak Amat.” Kata Jago kepada kedua walet  temannya. Pada saat itu datang Bu Amat membawakan makanan untuk ayam-ayam dan jagonya. Lena dan Leni pun terbang meninggalkan Jago yang sedang diberi makan pagi oleh Bu Amat.

***

Tiga bulan kemudian, rumah baru Pak Amat sudah jadi. Rumah lama Pak Amat dibeli oleh pengusaha sarang burung walet dari kota dengan harga sangat mahal. Uangnya digunakan untuk membuat rumah baru dan separuhnya digunakan untuk biaya sekolah anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Sementara Pak Amat sendiri dipercaya oleh pengusaha sarang burung walet untuk menjaga rumah walet dimana Lena dan Leni serta teman-temannya tinggal. Walet-walet dan ayam Jago tetap berkumpul seperti keluarga sendiri.

Tiap subuh Jago tetap berkokok dengan suara yang merdu mengingatkan kepada semua makhluk hidup untuk berdo’a menyambut kehidupan baru, dihari itu. “Kukuruyuuuk, kukuruyuuuk! Ayo bangun, sambutlah matahari pagi, sukses untuk semua di hari ini!” dengan setianya Jago mendo’akan untuk semua makhluk hidup, sehingga hidupnya menjadi bermanfaat untuk orang lain. Demikian juga Lena-Leni dan walet-walet yang lainnya, dengan tekun membuat sarang terus menerus. Walupun beberapa sarang walet setiap bulan ada yang diambil oleh manusia, tetapi walet terus membuat sarang untuk memberi manfaat kepada orang lain. Walet merasa bahagia kerena hidupnya bisa bermanfaat.[]

Redistribusi Guru dan PPDB Multientry

$
0
0

Oleh: Jaja Jamaludin
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan, Pengurus IKA UPI Bandung, Anggota ISPI dan tinggal di Tanjung Bunga Makassar, Sulawesi Selatan

Untuk kesekian kali, Irman Yasin Limpo yang akrab dipanggil None, sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan,   menggagas kebijakan revolusioner di  Bidang Pendidikan (HU. Fajar, 6 Juli 2017). Kali ini, beliau menggagas kebijakan Redistribusi Guru di seluruh Sulsel. Konsep dan gagasan ini, patut diapresiasi menyusul dan sangat terkait dengan kebijakan PPDB multientri yang sangat variatif itu.

Dalam perspektive tata kelola pendidikan, langkah None, dapat dianggap cukup pioneer, karena tampaknya melakukan restorasi pendidikan tidak dalam perspective variable yang tunggal. Beliau secara bersamaan dengan kebijakan PPDB Multientri (jalur domisili, prestasi, afirmasi dan akademis) sekaligus juga meredistribusi guru. PPDB multi entri sangat jelas memberikan implikasi yang akan sangat signifikan bagi pemerataan kualitas  dan kuantitas raw-input yaitu calon siswa di setiap sekolah. Melalui PPDB multientrilah, dapat diejawantahkan heterogenitas kapasitas dan kapabilitas akdemik raw-input sekolah (calon siswa). Dengan demikian, tidak lagi terjadi penumpukan secara ekstrim siswa yang berprestasi tinggi di satu-dua sekolah saja. Sementra di sekolah lainnya, calon siswa yang kemampuannya sedang dan rendah. Dengan demikian, di setiap sekolah dapat ditemukan heterogenistas raw-input (calon siswa). Selain itu, PPDB multri entri juga menjamin sekolah berada pada koridor yang berkeadilan dan inklusif. Itulah, mission dasar sekolah mewakili tugas Negara harus menciptakan aksestibilitas   bagi setiap awarga Negara yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaiman jenjang yang dipilihnya secara berkeadilan.

