Oleh: Dr. Zubaedi M. Ag., M. Pd.
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Bengkulu dan Anggota ISPI
![]()
Zubaedi
Pendahuluan
Pendidikan karakter (character education) akhir-akhir ini menjadi salah satu topik yang sangat relevan diperbincangkan. Hal ini didasari oleh keinginan dan kebutuhan dalam menemukan formulasi pendidikan karakter yang tepat untuk mengatasi problem kemerosotan karakter bangsa yang sedang terjadi.
Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis karakter yang cukup mengkhawatirkan di tengah-tengah masyarakat, dikarenakan dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas[1], maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja[2], kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar mencontek, kebiasaan bullying di sekolah dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Perilaku orang dewasa juga setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela, perselingkuhan dan sebagainya.
Kondisi krisis[3] dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya.[4] Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata sedangkan aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan.
Menurut Sudarminta, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dengan kata lain, aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema menegaskan bahwa persoalan komitmen dalam mengintegrasikan pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional.
Atas kondisi demikian, semua orang sepakat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orang tua, dan masyarakat umum, semua menyuarakan kekhawatiran yang sama. Kita memang harus khawatir. Setiap hari berita-berita berisi tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai anak-anak membuat kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan tersebut.
Indikator lain yang mengkhawatirkan juga terlihat pada sikap kasar anak-anak yang lebih kecil; mereka semakin kurang hormat terhadap orang tua, guru, dan sosok-sosok lain yang berwenang; kebiadaban yang meningkat, kekerasan yang bertambah, kecurangan yang meluas, dan kebohongan yang semakin lumrah. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mencemaskan dan masyarakat pun harus waspada. Sebagian orang tua mulai mulai mengirim anaknya ke sekolah khusus, sementara sebagian lain mendidik anaknya di rumah; pengadilan menjatuhkan hukuman untuk remaja seberat hukuman orang dewasa. Berbagai macam strategi pendidikan dicoba: para guru mengajarkan rasa percaya diri dan kemampuan mengatasi konflik, penasehat mengajarkan keterampilan sosial dan cara mengendalikan kemarahan, jumlah murid dalam kelas diperkecil dan meningkatkan standar akademis. Para psikolog mengembangkan teori-teori baru yang lebih komplet. Howard Gardner merombak pemahaman kita tentang kemampuan kognitif anak dengan teori kecerdasan majemuk, dan Daniel Goleman memperkenalkan kecerdasan emosi.[5]
Diakui, persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral, belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan moral, semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya. Untuk itu, kondisi dan fakta kemerosotan karakter dan moral yang terjadi menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan karakter pada para siswa.
Misi dari pendidikan itu adalah membuat manusia menjadi manusia. Artinya pendidikan itu harus mengarahkan seorang individu yang memiliki karakter positif dengan ciri insan yang sadar diri dan sadar lingkungannya.[6]
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang. Coon mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.[8] Karakter berarti tabiat atau kepribadian. Karakter merupakan “keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Hill (Wanda Chrisiana, 2005) mengatakan, character determines someone’s private thoughts and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation”.[9] Dalam konteks ini, karakter dapat diartikan sebagai identitas diri seseorang.
Griek mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai paduan dari pada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Kemudian Leonardo A. Sjiamsuri dalam bukunya “Kharisma Versus Karakter” yang dikutip Damanik mengemukakan bahwa karakter merupakan siapa anda sesungguhnya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang atau sesuatu yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu berbeda dari yang lain.[10]
Menurut Ekowarni (2010), pada tatanan mikro, karakter diartikan; (a) kualitas dan kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi tertentu; atau (b) watak, akhlak, ciri psikologis. Ciri-ciri psikologis yang dimiliki individu pada lingkup pribadi, secara evolutif akan berkembang menjadi ciri kelompok dan lebih luas lagi menjadi ciri sosial. Ciri psikologis individu akan memberi warna dan corak identitas kelompok dan pada tatanan makro akan menjadi ciri psikologis atau karakter suatu bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa berproses secara dinamis sebagai suatu fenomena sosio-ekologis.[11] Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa karakter merupakan jati diri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Karakter selalu berkaitan dengan dimensi fisik dan psikis individu. Karakter bersifat kontektual dan kultural. Karakter bangsa merupakan jati diri bangsa yang merupakan kumulasi dari karakter-karakter warga masyarakat suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Endang Ekowarni (2010) bahwa karakter merupakan nilai dasar prilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia (when character is lost then everyting is lost). Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai(respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happinnes), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicty), toleransi (tolerance) dan persatuan (unity).
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam tulisan bertajuk “Urgensi Pendidikan Karakter”, Prof. Suyanto, Ph. D menjelaskan bahwa “karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat”.[12]
Pengertian ini senada dengan pengertian dari sumber lain yang menyatakan bahwa “character is the sum of all the qualities that make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions, artinya: “Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan demikian, karakter dapat disebut sebagai jatidiri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya”[13]
Karakter menurut Alwisol diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit.[14] Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan aktivitas individu.
Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.[15] Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
Menurut Joel Kuperman,, karakter bermakna instrument for making and graving, impress, stamp, distinctive mark, distinctive nature.” Berkowitz mengartikan karakter sebagai ….an individual’s set of psychological characteristics that affect person’s ability and inclination to function morally. Karakter merupakan ciri atau tanda yang melekat pada suatu benda atau seseorang. Karakter menjadi tanda identifikasi. Wilhelm menyatakan character can be measured corresponding to the individual’s compliance to a behavioral standard or the individual’s compliance to a set moral code. Dengan demikian, secara sederhana karakter merepresentasikan identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada aturan atau standar moral dan termanifestasikan dalam tindakan. [16] Fasli Jalal [17] merumuskan defenisi karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.
Karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan yaikni: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral behaviiour (perilaku moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaiikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habits of the mind), pembiasaan dalam hati (habits of the heart) dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action). Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin ditanamkan pada diri anak-anak, hal ini jelas kita menginginkan agar anak-anak mampu menilai apakah hak-hak asasi, peduli secara mendalam apakah hak-hak asasi, dan kemudian bertindak apa yang diyakini menjadi hak-hak asasi.
Karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau yang dikenal sebagi karakter dasar yang besifat biologis. Menurut Ki Hadjar Dewantara, aktualisasi karakter dalam bentuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis dengan hasil hubungan atau interaksi dengan lingkungannya. Karakter dapat dibentuk melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri kemanusiaannya. Dengan pendidikan akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding faktor lain, pendidikan memberi dampak dua atau tiga kali lebih kuat dalam pembentukan kualitas manusia.[18]
Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam konteks kebangsaan, pembangunan karakter diorientasikan pada “…tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.”
