Quantcast
Channel: Karya Tulis – ISPI | Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Pusat
Viewing all 45 articles
Browse latest View live

Pelantikan Pengurus ISPI Kepri dan Seminar Pendidikan Bertajuk ”Menjadi Pendidik Profesional”

$
0
0

Oleh : Fitri Yanti, S.Pd., M.Pd., M.Si.
Sekretaris Umum ISPI Kepri dan Dekan FKIP Unrika, Batam

Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan secara profesional, lebih terarah, berhasil guna dan berdaya guna, melalui pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan maka para Sarjana Pendidikan yang ada di Kepulauan Riau terpanggil dan bertanggung jawab untuk lebih banyak memberikan sumbangan tenaga dan pikirannya dengan pembentukan ISPI Daerah Kepulauan Riau. Pembentukan ini diselenggarakan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNRIKA BATAM sekaligus diisi dengan seminar pendidikan dengan tema “Menjadi Pendidik Professional” yang diadakan Sabtu di aula Universitas Riau Kepulauan.

Pembentukan pengurus ISPI KEPRI berdasarkan mandat yang diberikan pengurus pusat Prof.Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd kepada ibu Fitri Yanti, S.Pd, M.Pd, M.Si sekaligus dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unrika Batam, bapak Drs.Hardi S. Hood, M.Si dan bapak Drs. Zarefrialdi, M.Pd. Proses pelantikan dihadiri oleh Wakil Gubernur Kepri, Wakil Komisi X bidang pendidikan, Asman Abnur, SE, M.Si, Kepala Dinas Pendidikan Kepri yang diwakili bapak Drs. Admadinata, M.Pd, Walikota Batam yang diwakili Sekretaris Dinas Pendidikan, Drs. Yahya, Rektor Unrika beserta wakil rektor dan para dekan di lingkungan Unrika.

Adapun kepengurusan dan keanggotaan ISPI Kepri terdiri dari sarjana pendidikan yang berprofesi dosen, guru, tenaga kependidikan, birokrat dan swasta yang bersedia menyumbangkan pikiran untuk membangun pendidikan di Kepri. Ketua PD ISPI Kepri terpilih yaitu Drs.Hardi S.Hood, M.Si,  sekretaris umum ibu Fitri Yanti, S.Pd, M.Si. dan bendahara umum bapak Drs. Syahir.

Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd selaku Ketua Umum PP ISPI menyerahkan panji organisasi kepada Ketua PD ISPI Kepri terpilih, Drs. Hardi S. Hood, M.Si yang juga Anggota DPD RI dari Kepri di aula Universitas Riau Kepulauan.

Sesuai AD/ADRT ISPI maka diantara tugas yang akan dijalankan pengurus dan anggota adalah menyelenggarakan pertemuan ilmiah dan penelitian mengenai ilmu, seni, budaya dan teknologi pendidikan, mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta serta lembaga organisasi profesi lainnya, menerbitkan media komunikasi ilmu, seni, budaya dan teknologi pendidikan.Melindungi kepentingan profesional para anggota dan mengembangkan profesi kependidikan, melindungi kepentingan masyarakat dari praktek pendidikan yang merugikan, membangun kerjasama dengan berbagai komunitas profesi pendidikan dan profesi lain baik yang besifat nasional maupun internasional

Selesai pelantikan diteruskan dengan seminar pendidikan dengan pembicara langsung Ketua Umum PP ISPI sekaligus Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd dan Prof, Dr. Ahman, M.Pd dengan jumlah peserta sebanyak 750 orang mulai dari kepala sekolah, para guru dari SMA, SMP/ sederajat, SD, TK dan PAUD se-Kepri. Acara berlansung dengan alot dan meriah serta ucapan selamat dan penghargaan dari wagub atas sumbangsih dari pendidik di Kepri.


Kepemimpinan Entrepreneur Kepala Sekolah

$
0
0

Oleh : Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd
Anggota ISPI Kabupaten Kuningan, Pengawas Dindikpora Kuningan, Dosen pascasarjana Uniku. Lulusan terbaik Program Doktor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI Bandung) tahun 2008. Penulis Buku, Peneliti dan Trainer dalam Pengembangan SDM Pendidikan, juga seorang Konsultan Penelitian dan Pembangunan Pendidikan.

Kepemimpinan merupakan factor kunci dari suatu organisasi dan manajemen, kepemimpinan dalam berbagai lembaga akan menentukan perkembangan organisasi serta bagaimana proses manajemen dalam organisasi berjalan dalam mencapai tujuannya. Kapabilitas organisasi dan mutu manajemen menjadi ukuran penting bagi keberhasilan pemimpin dalam melaksanakan peran kepemimpinannya, sehingga  karakter dan kompetensi pemimpin akan menjadi dasar penting dalam membawa suatu organisasi semakin maju atau justru semakin mundur dalam melaksanakan peran organisasinya di masyarakat.

Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan dalam organisasi sekolah, mempunyai posisi yang penting, meskipun bukan satu satunya, bagi kemajuan sekolah, sehingga peningkatan kompetensi berkelanjutan bagi kepala sekolah menjadi suatu keharusan mengingat berbagai tantangan yang dihadapi baik dari lingkungan internal dan terutama lingkungan eksternal yang terus berubah dengan cepat yang mendorong makin kuatnya ketidak pastian (uncertainty) masa depan. Dalam kondisi yang demikian diperlukan kepemimpinan pendidikan yang tidak hanya mampu menjaga jalannya pendidikan di sekolah, namun juga kemampuan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi melalui berbagai inovasi yang dapat menjadikan perubahan sebagai arena pergumulan kreatif dalam terus memberikan kontribusi bagi peningkata mutu pendidikan melalui pendidikan di sekolah.

Dengan mengingat hal tersebut, diperlukan kepemimpinan yang mengedepankan kreativitas dan inovasi dalam menggerakan dan mengarahkan organisasi sekolah menuju tingkat optimal dalam mencapai mutu pendidikan yang handal dan kompetitif bagi kemajuan masyarakat dan bangsa, untuk itu kepemimpinan entrepreneur (Entrepreneurial Leadership) dapat menjadi salah satu model kepemimpinan yang dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat dewasa ini yang berubah cepat, luas dan banyak.

  • A.    Konsep Entrepreneurship dan Entrepreneur

Entrepreneurship biasa diartikan sebagai kewirausahaan,  menurut Kuratko & Hodgetts (2004) entrepreneurship merupakan proses dinamis dari visi, perubahan dan kreasi yang tertuju pada penciptaan dan pelaksanaan ide-ide baru serta solusi kreatif (Entrepreneurship is a dynamic process of vision, change, and creation. It requires an application of energy and passion towards the creation and implementation of new ideas and creative solutions).

Kewirausahaan berkaitan dengan bagai mana suatu proses terjadi dalam terwujudnya suatu inovasi dalam konteks kehidupan social masyarakat, bahkan Schumpeter ekonom  terkenal abad dua puluh yang mempopulerkan istilah entrepreneur dan peranannya dalam pembangunan ekonomi, mengemukakan teori pembangunan ekonomi berbasis entrepreneurship, dia menyatakan dalam bukunya, The Theory of Economic Development (1934) (Ulrich Witt, 2001)

“entrepreneurship is at the core of carrying out new combinations of resources, i.e. innovations. He had argued that entrepreneurial innovativeness gives rise to an incessant competitive restructuring of the economy and to economic growth, where — in a somewhat elitist interpretation — the mainspring of endogenous economic change is to be found in the exceptional personality and the achievement motivation of entrepreneurs” (Ulrich Witt, 2001, www.druid.dk)

Kewirausahaan merupakan inti dari implementasi kombinasi sumberdaya yaitu inovasi, mencari dan menerapkan berbagai hal baru atau kombinasi baru merupakan kekuatan yang mampu meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat, dan bila kemampuan tersebut dimiliki oleh seseorang maka disebutlah wirausaha atau entrepreneur. Lebih jauh apa yang dimaksud dengan entrepreneur ? secara sederhana dapat dimaknai sebagai orang yang melakasanakan kewirausahaan dalam melakukan berbagai kegiatannya khususnya yang bernilai ekonomi yang dapat meningkatkan pembangunan. Kuratko dan Hodgetts (2004:832) mendefinisikan entrepreneur sebagai berikut :

“Entrepreneur. An innovator or developer who recognize and seizes opportunities; converts these opportunities into workable/marketable ideas; adds values through time, effort, money, or skill; assumes the risks of the competitive marketplace to implement these ideas; and realizes the reward from these efforts”

Entrepreneur adalah seorang innovator dan pembangun yang mampu memanfaatkan peluang serta menjadikannya sebagai hal yang produktif. Dengan demikian nampak bahwa seorang entrepreneur adalah orang yang mengorganisir, mengelola dan menanggung suatu resiko bisnis. Seorang entrepreneur  selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan berbagai cara yang baru/inovasi, karena dia seorang inovator, memanfaatkan berbagai peluang untuk mendapat laba, sehingga terjadi perubahan baik dalam barang dan jasa yang dihasilkan maupun dalam perluasan pangsa pasar. Seorang entrepreneur adalah orang yang dapat merubah  peluang menjadi suatu ide yang dapat dilaksanakan dan dapat memberi nilai tambah

“Entrepreneurs use innovation to exploit or create change and opportunity for the purpose of making profit. They do this by shifting economic resources from an area of lower productivity into an area of higher productivity and greater yield, accepting a high degree of risk and uncertainty in doing so”.(www.palgrave.com)