Pada perpektive pendidik/Guru, None, melakukan gebrakan signifikan dengan meresdistribusi setidaknya 1000 guru. Faktor yang amat determinative dalam tatakelola sekolah adalah eksistensi dan kompetensi guru. Jika redistribusi ini, berdampak baik pada pemerataan kualitas pendidik di seluruh sekolah di sulsel, maka, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, telah secara afirmatif mewakili Negara menunaikan keawajiban Negara terhadap warganya, yakni mendapatkan kualitas pendidikan dengan meredistribusi guru-guru berkualitas di berbagai daerah di Sulsel.   Model pemimpin seperti inilah Sejatinya yang diharapkan public dimana melakukan perubahan adalah sebuah keniscayaan.  Memang bukan saja redistribusi guru tetapi juga redistribusi pimpinan sekolah (kepala sekolah) juga sama perlunya dalam pemeraan kualitas tata kelola sekolah. Mungkin saja ke depan, redistribusi kepala sekolah yang dinilai potensial dan prestatif dilakukan resdistribusi kepala sekolah di seluruh jenjang pendidikan di sulsel. Jika redistribusi guru menjamin kualitas pembelajaran di kelas sebagai frontliner sekolah dpat berjalan dengan baik. Maka, redistribusi kepala sekolah akan menjamin peningkatan kualitas tata kelola sekolah yang jauh lebih baik lagi. Tata kelola sekolah tidak kalah penting bahkan factor manajemen dan kepemimpinan sekolah merpakan factor determinative bagi pengelolaan sekolah yang berkualitas dan akuntabel.

Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel ini patut di apreasi bahkan di dorong secara lebih massif dan menyentuh pada variable-variabe determinative lainnya, misalnya redistribusi sumber daya sekolah yang lain. Jika kebijakan redistribusi  aksestibilitas pada tataran raw input, redistribusi guru berkualitas dan redistribusi sumber daya sekolah yang lain dilakukan dalam —setidaknya—3 tahun berturut-turut, maka implikasi dan rekayasa pengelolaan dan peningkatan mutu pendidikan di sulsel bukan saja sudah  on the right track melainkan akan banyak implikasi lain seperti atmosfer kompetitif seluruh sekolah se Sulawesi selatan akan terjadi secara cultural.

Resistensi Awal

Kebijakan PPDB multientri dan redistribusi guru, bukan tanpa hambatan. Setidaknya, tanggapan sejumlah kalangan seperti orang tua banyak yang keberatan. Pada Umumnya para orang tua dan siswa yang bersangkutan banyak yang merasa terhambat untuk masuk ke sekolah-sekolah yang selama ini dianggap favorit tetapi karena nilai akhir yang dimiliki oleh siswa tersebut berada pada range di tengah, maka di sekolah favorit tersebut trerdegradasi. Para siswa seperti ini harus mangambil alternative sekolah pilihan kedua atau pilihan ketiga. Disinilah sesungguhnya PPDB multientri telah efektif meratakan raw input siswa yang berkemampuan diatas rata-rata (middle up) di sejumlah sekolah yang selama ini menerima siswa yang middle-down.

Dalam perpsektive siswa dan orang tua siswa tertentu boleh jadi banyak mengecewakan. Oleh karenanya, DISDIK provinsi diharapkan melakukan redistribusi guru dan redistribusi sumber daya sekolah sekaligus agar masyarakat lebih cepat menerima reasoning tentang kebijakan pemereataan mutu pendidikan sekolah.

Melunasi janji Konstitusi

Langkah progresif None sebagai kepala Dinas Pendidikan ini, tidak banyak dilakukan oleh kepala dinas yang lain di daerah lain. Dimana secara bersamaan, redistribusi calon siswa dibarengi dengan redistribusi guru sebagai factor yang penting dalam pembelajaran. Jika pemerataan sumberdaya sekolah untuk seleruh sekolah se sulsel dapat tercapai dengan baik, maka pada kondisi ini provinsi Sulawesi selatan dapat menjadi contoh yang  baik bagaimana pemerintah daerah mewakili Negara menunaikan janji konstitusi dalam pemerataan kualitas pendidikan.  Kita berharap, langkah  ini dapat dipahami dan diikuti oleh stakeholder pendidikan. Oleh karena tanpa ada langkah-langkah progresif seperti ini, kita sudah bosan kalau tidak jenuh mendengar kata-kata manis dalam kebijakan pendidikan.