B. Pola Pembelajaran Integralistik (Terpadu)
Pendidikan karakter tidak merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi diintegrasikan dalam kurikulum dan berfungsi menjadi penguat kurikulum yang sudah ada. Pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam kegiatan pembelajaran berarti memadukan, memasukkan, dan menerapkan nilai-nilai yang diyakini baik dan benar dalam rangka membentuk, mengembangkan, dan membina tabiat atau kepribadian peserta didik sesuai jatidiri bangsa tatkala kegiatan pembelajaran berlangsung.[19] Nilai-nilai karakter antara lain (1) Religius, (2) Jujur, (3)Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai yang terkandung dalam karakter bangsa ke dalam kegiatan pembelajaran pada setiap mata pelajaran dalam konteks pembentukan karakter bangsa, sesungguhnya kegiatan tersebut ingin merealisasikan terhadap apa-apa yang tertera dalam kurikulum yang berlaku di sekolah, melalui kajian dan aplikasi nilai-nilai yang terkandung di dalam karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Integrasi nilai-nilai karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap-tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Proses pembelajaran pendidikan karakter secara integralistik (terpadu) bisa dibenarkan karena sejauh ini muncul keyakinan bahwa anak akan tumbuh dengan baik jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Istilah terpadu pada pembelajaran terpadu atau integrated adalah”………repositioning of earning experiences into meaningful contexs, maksudnya bahwa pembelajaran terpadu menekankan pengalaman belajar dalam konteks yang bermakna.[20] Pembelajaran terpadu didefinisikan juga sebagai : “Suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna pada anak”. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, anak akan memahami konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami anak melalui kesempatannya mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa otentik (alami). Dalam pembelajaran semacam itu, anak diharapkan selalu mendapatkan kesempatan untuk terlibat secara aktif sesuai dengan aspirasi dan minatnya, dimana dalam pembelajaran terpadu sangat menghargai keragaman dan bertolak dari tema-tema.
Menilik perkembangan konsep pendekatan terpadu di Indonesia, pada saat ini model pembelajaran yang dipelajari dan berkembang adalah model pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty (1990). Model pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty ini berawal dari konsep pendekatan interdisipliner yang dikembangkan oleh Jacob (1989). Penerapan pendekatan integratif itu bersifat rentangan (continuum): di mulai dari keterpaduan sederhana yang berbasis satu mata pelajaran (dicipline based), meningkat ke keterpaduan mata pelajaran yang sejalan (parallel discipline), lintas mata pelajaran (cross dicipline), beberapa mata pelajaran (multi dicipline), antar mata pelajaran (interdiciplinary), integrasi dalam waktu atau hari-hari mata pelajaran (integrated day) dam integrasi dalam keseluruhan program sekolah (complete program).[21] Fogarty menyatakan bahwa ada 10 model integrasi pembelajaran, yaitu model fragmented, connected, nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan networked. Model-model itu merentang dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, mulai dari separated-subject sampai eksplorasi keterpaduan antar aspek dalam satu bidang studi (model fragmented, connected, nested), model yang menerpadukan antar berbagai bidang studi (model sequenced, shared, webbed, threaded, integrated), hingga menerpadukan dalam diri pembelajar sendiri dan lintas pembelajar (model immersed dan networked).
Pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan bertitik tolak dari suatu topik atau tema yang dipilih dan dikembangkan guru bersama anak, dengan cara mempelajari dan menjelajahi konsep-konsep dari tema tersebut. Disamping itu pembelajaran terpadu didasari pada pendekatan inkuiri yang melibatkan anak dalam perencanaan, eksplorasi, dan tukar menukar ide, serta anak didorong untuk bekerjasama dalam kelompok dan didorong untuk merefleksikan kegiatan belajarnya sehingga mereka dapat memperbaiki secara mandiri. Sementara itu menurut Joni R pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan dua konsep atau lebih yang relevan dari suatu rumpun mata pelajaran (intra) atau beberapa konsep yang relevan dari sejumlah mata pelajaran (antar). Dalam hal ini pengkaitan beberapa konsep itu haruslah yang relevan dan tidak dapat dipaksakan atau sekedar dikaitkan. Artinya pengkaitan itu harus mempertimbangkan berbagai hal seperti kebutuhan siswa, menarik minat siswa, disesuaikan dengan kurikulum dan berfungsi untuk mengefektifkan kegiatan pembelajaran, sehingga siswa memperoleh pengetahuan baru dan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang baru diperolehnya itu dalam berbagai situasi baru yang semakin kaya ragamnya sesuai dengan prinsip belajar yang bermakna.
Conny R Semiawan membatasi pembelajaran terpadu sebagai “cara belajar yang wajar bagi anak“. Menurutnya proses integratif beranjak dari topik tertentu tetapi lebih bersifat longgar dalam mengaitkan topik sebagai “center of interest” (pusat perhatian) dengan unsur-unsur lain dari berbagai mata pelajaran guna membentuk keseluruhan yang lebih bermakna. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dengan menghubungkan konsep lain yang sudah mereka pahami. Keuntungannya dipandang dari perspektif anak maka bidang studi yang terpisah sangat sesuai. Ia membaca, menghitung, mencatat sesuatu dengan minat yang tidak langsung beranjak dari bidang studi tertentu.
Gillian, Collins dan Dixon mengatakatan bahwa pembelajaran terpadu akan terlaksana apabila terjadi peristiwa atau eksplorasi topik menjadi penggerak kurikulum. Menurutnya berpartisipasi dalam peristiwa otentik atau topik anak belajar sekaligus mendapatkan isi yang lebih luas dari kurikulum yang telah disusun.
Menurut Oemar Hamalik bahwa, pembelajaran terpadu adalah sistem pengajaran yang bersifat menyeluruh, yang memadukan berbagai disiplin pembelajaran yang berpusat pada suatu masalah atau topik atau proyek, baik teoritis maupun praktis, dan memadukan kelembagaan sekolah dan luar sekolah yang mengembangkan program yang terpadu berdasarkan kebutuhan siswa, kebutuhan masyarakat dam memadukan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengembangan kepribadian siswa yang terintegrasi.9 Dalam pengertian diatas merupakan reaksi terhadap pembelajaran yang terpisah-pisah dimana antara mata pelajaran satu dengan yang lainnya tidak dihubungkan tetapi bersifat terkotak-kotak. Disisi lain sistem ini pada hakikatnya merupakan pengembangan yang lebih luas dari pengejaran sistem bidang studi. Dengan demikian pembelajaran harus sesuai dengan minat dan kebutuhan anak yang betitik tolak dari suatu masalah atau proyek yang dipelajari oleh siswa baik secara individual maupun kelompok dengan metode yang bervariasi dan dengan bimbingan guru guna mengembangkan pribadi siswa sacara utuh dan terintegrasi.