Dampak Multiple-Effect

Kebijakan redistribusi sumber daya pendidikan di sekolah menengah atas yang gagas Disdik Pemprive Sulsel, dalam 3-5 tahun kedepan akan berdampak sangat signifikan bukan aja bagi dunia pendidikan tetapi juga bagi dinamika tata kota, terutama kota-kota yang mulai mengalami ancaman kemacekan lalu lintas di pagi dan sore hari seperti kota Makassar ini. Gara-gara transportasi didominasi anak sekolah, jalanan menjadi macet. Melalui redistribusi calon isiswa, diharapkan member effect positif berkurangnya intensitas trasportasi  oleh para siswa. Oleh karena lebih dari 40% proporsi jalur domisilai masuk sekolah diperuntukan bagi siswa yang berdomisili tidak lebih dari radius 2 km dengan sekolah terdekat dari tempat tinggal domisili siswa. Ini berarti para siswa yang domisili 2 km daris sekolah hanya akan berkontribusi pada penggunakan transportasi sejauh 2 km saja.

Efect positif lain adalah dihampir semua sekolah akan terjadi heterogenitas kemampuan akademik calon siswa yang justtu disinilah letak mission dasarnyan fugngsi sekolah negeri milik Negara dalam melayani hak dasar pendidikan warganya. Selain itu, iklim sekolah akan menjadi kompetitif. #walluhuAlam#

***

Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia Bagi Guru

$
0
0

Oleh Mukhlis
Guru SMP Negeri 3 Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di STAIN Pekalongan dan Anggota ISPI

ABSTRAK
Pendidikan berada pada posisi strategis dalam proses pembangunan. Dengan pendidikan yang baik, memungkinkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa meningkat dan pada akhirnya bisa membangun sumber daya manusia yang unggul menuju bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Hasil pendidikan yang baik lahir dari proses yang baik. Dalam hal ini guru sebagai tenaga pendidikan mempunyai peran penting dalam mewujudkan proses pendidikan yang baik di sekolah. Dalam praktiknya, proses tersebut tidak lepas dari penggunaan bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan.

Kalau memperhatikan bahwa proses pendidikan tidak lepas dari penggunaan bahasa sebagai upaya membimbing siswa dalam belajar, maka kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru menjadi sangat penting. Guru merupakan penutur jati dari kalangan profesional yang menggunakan bahasa sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembelajaran kepada siswa. Sudah selayaknya kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru pada tingkat yang unggul, namun fakta dilapangan belum semua guru mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia yang baik. Hal ini bisa dibuktikan masih rendahnya kemampuan guru yang mampu menghasilkan karya tulis. Kondisi ini mengakibatkan kemampuan literasi siswa juga lemah. Sebagian besar siswa belum bisa menuangkan gagasan keilmuan hasil belajar dalam bentuk tulisan.

Berdasar latar belakang masalah tersebut, bagaimanakah upaya meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru? Seiring terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia, salah satu tujuan dari Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) antara lain sebagai prasyarat sertifikasi profesi, maka perlu adanya standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia bagi profesi pendidik. UKBI bagi guru menjadi hal penting dalam rangka standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia di kalangan guru sehingga berimbas pada peningkatan kualitas hasil pendidikan bagi peserta didik.

Kata kunci: Standar Kemampuan Berbahasa Indoesnia, Guru, UKBI.

Pendahuluan

Pendidikan berada pada posisi strategis dalam proses pembangunan. Dengan pendidikan yang baik, memungkinkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa meningkat dan pada akhirnya bisa membangun sumber daya manusia (SDM) menuju bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Untuk mewujudkan kemandirian bangsa yang mempunyai daya saing tinggi tidak bisa lepas dari program pendidikan nasional. Hal ini karena tenaga utama penggrak pembangunan naional tidak lain adalah SDM yang merupakan produk dari pendidikan.