Dari uraian pendapat diatas, maka pengertian pembelajaran terpadu dapat disimpulkan sebagai berikut : (1). Pembelajaran beranjak dari suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik berasal dari bidang studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi yang lainnya. (2) Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata sekeliling dan dalam rentang kemampuan anak. (3). Suatu cara untuk mngembangkan pengetahuan dan ketrampilan anak secara simultan. (4). Merakit atau menghubungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Pembelajaran terpadu dapat memberikan dampak langsung (instrutional effects) melalui pencapaian tujuan pembelajaran khusus dan dampak tidak langsung atau dampak pengiring (nurturan effects) sebagai akibat dari keterlibatan siswa dalam berbagai ragam kegiatan belajar yang khas dirancang oleh guru.[22]
Dengan demikian dari uraian ciri-ciri pembelajaran terpadu diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) berpusat pada anak (child centered), (2) memberikan pengalaman langsung kepada anak, dan (3) pemisahan antara bidang studi tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran, (5) bersifat luwes dan (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai minat dan kebutuhan anak.
Pendidikan karakter secara terintegrasi (terpadu) di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.[23]
Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan. Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter.
Model pembelajaran terpadu berdasarkan lintas beberapa disiplin ilmu yang sering digunakan untuk pendidikan karakter adalah model webbed. Model ini memadukan materi pembelajaran dari beberapa bidang studi dalam satu tema yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dalam bentuk jaringan laba-laba.
Secara teoritis, ada dua pendekatan yang ditawarkan banyak pihak dalam menerapkan karakter di sekolah. Pertama, pendidikan karakter diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, pendidikan karakter diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan kedua yang menjadi pilihan dalam implementasi pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah. Hal ini sejalan dengan pernyataan wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal yang ditulis oleh Napitupulu, E. L. Pendidikan karakter yang didorong oleh Pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat. Jadi pendidikan karakter tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah. [24]
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Setiap guru diharapkan dapat menjadi guru pendidikan karakter dan setiap guru seharusnya berkompeten untuk mendidik karakter peserta didiknya. Bayank pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan karakter tidak usah diajarkan khusus sebagai mata perlajaran yang berdiri sendiri. Artinya setiap guru mata pelajaran memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik karakter siswanya.
Pendidikan karakter menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, yang dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam konteks ini, pendidikan harus membangun kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri peserta didik hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pada prinsipnya mendidik karakter bukan hanya menjadi tugas sebagian guru tertentu saja seperti guru PKn, guru Akidah Akhlak, guru Bimbingan Konseling ataupun guru Agama. Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kita bersama termasuk di dalamnya seluruh guru mata pelajaran.
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan peserta didik dengan ayat, dalil, ataupun teori-teori kebaikan. Guru sebagai ujung tombak terlaksananya pembelajaran hendaknya mampu meramu kurikulum terpadu yang dapat menyentuh seluruh kebutuhan anak. Salah satunya dengan menerapkan kurikulum holistik berbasis karakter. Menurut Sofyan A. Djalil, kurikulum ini merupakan sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan misalnya yang terdapat dalam mata pelajaran IPA SD dapat dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (holistik).[25]
C. Langkah-Langkah Pembelajaran Terpadu
Secara makro, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum melalui: (1) Program pengembangan diri, (2) Pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran, (3) Pengintegrasian ke dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, (4) Pembiasaan[26]
(1) Program Pengembangan Diri
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu: kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, teladan dan pengkondisian. Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten pada setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: berbaris masuk ruang kelas, membersihkan kelas, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lain-lain) pada setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dluhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan yang lain, belajar secara rutin dan rajin, upacara pada hari besar kenegaraan dan sebagainya.
Adapun kegiatan spontan berupa kegiatan yang dilakukan secara spontan ketika pendidik menjumpai dan mengetahui prilaku anak yang tidak baik, yang tidak baik yang harus langsung dikoreksi agar ia tidak mengulanginya. Contoh perbuatan tidak baik adalah prilaku anak didik membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bullying, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh dan sebagainya. Apabila guru mengetahui sikap atau perulaku peserta didik yang demikian, hendaknya secara spontan diberikan pengertian sebagaimana sikap dan perilaku yang baik, misalnya kalau membuang sampah pada tempatnya, meminta sesuatu dilakukan dengan sopan dan tidak berteriak-teriak, menghindari perkelahian dan lain-lain.
Kegiatan spontan berlaku juga untuk perilaku dan sikap peserta didik yang yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji dan sebagainya.
Adapun keteladanan atau pemberian contoh di sini maksudnya adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, guru dan staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan sebagai model bagi peserta didik. Dalam hal ini, perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan berperan langsung menjadi panutan atau contoh bagi peserta didik. Jika guru dan tenaga kependidikan menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter maka mereka adalah orang yang pertama dalam memberikan contoh dalam sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai. Segala sikap dan tingkah laku guru, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya dengan berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, tidak makan sambil berjalan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, mengucap salam apabila bertemu orang, dan tidak merokok di lingkungan sekolah.
Sementara pengkondisian dilakukan dengan mengkondosikan sekolah sebagai pendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam konteks, sekolah harus mencerminkan kehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai karakter, misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
(2) Pengintegrasian dalam semua Mata Pelajaran
Praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada kesan mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran karena setiap mata pelajaran pada dasarnya memiliki nilai-nilai karakter yang harus dilalui dan dicapai siswa. Hanya saja, sebagian besar guru tidak menyadari bahwa ada nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu menumbuhkan kesadaran bagi setiap guru apapun pelajarannya untuk ikut melakukan pendidikan karakter.
Ada banyak cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran, antara lain: mengungkapkan nilai-nilai yang dikandung dalam setiap mata pelajaran, pengintegrasian nilai-nilai karakter secara langsung ke dalam mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi dan brainstroming, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan amal, kunjungan sosial, field trip atau outboud dan klub-klub kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran membutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antara semua mata pelajaran dalam mendidik karakter peserta didik. Peran dan fungsi mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarga-negaraan (PKn dalam membangun akhlak atau moral perlu mendapatkan dukungan dan penguatan dari mata pelajaran yang lain seperti pendidikan jasmani (olahraga), IPS, IPA (sains), dan matematika. Atas pertimbangan ini, semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter siswa.
1. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Peran pendidikan agama dalam membangun karakter atau akhlak akan lebih optimal pada-masa mendatang jika ia mendapat dukungan dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn). Bahkan bisa dikatakan, dalam konteks pendidikan karakter kita tidak bisa mengabaikan peran strategis mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), atau sebelumnya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).[27] Sebagai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Persoalannya adalah mengapa akhir-akhir ini kita masih banyak menyaksikan perilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial dari warganegara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4 sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian warga negara, paling tidak sudah banyak warga negara yang perilakunya tidak lagi dipedomani oleh nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4.
Menurut Malik Fajar, PKn memiliki peranan penting yang amat penting sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan, watak dan karakter warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam mencapai tujuan tersebut, PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif, dengan memperhatikan empat hal. Pertama, PKn perlu mengembangkan kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir, bersikap, bertindak serta berpartisipasi dalam hidup masyarakat). Kedua, PKn perlu mengembangkan daya nalar (state of mind) peserta didik/siswa pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga Negara sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga, PKn peerlu mengembangkan pendekatan pembelajaran yang yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pada pelatihan penggunaan logika dan penalaran. Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi bukan sekedar membutuhkan pemahaman, sikap dan perilaku demokratis melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), tetapi memerlukan model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democracy).[28]
Peran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai instrumen pendidikan karakter sejauh ini dirasakan belum optimal yang diduga karena muatannya lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif. Dalam kenyataannya, pendidikan kewarganegaraan lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakan juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer pengetahuan, daripada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Yang lebih ironis, pengetahuan yang telah dimiliki tidak dijadikan referensi atau pembimbing dalam berperilaku. Pengetahuan yang mereka peroleh hanya sekedar pengetahuan tanpa makna. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi. Hal ini bisa kita buktikan, misal, hampir semua siswa tahu bahwa kalau lampu lalu lintas menyala merah artinya harus berhenti, tetapi masih banyak juga yang melanggar. Hampir semua siswa tahu kalau membuang sampah di sembarang tempat dapat menimbulkan banjir, tetapi masih banyak siswa, bahkan juga mereka yang naik mobil membuang sampah di sembarang tempat.
Barang kali penyebab lain terhadap kurang optimalnya pendidikan kewarganegaran (PKn) dalam berkontribusi membangun karakter karena perbedaan orientasi dan muatan PKn dibandingkan dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Jika kita bandingkan antara maksud, tujuan dan ruang lingkup dari matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994 dengan matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada kurikulum 2004 ada perbedaan yang cukup signifikan. Pada kurikulum 2003 disebutkan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pada kurikulum 1994 disebutkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari siswa baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga dimaksudkan membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahukuan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Secara konseptual ada perbedaan penekanan antara mata pelajaran PPKn dengan PKn. Mata pelajaran PPKn lebih menekankan pada pembangunan karakter dan pelestarian nilai-nilai Pancasila. Sedangkan mata pelajaran PKn lebih menekankan pada pembentukan warga negara yang paham akan hak dan kewajiban. Di lihat dari tujuan, mata pelajaran PKn bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.[29] Dalam kurikulum 1994 disebutkan bahwa fungsi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah: (1) mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai dan moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab antangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat; (2) mengambangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik dan konstitusi NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945; (3) membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dengan negara, antar warganegara dengan sesama warganegara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Kemudian secara tegas disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut. Dari tujuan juga jelas berbeda. PKn lebih menekankan pada pembentukan karakter (afektif), sedangkan PPKn lebih menekankan pada aspek berpikir kritis (kognisi). Sebenarnya antara moralitas dengan berpikir bukan dua hal yang terpisah sama sekali. Keduanya mempunyai hubungan. Kemampuan berpikir/kognisi seharusnya membimbing perilaku, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuanya juga semakin baik sikap dan moralnya, sebagaimana dalam pepapatah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk. Secara filosopis buah dari ilmu itu adalah wisdom/bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan mampu merubah perilaku seseorang, semakin tinggi tingkat`pendidikannya semakin bijak sikap dan perilakunya.[30]
2. Pendidikan Jasmani (Olah Raga)
Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai pesan dan alat (as medium and message) yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu. Dengan pemahaman ini maka sesungguhnya peran pendidikan karakter bisa dijalankan oleh semua mata pelajaran, termasuk mata pendidikan jasmani. Hal ini sejalan dengan pendapat Solomon (1997), yang menegaskan bahwa konsep pengembangan afektif sebagai tujuan dari pendidikan melalui pendidikan jasmani sudah diperkenalkan lebih dari 160 tahun yang lalu. Pada 1831, merupakan awal guru pendidikan jasmani mengajukan permohonan agar pendidikan jasmani dijadikan bagian dari salah satu aspek dalam kurikulum pengembangan karakter. Lebih lanjut dinyatakan olehnya bahwa pelayanan pendidikan jasmani yang disampaikan guru berkompeten dapat mempromosikan perkembangan afektif.
Park (1983) menyatakan bahwa peluang mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang mempengaruhi perilaku siswa dapat dikembangkan melalui olahraga dan permainan. Dalam konteks ini, peran guru pendidikan jasmani perlu ditekankan agar dapat mengatasi masalah-masalah etika dan mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab secara moral dalam olahraga. Berdasarkan paparan ini bisa dikatakan bahwa para pendidik sangat yakin salah satu tujuan pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, adalah menekankan hasil ranah afektif atau perkembangan karakter dalam kurikulumnya.[31]
Berbagai penelitian terkini mendukung pendapat bahwa melalui pengelolaan pengalaman pendidikan jasmani dapat menfasilitasi terjadinya perkembangan karakter siswa. Pengembangan karakter dapat dilihat sebagai komponen perkembangan moral yang tidak mencakup konotasi keagamaan. Menurut Solomon dkk, (1990) dalam pendidikan jasmani, masalah moral yang timbul biasanya mencakup situasi di mana siswa ditantang mewujudkan adanya keseimbangan secara bersamaan antara hak dan tanggung jawab dirinya dengan hak dan tanggung jawab orang lain. Siswa menunjukkan perkembangan moral secara dewasa apabila memiliki kemauan dan kemampuan berjuang mencari keseimbangan antara kebutuhan diri dan kebutuhan lain. Pengelolaan pendidikan jasmani menimbulkan berbagai situasi di mana siswa harus membuat keputusan tentang kebutuhan hak dirinya dengan hak dan tanggung jawab siswa lainnya. Kejadian ini sering timbul, maka guru harus menentukan strategi yang memadai untuk menangani isu-isu moral, dan pengembangan karakter siswa melalui pendidikan jasmani.[32]
Pentingnya mengembangkan karakter ditekankan dalam tujuan dan fungsi standar kompetensi nasional pendidikan jasmani sebagaimana yang tertuang dalam Kurikulum tahun 2004. Dua di antaranya menyatakan bahwa tujuan pendidikan jasmani, yaitu: (1) meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai dalam Pendidikan Jasmani; dan (2) mengembangkan sikap yang sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani. Guru pendidikan jasmani dapat membantu siswa memenuhi standar tersebut dengan menekankan pentingnya karakter dan kebajikan moral. Ketika siswa sedang mempelajari dan melakukan berbagai aktivitas olahraga, guru harus menekankan bahwa mengejek orang lain, berbuat curang, dan kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan sportivitas dan kebajikan moral.