Hasil pendidikan yang baik lahir dari proses yang baik. Paradigma umum mengatakan proses pendidikan yang berjalan dengan baik akan melahirkan  lulusan (SDM) yang unggul. Dalam hal ini peran guru menjadi sangat penting (key factor). Walaupun pada saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik, namun peran guru belum bisa digantikan oleh apa pun. Kehadiran guru dalam proses belajar bagi peserta didik masih menjadi faktor dominan dan paling penting dalam pendidikan formal (Budiyarti, 2015). Bagi peserta didik, guru tidak hanya sebagai pembimbing dalam kegiatan belajar, namun lebih dari itu guru merupakan sosok  yang menjadi tokoh identifikasi diri bagi siswanya.

Melihat betapa pentingnya faktor guru dalam ikut menentukan keberhasilan pendidikan, maka idealnya seorang guru harus berkualitas. Berdasar penelitian Profesor John Hattie dari University of Auckland, faktor dominan penentu prestasi siswa: (1) karakter siswa (49%), (2) guru (30%), dan (3) lain-lain (21%). Besarnya pengaruh faktor kemampuan guru terhadap keberhasilan pendidikan maka peningkatan kualitas guru menjadi upaya strategis yang harus dilakukan dalam rangka mempersiapkan kualitas generasi bangsa Indonesia berikutnya (Ratih Hurriyati, 2016).

Salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masih rendahnya kualitas guru, baik kualitas penguasaan materi maupun kualitas pedagogik. Bagaimana tingkat kemahiran berbahasa Indonesia di kalangan guru? Pada tataran ini juga menunjukkan bahwa kemahiran berbahasa Indonesia guru rata-rata masih lemah. Hal ini bisa dibuktikan masih rendahnya kemampuan guru yang mampu menghasilkan karya tulis. Kondisi ini mengakibatkan kemampuan literasi siswa juga lemah. Sebagian besar siswa belum bisa menuangkan gagasan keilmuan hasil belajar dalam bentuk tulisan.

Secara umum, kualitas guru tercermin dalam nilai rata-rata nasional hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015. Prestasi nilai rata-rata kemampuan guru dalam UKG menunjukkan angka 53,02. Angka tersebut lebih rendah dari ketentuan rata-rata batas terendah nasional yang ditarget, yakni 55,00. Kualitas guru rendah tentu berimplikasi pada lulusan pendidikan yang rendah pula. Dalam kemahiran berbahasa Indonesia, selayaknya kemampuan guru pada tingkat yang unggul, namun fakta di lapangan belum semua guru mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia yang baik. Hal ini mendorong pemerintah berupaya untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dengan berbagai program kegiatan peningkatan mutu, atara lain melalui kegiatan sertifikasi guru.

Sertifikasi Guru

Program sertifikasi guru merupakan bagian dari kegiatan penjaminan mutu pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru. Program ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal delapan disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualitas akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Melalui program sertifikasi guru inilah akan diperoleh tenaga pendidik yang profesional dan terstandar kualitasnya.

Kualitas seperti apakah yang harus ada pada seorang guru? Tentunya ada indikator-indikator tertentu yang dirumuskan oleh lembaga penjamin mutu tentang kualitas minimal yang diharapkan ada/dikuasai oleh guru. Dalam hal ini satu guru dengan guru lainnya mempuyai perbedaan sesuai dengan bidang spesialisasi kompetensi guru masing-masing. Namun secara umum kualitas kemampuan tersebut dikelompokkan dalam dua hal yakni kompetensi pedagogik dan kompetensi penguasaan materi pelajaran sesuai jenis guru yang bersangkutan.

Guru merupakan jabatan profesional. Keprofesionalan guru diakui setelah guru mengikuti program sertifikasi tenaga pendidik dan memperoleh sertifikat pendidik. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Stadar Kemahiran Berbahasa Indonesia, pasal sepuluh menjelaskan bahwa bagi penutur jati dari kalangan profesioal utuk menduduki jabatan profesional tertentu mensyaratkan seseorang harus memiliki standar kemahiran berbahasa Indonesia dalam tingkatan yang sesuai dengan jabatan tersebut. Berikut ini tabel peringkat kemahira berbahasa Indonesia yang menjadi syarat dari  jenis jabatan yang sesuai.

No Klasifikasi Jabatan Jabatan Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia Minimal
1 TNI/POLRI Pimpinan Kesatuan Unggul
Anggota Madya
2 Manajer Pimpinan Lembaga/Instansi Sangat Unggul
Manajer Produksi Madya
Manajer Keuangan Madya
Pimpinan Eksekutif Unggul
Rektor Sangat Unggul
Kepala Sekolah Unggul
 

 

 

 

 

 

 

3

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Profesional

 

Penulis Unggul
Wartawan :
– Muda Madya
– Madya Unggul
– Utama Unggul
Penerjemah:
        –  Penerjemah Unggul
        –  Juru Bahasa Unggul
Psikolog Unggul
Peneliti:
–                    Pratama Unggul
–                    Muda Unggul
–                    Madya Sangat unggul
–                    Utama Sangat unggul
Penyuluh Sangat unggul
Guru:
–                    Guru Bahasa Indonesia Unggul
–                    Guru Nonbahasa Indonesia Madya
Dosen Unggul
Guru besar Sangat unggul
Dokter:
–                    Umum Unggul
–                    Spesialis Sangat unggul
Keterangan:

Tabel diambil dari Lampiran Salinan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2016  tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia.

 

Sudah kita pahami bersama bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang digunakan dalam kegiatan pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia. Guru yang berada di sekolah-sekolah Indonesia, merupakan penutur jati. Guru selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat penyampaian materi pelajaran. Sangatlah wajar kalau kemudian diperlukan standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru.

Dampak positif dari adanya standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru dapat mendorong guru untuk terus meningkatkan kemampuan profesionalitasnya termasuk kemampuan berbahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa yang terus meningkat dari seorang guru akan berdampak semakin efektifnya proses pembelajaran. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Guru yang kurang mahir dalam berbahasa akan sulit menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Demikian juga bagi siswa yang kurang mahir dalam mengguakan bahasa Indonesia, pasti mengalami kendala dalam menangkap pesan-pesan isi materi yang dipelajari.

Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia

Kemahiran berbahasa Indonesia bagi seorang guru merupakan hal yang harus diperhatikan. Rasioalitas perlunya memperhatikan kemahiran berbahasa Indonesia ini karena dalam melaksanakan tugas sehari-hari bagi seorang guru, tidak lepas dari penggunaan bahasa. Dalam pendidikan di sekolah, bahasa Indonesia merupakan alat untuk mentransfer pengetahuan. Dalam hal ini guru akan selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi kepada peserta didik. Kemahiran berbahasa Indonesia seorang guru ikut berperan menentukan efektifitas pembelajaran. Efektif atau tidak dalam komunikasi yang terbangun antara guru dan peserta didik, akan berpengaruh terhadap daya serap hasil belajar siswa.

Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia adalah standar penguasaan kebahasaan dan kemahiran berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulis. (Pasal 1, Permendikbud Nomor 70 Tahun 2016). Untuk mengetahui tingkat kemahiran seorang guru dalam berbahasa Indonesia, guru harus mengikuti kegiatan uji kemahiran berbahasa Indonesia (UKBI). Dalam hal ini, untuk profesi guru ada dua kategori tingkatan yang harus dikuasai, yakni untuk guru yag mengajar bahasa Indonesia harus mempunyai tingkat kemahiran utama dan untuk guru yang bukan mengajar bahasa Indonesia harus memenuhi tingkat kemahiran madya.

UKBI dilaksanakan melalui mekanisme tes yang harus diikuti oleh peserta.  Penyelenggara UKBI adalah Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Badan ini pula yang menetapkan standar kemmampuan kebahasaan yang harus dipenuhi oleh tiap tingkatan. Dengan standar tersebut, peserta tes UKBI akan memperoleh peringkat kategori kemahiran berbahasa Indonesia.  Pemanfaatan hasil UKBI dijelaskan dalam pasal 10, bagi penutur jati dari kalangan profesioal digunakan sebagai prasyarat sertifikasi profesi.

UKBI merupakan kegiatan pengukuran untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemahiran dalam berbahasa Indonesia bagi penutur jati maupun penutur asing. Teknik pengukuran untuk mengetahui tingkat kemahiran tersebut dilaksanakan melalui tes yang tersatandar. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh mencerminkan tingkat kemahiran berbahasa Indonesia bagi yang bersangkutan.