Salah satu karakter yang bisa ditumbuhkan melalui materi pelajaran olah raga adalah rasa percaya diri (self confident). Rasa percaya diri sangat penting dibangun pada diri peserta didik mengingat ia akan menjadi modal berharga bagi seorang anak dalam menjalani kompetisi dalam kehidupan. Menurut Widoyoko, percaya diri ini memiliki tujuh ciri atau karakteristik. Pertama, percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain. Kedua, tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok. Ketiga, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri. Keempat, punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil). Kelima, memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain. Keenam, mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya. Ketujuh, memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.[33]
3. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Misi pendidikan karakter seyogyanya juga diemban oleh mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). IPS mempunyai tugas mulia dan menjadi fondasi penting bagi pengembangan intelektual, emosional, kultural, dan sosial peserta didik, yaitu mampu menumbuhkembangkan cara berfikir, bersikap, dan berperilaku yang bertanggungjawab selaku individual, warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Selain itu IPS pun bertugas mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif untuk perbaikan segala ketimpangan, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun di masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.
IPS merupakan bagian dari dari kurikulum sekolah yang tanggungjawab utamanya adalah membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global.[34] Hal ini sejalan dengan tujuan Kurikulum IPS tahun 2004, yaitu: mengkaji seperangkat fakta, peristiwa konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan prilaku manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan diantisipasi untuk masa yang akan datang. IPS sebagai suatu pelajaran diberikan di jenjang persekolahan yaitu SD, SMP dan SMA. di SD dan SMP diberikan secara terintegrasi, namun dalam Standar Isi masih tampak adanya materi yang terpisah-pisah (separated), di SMA sebagai ilmu sosial sangat terpisah-pisah, walaupun payungnya dalam kurikulum tetap IPS. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkajidan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan.
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, pendidikan. Oleh karena itu, IPS dapat dikatakan sebagai studi mengenai perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut peristiwa, seperangkat fakta, konsep dan generalisasi yang berkait dengan isu-isu aktual, gejala dan masalah-masalah atau realitas sosial serta potensi daerah.
Dalam Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS-IKIP, dan Jurusan IPS FKIS/STKIP di Yogyakarta tahun 1991 disepakati bahwa pendidikan IPS merupakan seleksi dan adaptasi bahan dari disiplin Ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah-pedagogis dan psikologis untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan.
Mata pelajaran IPS dianggap cukup komprehensif dalam merespon dan memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan di Indonesia, sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik. Sifat mata pelajaran IPS seharusnya lebih bersifat edukatif ketimbang akademis. Dalam konteks ini, rumusan tujuan pembelajaran IPS telah memenuhi aspek-aspek yang menjadi sasaran dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.[35]
Tujuan pembelajaran IPS mencakup lima hal. Pertama, mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan (atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya). Kedua, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan sosial. Ketiga, membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan (serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa). Keempat, memiliki kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.
Rumusan tujuan pembelajaran IPS tersebut menyangkut aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Fenton pernah mengatakan bahwa tujuan pembelajaran IPS itu terdiri atas tiga kluster yakni: (1) pengembangan keterampilan inkuiri dan berpikir kritis; (2) pengembangan sikap dan nilai; dan (3) pemahaman pengetahuan.
Dari berbagai rumusan tersebut, secara umum kompetensi dan tujuan pembelajaran IPS adalah mengantarkan, membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar (1) menjadi warga negara (dan juga warga dunia) yang baik; (2) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan penuh kearifan untuk dapat memahami, menyikapi, dan ikut memecahkan masalah sosial; serta (3) membangun komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai serta ikut mengembangkan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia. Pembelajaran IPS juga diharapkan dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan seperti berkomunikasi, beradaptasi, bersinergi, bekerja sama, bahkan berkompetisi sesuai dengan adab dan norma-norma yang ada. Selanjutnya, para peserta didik diharapkan menghargai dan merasa bangga terhadap warisan budaya dan peninggalan sejarah bangsa, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur, mencontoh nilai-nilai keteladanan dan kejuangan para pahlawan, para pemuka masyarakat dan pemimpin bangsa, memiliki kebanggaan nasional dan ikut mempertahankan jati diri bangsa.
Menurut Wayan Lasmawan, ada tiga kompetensi dalam pembelajaran IPS yakni: kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi intelektual.[36] Kompetensi personal merupakan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian diri peserta didik sebagai makhluk individu yang merupakan hak dan tanggung jawab personalnya. Sejumlah kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu dikembangkan misalnya, pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana menumbuhkembangkan budi pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan keimanan dan ketaqwaannya.
Adapun kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Sejumlah kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya sebagai anggota masyarakat sehingga perlu saling menghormati dan menghargai; pemahaman dan kesadaran atas kesantunan hidup bermasyarakat dan berbangsa; kemampuan berkomunikasi dan kerja sama antara sesama; sikap pro-sosial atau altruisme; kemampuan dan kepedulian sosial termasuk lingkungan; memperkokoh semangat kebangsaan, pemahaman tentang perbedaan dan kesederajatan. Sementara itu, kompetensi intelektual merupakan kemampuan berpikir yang didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu yang baik yang bersifat fisik, sosial, psikologis, yang memiliki makna bagi dirinya maupun orang lain. Kemampuan dasar intelektual ini berkaitan dengan pengembangan jati diri para peserta didik sebagai makhluk berpikir yang daya pikirnya digunakan untuk menerima dan memproses serta membangun pengetahuan, nilai dan sikap, serta tindakan dalam kehidupan personal maupun sosialnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah sosial, merumuskan masalah sosial dan memecahkan masalah itu sebagai ciri penting dalam kemampuan berpikir. Ketiga kompetensi dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya itulah yang yang harus dibangun melalui pembelajaran IPS, sehingga melahirkan pelaku-pelaku sosial yang berkarakter mulia.
Mata pelajaran IPS akan lebih optimal dalam ikut membangun karakter peserta didik jika dilakukan dengan manajemen pembelajaran yang tepat. Menurut National Council for the Social Studies, pembelajaran IPS akan optimal jika guru berpegang pada 5 prinsip pembelajaran yaitu: bermakna (meaningful), terpadu (integrative), menantang (challenging), aktif (active), dan berbasis nilai (value based).
4. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains)
Upaya menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik juga bisa dilakukan melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (sains). Menurut Sumaji dkk sebagai dikutip oleh Sofyan Sauri, Ilmu Pengetahuan Alam (sains) mengandung banyak sekali nilai kehidupan. Nilai moral yang dapat dikembangkan dalam hal ini menyangkut nilai kejujuran, rasa ingin tahu, serta keterbukaan. Proses sains dalam hal ini merupakan proses mempelajari serta mengambil makna pada kehidupan dan dunia di sekeliling kita. [37]
Banyaknya nilai penting kehidupan yang dapat dipelajari dari sains, memberi konsekuensi kepada para pendidik untuk dapat mengembangkan sains sebagai salah satu media dalam membentuk pribadi siswa. Dalam hal ini, siswa dapat diajak menelaah serta mempelajari nilai-nilai dalam sains yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Menyadari hal ini maka keterampilan mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui pembelajaran sains merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dikuasai oleh guru sains. Kompetensi ini dipandang penting sehingga harus diajarkan mulai dari calon guru dan dilatihkan kepada calon guru selama proses praktek pengalaman lapangan di sekolah.
Rustaman dan Rustaman sebagaimana dikutip Sofyan Sauri mengemukakan bahwa hakekat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu produk dan proses. Menurut Depdikbud (1993) tujuan sains adalah sebagai tuntutan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat sesuai zamannya. Sementara ini tujuan sains (dalam pengajaran) semakin berkembang, khususnya dalam tiga aspek hakikat, yaitu proses, produk dan sikap. Hal tersebut ditekankan kepada aspek teori dan praktek serta dirumuskan dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan personal dan sosial. Lebih jauh tujuan pengajaran sains adalah: (1). mengembangkan pemahaman peserta didik tentang alam; (2). mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memperoleh dan mengolah pengetahuan baru, dan; (3). Mengembangkan sikap-sikap positif. Dalam taksonomi tujuan pendidikan, tujuan pendidikan sains memiliki komponen diantaranya sebagai berikut: Hubungan antara sains dengan bidang-bidang lain, peranan sains di dalam masyarakat, implikasi sosial dan kultur dari sains serta hubungan antara sains-teknologi dan masyarakat.[38]
Menurut Rustaman dan Rustaman (1997) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA selain untuk memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya, juga ditujukan untuk: a) meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, kebanggaan nasional, dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa; b) mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah sehari-hari; c) mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai serta sikap ilmiah; dan d) menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan pembelajaran sains (IPA) tidak hanya berorientasi pada konsep akan tetapi juga berorientasi pada aspek-aspek nilai dan sikap ilmiah.
Sementara itu menurut Adiyanto, tujuan pendidikan sains adalah mencakup pengembangan ranah-ranah kognitif (pengetahuan), psikomotor (keterampilan), dan afektif (sikap dan nilai), serta ranah interkonektif (perpaduan ketiga ranah tersebut) yang melahirkan suatu kreatifitas untuk dapat menggali sistem nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya. Kemajuan ilmu sains, terutama biologi yang menunjukkan cepatnya perkembangan bioteknologi ternyata menimbulkan berbagai masalah baru yang memprihatinkan dan menuntut upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Upaya penyelesaian tersebut seringkali tidak dapat ditunda. Masalah yang ditimbulkan oleh penerapan biologi dan pemanfaatan bioteknologi dalam kehidupan sehari-hari seringkali bukanlah masalah-masalah teknis ilmiah, melainkan masalah yang mempunyai kandungan moral. Isu moral yang sesungguhnya terkait erat dalam penerapan bioteknologi. Masalah moral dalam penerapan bioteknologi hendaknya diatasi agar dampak yang buruk terhadap kehidupan manusia dapat dihindari. Dalam hal inilah kedudukan pendidikan nilai dan pengintegrasiannya dalam pembelajaran sains terutama biologi merupakan aspek yang tidak dapat dilewatkan.[39]
Guru mata pelajaran fisika seharusnya menyadari bahwa pembahasan materi fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Praktikum dalam mata pelajaran fisika bisa dijadikan media untuk mengembangkan kecakapan bekerja sama, disiplin, kerja kelompok. Melalui mata pelajaran fisika bisa diajarkan tentang keteraturan jagad raya dengan planet-planet yang beredar pada orbitnya. Guru dapat menanamkan karakter keagungan dan kekuasaan Allah yang pada akhirnya menumbuhkan cinta kepada Allah SWT sang pencipta alam semesta.
Isi mata pelajaran kimia juga dapat mengajarkan banyak nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa. Pelajaran kimia sarat dengan materi yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan umat manusia. Jadi kemashlahatan dari pembelajaran kimia sangat tergantung dari karakter manusianya. Jika manusianya berkarakter baik, maka ilmu kimia yang dimiliknya akan dimanfaatkan untuk kebaikan pula, begitupun sebaliknya.[40]
Demikian pula dengan materi pelajaran biologi. Berpijak pada pendapat Yunus dan Pasha, para guru biologi hendaknya dapat menanamkan keimanan dan ketakwaan bagi siswa melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini penting untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang intelektual dengan ketauhidan yang sangat tinggi kepada Allah.
Pada mata pelajaran biologi, guru dapat menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa melalui materi-materi pelajaran yang diajarkannya. Seperti cinta kepada Alam semesta yang diciptakan Allah SWT. Melalui pelajaran ini guru dapat menanamkan karakter kepedulian terhadap lingkungan dan kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah SWT. [41]
Berpegang pada pendapat Sumarya, nilai-nilai karakter/budi pekerti dapat dipelajari melalui konsep mata dan telinga. Mata dan telinga sebagai salah satu pokok bahasan dalam biologi hendaknya diajarkan sejak masa kanak-kanak sebagai indera yang harus digunakan untuk kebaikan. Mata tidak digunakan untuk melihat perilaku, gambar, dan hal-hal yang buruk. Sementara telinga juga harus diajarkan untuk digunakan mendengarkan nasehat atau kebaikan yang dapat membentuk karakter. Oleh karena konsep mata dan telinga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan sangat berperan dalam aktivitas belajar, maka pesan moral untuk menggunakan kedua organ ini di jalan kebaikan merupakan aspek penting dalam membentuk budi pekerti yang baik.