Ada tujuh tingkatan kemahiran berbahasa Indonesia yang diberikan kepada peserta tes UKBI; (1) Istimewa (skor 725 – 800), (2) Sangat Unggul (skor 641 – 724), (3) Unggul (skor 578 – 640), (4) Madya (skor 482 – 577), (5) Semenjana (skor 405 – 481), (6) Marginal (skor 326 – 404) dan (7) Terbatas (skor 251 – 325). Sebutan tingkat kemahiran beserta capaian skor bisa dilihat dalam selembar sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setelah yang bersangkutan mengikuti kegiatan UKBI.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian ketiga dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Stadar Kemahiran Berbahasa Indonesia, bahwa hasil UKBI dimanfaatkan oleh penutur jati dari kalangan profesional sebagai prasyarat sertifikasi profesi, maka bagi peserta sertifikasi guru harus sudah memiliki sertifikat sesuai standar kemahiran berbahasa Indonesia yakni peringkat Unggul bagi guru bahasa Indonesia, dan atau peringkat Madya bagi guru non bahasa Indonesia.

Penutup

UKBI bagi guru menjadi hal penting dalam rangka standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia di kalangan guru. Imbas yang diharapkan dari standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia bagi guru adalah adanya peningkatan kualitas hasil pendidikan bagi peserta didik. Ada konsekwensi logis dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang standarisasi kemahiran berbahasa Indonesia, guru akan berusaha mencapai kemahiran minimal berbahasa Indonesia untuk menunjang keprofesioalanya. Keharusan mengikuti UKBI bagi setiap guru profesional merupakan bagian dari pengembangan profesi guru ke depan[]

Penulis: Mukhlis, M.Pd   guru SMP 3 Sagi, Pekalongan

Daftar Pustaka

Budiyarti, 2015. Problematika Pembelajaran di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Deeppublis.

Ratih Hurriyati, 2016. Kualias Guru Kita, Opini, Artikel, Harian Pikiran Rakyat Yogyaarta, 4 Mei 2016

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Stadar Kemahiran Berbahasa Indonesia

Kementerian Pendidikan Nasional, 2016. Laporan Hasil UKG 2015. Bahan Pelatihan Guru Calon Intruktur Nasional Guru PKn/IPS oleh P4TK PKn-IPS Malang

 

Foto Inspiratif Permudah Tulis Syair Tembang

$
0
0

Oleh Dra. Eko Hastuti, M.M.
Guru SMP Negeri 1 Wonosobo dan anggota ISPI

Eko Hastuti

Keterampilan menulis bagi sebagian besar siswa SMP sangat rendah. Dibanding keterampilan bahasa yang lain, menyimak, berbicara, dan membaca, menulis memang lebih sulit. Menulis merupakan keterampilan berbahasa tertinggi, memerlukan berbagai unsur bahasa, seperti kosa kata, frasa, pembentukan kalimat, penguasaan ejaan dan tanda baca. Ide atau gagasan yang akan ditulis juga harus dikuasai karena menjadi bahan yang akan dikembangkan dalam tulisan. Kondisi tersebut lebih parah lagi pada kompetensi menulis syair tembang Macapat. Adanya aturan dalam menulis tembang yang disebut guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu/dhong-dhing menambah siswa tak berkutik. Siswa memahami isi teks tembang saja sudah kesulitan, baik dalam mengartikan kata-kata sulit, memahami makna larik-larik tembang, isi keseluruhan bait, maupun dalam menangkap makna yang terkandung. Padahal tembang Macapat dalam hal ini tembang Kinanthi memiliki nilai filosofi yang tinggi bagi pembentukan kharakter siswa. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam teks tembang yang bagus bagi penanaman budi pekerti. Tembang Kinanthi merupakan warisan nenek moyang yang mempunyai ciri khas tersendiri. Isinya, ajakan untuk saling menyayangi, menanamkan kesetiaan, dan rasa cinta kepada sesama. Sayangnya, pada tataran memahami tembang saja, siswa terkendala oleh sulitnya mengartikan diksi tembang yang memang sulit.