5. Matematika
Mata pelajaran matematika juga mengemban misi untuk pendidikan karakter. Dalam matematika terdapat nilai konsistensi dalam berpikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada (semua probabilitas) lalu mengeliminasi sejumlah kemungkinan tertentu dan akhirnya menemukan suatu kemungkinan yang pasti akan membawa kepada jawaban yang benar. Dari sini ada pengenalan probabilitas, ada eliminasi probabilitas, ada konklusi yang menunjukkan jalan yang pasti akan menuju kepada suatu jawaban yang benar.
Melalui matematika dapat ditanamkan sikap kejujuran. Siswa diajarkan untuk tidak salah melakukan operasi hitungnya, jangan sampai terjadi manipulasi data yang saat ini sangat marak dan telah menjadi tren di negara kita dengan mark up dan korupsinya. Guru matematika dapat menyentuh pikiran dan sekaligus hati siswa tentang bahaya korupsi yang menjadi salah satu sebab keterpurukan bangsa ini. Guru matematika bisa membuat contoh-contoh melalui penilaian afektif atau sikap, baik sikap siswa dalam menghadapi dan mengikuti pelajaran yang bersangkutan maupun sikap siswa dalam menyerap nilai-nilai yang ditanamkan pada materi pelajaran tersebut.
Langkah pengintegrasian nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran pada setiap mata pelajaran termasuk pelajaran eksakta seperti matematika, kimia, fisika dan biologi serta mata pelajaran yang lain dilakukan antara lain: dengan mencantumkan nilai-nilai karakter tersebut dalam Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP). Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam Silabus ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Mengkaji Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam KI dan KD di atas sudah tercakup di dalamnya
b. Memperlihatkan keterkaitan antara KI/KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan
c. Mencantumkankan nilai-nilai dan karakter ke dalam silabus
d. Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP
e. Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif yang memung-kinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai
f. Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
(3) Pengintegrasi Nilai-nilai dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler
Kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna (meaningful learning) jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai, yang yang dikemas secara menarik sekaligus memberi manfaat bagi siswa. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengatasi kecenderungan para saat ini menunjukkan keengganan untuk terlibat dalam kegiatan kesiswaan. Masih banyak siswa yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Barang kali keengganan ini terjadi dikarenakan kebanyakan kegiatan siswa yang tidak mendukung peningkatan personal growth and personal development. Sebuah kegiatan yang sebenarnya positif seperti seminar ilmiah, namun karena umumnya lebih menempatkan siswa sibuk di luar ruangan dengan menjadi panitia logistik ataupun penerima tamu maka keterlibatan mereka dalam kepanitiaan seminar ilmiah kurang memberikan pembelajaran yang bermakna. Untuk itu perlu penyederhanaan dalam pekerjaan teknis sebuah kepanitiaan dan dibutuhkan pendampingan oleh guru yang membimbing kegiatan kesiswaan.
Agar kegiatan kesiswaan pada masa-masa mendatang lebih bermakna bagi pembelajaran karakter anak didik dibutuhkan kegiatan kesiswaan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan perlu didampingi oleh coach atau mentornya yang membimbing kemana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus berada di tempat pada setiap waktu. Program kesiswaan perlu disajikan dengan menarik, mengikutsertakan teknik-teknik simulasi, role play dan diskusi.
Sejauh ini sudah ada kegiatan Unit Kegiatan Siswa yang diselenggarakan oleh berbagai sekolah dengan bermuatan pengembangan pedidikan karakter bagi siswa. Hal ini akan efektif bagi pengembangan karakter siswa jika ditangani lebih terarah untuk mengembangkan sikap-sikap positif yang akan memperkuat kepribadiannya. Kegiatan karate misalnya, apabila dihayati dan benar-benar ditujukan untuk pengembangan pedidikan karakter siswa, dapat diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat, mandiri, dan ketangguhan. Tentu saja untuk mengarah ke sini dibutuhkan kegiatan karate yang terprogram dengan baik, ada durasi, capaian dan keberlanjutan. Jika karate ditargetkan untuk mewujudkan proses transformasi keyakinan, motivasi, karakter, impian, maka kegiatan karate harus dilakukan tidak hanya berhenti pada pelatihan, namun harus didampingi coaching oleh para coach yang tangguh, sampai akhirnya dalam durasi tertentu akan terjadi transformasi diri yang seutuhnya. Berkaitan dengan penciptaan karakter, Stepen R. Covey mengatakan: “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib.[42]
(4) Pembiasaan
Sekolah harus menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Dengan demikian, seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh siswa adalah bermuatan pendidikan karakter. Penciptaan miliu sangat penting agar berpengaruh positif dalam mendidik karakter anak. Penciptaan lingkungan disekolah dapat dilakukan melalui : 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan. Pemberian tugas kepada siswa perlu disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan. Sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di sekolah ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasal.
Kegiatan kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, Andalan Koordinator Urusan Keuangan, Andalan Koordinator Urusan Latihan, Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan, Andalan Koordinator Urusan Perlengkapan, Andalan Koordinator Urusan Kedai Pramuka, dan Pembina gugusdepan. Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government.
Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap klub olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok.
Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis ini dilakukan oleh para santri senior dan guru, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua siswa, terutama siswa senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan; pendekatan program, pendekatan manusiawi (personal) dan pendekatan idealisme. Mereka juga dibina, dibimbing, didukung, diarahkan, dikawal, dievaluasi dan ditingkatkan. Demikianlah pendidikan karakter yang diterapkan d sekolah melalui berbagai macam kegiatannya. Kegiatan yang padat dan banyak akan menumbuhkan dinamika, dinamika yang tinggi akan membentuk militansi dan militansi yang kuat akan menimbulkan etos kerja dan produktivitas. Pada akhirnya anak didik akan mempunyai kepribadian yang dinamis, aktif, dan produktif dalam segala kebaikan.
Kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka pendidikan karakter.Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh sekolah dari masyarakat dan sebaliknya yang bisa diperoleh oleh masyarakat dari hadirnya sekolah itu. Antara sekolah dan masarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa terlibat dalam proses belajar d sekolah yaitu: orangtua, masyarakat. Peran Orang tua. Agar model pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, kita membutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi partner yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orangtua adalah guru di rumah, karenanya mereka harus menganut visi yang sama dengan sekolah demikian pula dengan tujuan sekolah. Orangtua mesti setuju dengan tujuan sekolah untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah seyogyanya memberikan pelatihan mengenai human values parenting atau menjadi orang tua yang baik kepada semua ayah, ibu atau yang mengantar anak-anak ke sekolah. Ketika siswa berada d rumah, orang tua perlu meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memebrikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan guru perlu mengadakan pertemuan reguer untuk mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi siswa dan mesti membuat trencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah dan membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para siswa dan guru.
Komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus menerus tumbuh dan berkembang. Semua elemen di sekolah perlu tertanam kesadaran selalu dan sedang dalam proses belajar karena selalu ada interaksi antara setiap orang di sekolah dan komunitas. Guru dan siswa selalu berhubungan dengan orangtua dan kerabat mereka di masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan orang ta dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan sekolah. Setiap orang di sekolah termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh temapt-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dan lain-lain. Sebagai bagian dari pembelajaran, siswa harus blajar melayani komunitas atau masyarakat dalam pegembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di tempat-tempat ibadah. Sekolah mesti membantu komunitas untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar atau learning communities, sekolah akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini.
[1] Menurut Kepala BKKBN, Sugiri Syarif, data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010, menunjukkan 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra-nikah. Artinya dari 100 remaja, 51 sudah tidak perawan. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Dari kasus perzinaan yang dilakukan para remaja putri tersebut, yang paling dahsyat terjadi di Yogyakarta. Pihaknya menemukan dari hasil penelitian di Yogya kurun waktu 2010 setidaknya tercatat sebanyak 37 persen dari 1.160 mahasiswi di kota Gudeg tersebut menerima gelar MBA (marriage by accident) alias menikah akibat hamil maupun kehamilan di luar nikah. Didit Tri Kertapati, “Kepala BKKBN: 51 dari 100 Remaja di Jabodetabek Sudah Tak Perawan” dalam detiknews.com, dipublikasikasikan pada Minggu, 28/11/2010, http://www.detiknews.com/read/2010/11/28/094930/ 150 4117/10/kepala-bkkbn-51-dari-100-remaja-di-jabodetabek-sudah-tak-perawan
[2] Kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko dikeroyok), dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos media massa. Baca Dimyati, “Peran Guru Sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral Melalui Pendidikan Jasmani”, dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 84.
[3] Menurut tinjauan ESQ, tujuh krisis moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, krisis keadilan. Baca Darmiyati Zuhdi, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: UNY Press, 2009), hal. 39-40.
[6] Sobirin, “Refleksi Hari Pendidikan Nasional”, Opini dalam Harian Waspada, 3 Mei 2010
[8] Melly Latifah, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak”, dalam Strawberrysekolah bakatprestasi.wordpress.com, dipublikasikan 17 Oktober 2010, http://strawberrysekolahbakatprestasi. wordpress.com/2010/10/17/peranan-keluarga-dalam-pendidikan-karakter-anak/
[9] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 14-15.
[10] Anita Yus, “Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek”, dalam dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 91.
[11] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa…., hal. 14. .
[14] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM, 2006), hal. 8
[15] Tadkiroatun Musfiroh, ”Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 29.
[16] Almusanna, “Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 247.
[17] Fasli Jalal, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa: Tiga Stream Pendekatan (Jakarta: Kemendiknas, 2010).
[18] Wahid Munawar, “Pengembangan Model Pendidikan Afeksi Berorientasi Konsiderasi untuk Membangun Karakter Siswa yang Humanis di Sekolah Menengah Kejuruan”, Makalah dalam Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI (Bandung: UPI, 8-10 November 2010), hal. 339.
[19] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 17.
[20] Cici Murniasih dan Suhartono, ”Pembelajaran Terpadu pada Pendidikan Usia Dini”, dalam puslitjaknov.org, Makalah disajikan dalam Simposium Pendidikan Dekdiknas 2008, http://puslit jak nov.org/data/file/2008/makalah_peserta/33_Cici%20Murniasih_paper%20pembelajaran%20terpadu%20untuk%20anak%20miskin.pdf
[21] Hesty, “Implementasi Model Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Kemampuan Dasar Siswa Sekolah Dasar”, Makalah (Bangka Belitung: Lembaga Penjaminan Mutu, 2008), hal. 7.
[22] Cici Murniasih dan Suhartono, ”Pembelajaran Terpadu pada Pendidikan Usia Dini”, dalam puslitjaknov.org, Makalah disajikan dalam Simposium Pendidikan Dekdiknas 2008, http://puslit jak nov.org/data/file/2008/makalah_peserta/33_Cici%20Murniasih_paper%20pembelajaran%20terpadu%20untuk%20anak%20miskin.pdf
[23] Triatmanto “Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter….., hal. 192.
[24] Nurchaili, “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balitbang Kemendiknas, Vol. 16, Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 237-238.
[25] Azka, “Tugas Maba: Pendidikan Karakter….Op.cit.
[26] Said Hamid Hasan dkk, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter…., hal. 15-21, dan Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter…., hal. 11.
[27] Sesungguhnya sejak awal kemerdekaan sudah ada good-will dari pemerintah untuk memberikan pendidikan moral bagi peserta didik. Pada awal kemerdekaan, ada mata pelajaran Civics (sekitar 1957-1958), kemudian berganti nama menjadi Kewarganegaraan (sekitar tahun 1962). Pada awal Orde Baru mata pelajaran Kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pada tahun 1975 dalam kurikulum yang dikenal kurikulum 1974 mata pelajaran PKn berganti nama dengan Pendidikan Moral Pancasila. Nama ini merujuk kepada Tap MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN. Kemudian sejak ada Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), materi P-4 masuk kedalam mata pelajaran PMP. Sejak tahun 1989 dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional muncul kurikulum baru yang mewajibkan setiap jenjang dan jenis pendidikan wajib ada matapelajaran Pancasila, Kewarganegaraan, dan agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060 dan 061/U/1993 tanggal 25 Februari 1993, di sekolah dasar dan menengah wajib ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian dengan munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 mata pelajaran Pendidikan Pancasila hilang dari kurikulum pendidikan nasional, yang ada tinggal Pendidikan Kewarganegaraan. Baca Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 349.
[28] Iskandar Agung dan Rumtini, “Civil Society dan Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balitbang Kemendiknas, Vol. 16, Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 276.
[29] Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 350.
[30] Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 351.
[31] Dimyati, “Peran Guru Sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter ….., hal. 88.
[33] Siti Irene Astuti D, ”Pendekatan Holistik dan Kontekstual ……, hal. 49.
[34] Enok Maryani, ”Pengembangan Program Pembelajaran Ips Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial”, Makalah dalam Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI (Bandung: 8-10 November 2010), hal. 872.
[35] Sardiman A.M, “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS…., hal. 151.
[37] Sofyan Sauri, “Revitalisasi Pendidikan Sains dalam Pembentukan Karakter…., hal. 12.
[40] Nurchaili, “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan…., hal. 238.
[41] Sudjadi, B. & Laila, S, Biologi: Sains dalam Kehidupan (Surabaya: Yudhistira, 2004), hal. 60.
[42] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi….., hal. 19.