Dampak negatif lainnya bagi siswa antara lain siswa kurang tertarik pada materi tembang, kurang aktif, dan kurang senang ketika mengikuti pelajaran. Akibatnya keterampilan menulis siswa tidak maksimal. Dari sisi guru, umumnya juga belum memiliki daya dukung yang signifikan. Kreativitas pembelajaran masih cenderung teoritis dan praktek menulis tembang yang sangat sedikit. Padahal siswa perlu banyak berlatih untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, dan perasaannya dalam menulis syair tembang Kinanthi. Jadi perlu media nyata untuk memudahkan siswa mengekpresikan ide dan perasaannya dalam bentuk syair tembang. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk memudahkan siswa dalam menulis syair tembang Kinanthi yakni dengan menggunakan media Foto Inspiratif.

Manfaat Foto Inspiratif

Foto Inspiratif merupakan salah satu media pembelajaran yang dirancang secara khusus sebagai pengantar informasi bahan pembelajaran. Selain menarik media tersebut dapat  menumbuhkan daya krestivitas siswa dalam upaya meningkatkan hasil belajar yang maksimal. Foto Inspiratif dapat diperoleh dari kegiatan fotografi yaitu proses pembuatan gambar dengan menggunakan media cahaya. Namun bisa juga dengan mengambil dari berbagai sumber, seperti internet. Fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu objek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai objek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera (Munir, 2010). Sumber Foto Inspiratif lainnya, bisa dari surat kabar, majalah, brosur, buku, internet, dan sebagainya. Bisa juga foto yang diambil sendiri oleh guru yang bersangkutan pada momen-momen tertentu.

Kelebihan media Foto Inspiratif ini diantaranya; mudah diperoleh, sederhana, praktis, dan murah. Apabila cetak foto masih dibilang mahal, file foto cukup diprint warna di sekolah. Jika untuk ngeprint juga tidak memungkinan karena keterbatasan sarana, guru cukup menayangkan dengan menggunakan LCD. Apalagi bila cara pemerolehannya dengan download dari internet menjadi cukup mudah dan gratis.  Manfaat media Foto Inspiratif dapat untuk menerjemahkan konsep atau gagasan yang abstrak menjadi lebih realistis. Foto Inspiratif umumnya memiliki sisi kemanusiaan yang menyentuh hati. Dengan mencermati foto tersebut, siswa lebih mudah mengemukakan ide, gagasan, tanggapan, dan perasaan ke dalam bentuk tembang. Agar praktek menulis syair tembang efektif, siswa dikelompokkan antara 4-5 anggota. Setiap kelompok dibagikan satu Foto Inspiratif. Anggota kelompok berdiskusi dalam pemilihan kata, penentuan sajak akhir, dan jumlah kata seperti pada aturan tembang. Aturan atau ketentuan membuat tembang Macapat termasuk tembang Kinanthi secara umum adalah guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra adalah jumlah baris/larik setiap bait. Guru wilangan adalah jumlah suku kata pada setiap larik tembang. Sedangkan guru lagu/dhong dhing adalah bunyi akhir setiap baris. Secara khusus tembang Macapat memiliki aturan sendiri-sendiri, sehingga siswa harus memahami secara sungguh-sungguh agar dapat mencipta syair tembang Macapat, termasuk di dalamnya tembang Kinanthi.

Setelah syair tembang jadi, siswa ditugaskan untuk mempresentasikan di depan kelas. Siswa lain menanggapi sedangkan guru memberikan respon positif. Kalau syair tembang menggunakan bahasa tembang, siswa pada waktu presentasi menggunakan bahasa Jawa ragam krama alus. Pembelajaran menggunakan media seperti ini dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Siswa juga terlibat langsung dalam upaya nguri-uri bahasa dan sastra Jawa. Yang lebih utama lagi, ada unsur pembentukan karakter siswa, yakni berani tampil di muka umum, kerja sama, dan peduli.

***

Viewing all 45 articles
Browse latest View live