Penggunaan inovasi dalam mendorong perubahan dimaksudkan untuk mendapat keuntungan, hal ini dilakukan dengan mengelola sumberdaya agar dapat memberikan produktivitas yang optimum, dan karena penggunaan hal baru (inovasi) tersebut mempunyai unsur probabilitas dan ketidak pastian, maka seorang entrepreneur harus siap menerima resiko yang akan terjadi akibat kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian nampak bahwa inovasi dengan berbagai manifestasi perwujudannya, merupakan hal yang menjadi fungsi utama dari seorang entrepreneur sebagaimana dikemukakan Kuratko dan Hodgetts (2004:138) bahwa “Innovation is the key function in the entrepreneurial process”, dan  “Entrepreneurship is often considered to be a process of innovation (NCE,2001), hal ini sejalan dengan Drucker (1985) dalam Kuratko dan Hodgetts (2004:138)  yang menyatakan “Innovation is the specific function of entrepreneurship…. It is the means by which the entrepreneur either creates new wealth-producing resources or endows existing resources with enhanced potential for creating wealth”. Entrepreneur menjadi faktor yang dapat mendorong dalam meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Seorang entrepreneur dapat mendorong pada pertumbuhan ekonomi melalui inovasi baik dalam produk atau jasa yang dihasilkan, maupun dalam penentuan alokasi sumberdaya yang lebih produktif.

Secara historis, peran entrepreneur dalam kehidupan ekonomi telah lama menjadi perhatian para ekonom, ini menunjukan bahwa konsep entrepreneur sangat terkait erat dengan kehidupan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Memang dalam perkembangannya,  sampai tahun 1950-an,  kebanyakan definisi dan referensi kewirausahaan datang dari para ekonom  (Kuratko&Hodget, 2004:29). Peran entrepreneur yang sangat menonjol dalam kehidupan dan pembangunan ekonomi dengan inovasi dan motivasi berprestasinya telah menumbuhkan kesadaran bahwa sifat entrepreneur sangat dibutuhkan tidak hanya dalam konteks pembangunan ekonomi namun juga dalam bidang kehidupan lainnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya istilah entrepreneur tidak hanya berkaitan dengan ekonomi dan bisnis namun juga dengan bidang kehidupan lain  termasuk organisasi nirlaba, yang memerlukan karakteristik entrepreneur. Vipin Gupta, et.al  (2004) memandang bahwa

“Thinking like an entrepreneur no longer just refers to people assuming risks in order to implement a new business plan. The mindset is now a strategy of renewal within existing organizations”. (Berfikir seperti entrepreneur tidak lagi hanya berkaitan dengan menanggung resiko dalam melaksanakan rencana bisnis baru, namun merukan suatu strategi pembaruan dalam organisasi yang ada)

Dalam hubungan ini, apa yang dilakukan Osborne dan Gaebler (1992) merupakan salah satu upaya menerapkan jiwa entrepreneur dalam bidang di luar ekonomi/pembangunan ekonomi yakni sector publik (birokrasi pemerintahan).  Menurut Osborne dan Gaebler (1992) dalam upaya mentransformasikan sector public (birokrasi pemerintah), jiwa wirausaha dapat diterapkan melalui sepuluh prinsip yaitu :

  1. Pemerintahan katalis. Mengarahkan ketimbang mengayuh
  2. Pemerintahan milik masyarakat. Memberi wewenang ketimbang melayani
  3. Pemerintahan yang kompetitif. Menyuntikan persaingan ke dalam pemberian pelayanan
  4. Pemerintahan yang digerakan oleh misi. Mengubah organisasi yang digerakan oleh aturan.
  5. Pemerintahan yang berorientasi hasil. Membiayai hasil bukan masukan
  6. Pemerintahan berorientasi pelanggan. Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
  7. Pemerintahan wirausaha. Menghasilkan ketimbang membelanjakan
  8. Pemerintahan antisipatif. Mencegah daripada mengobati
  9. Pemerintahan desntralisasi
  10. Pemerintahan berorientasi pasar. Mendongkrak perubahan melalui pasar.

Prinsip-prinsip tersebut di atas meskipun didasarkan pada kondisi Amerika, namun telah dijadikan paradigma baru dalam pemerintahan oleh berbagai negara baik secara keseluruhan maupun hanya beberapa prinsip yang dipandang sesuai. Meskipun prinsip-prinsip tersebut juga mengacu pada dunia bisnis, dan pemerintahan jelas berbeda dengan bisnis, namun Osborne dan Gaebler yang juga mengakui adanya  perbedaan ini menyatakan bahwa ”tentu banyak kemiripan. Sebenarnya kami yakin bahwa 10 prinsip kami itu mendasari keberhasilan setiap lembaga di dunia saat ini – pemerintah, swasta, atau nirlaba” (Osborne&Gaebler, terj. 1999:24).

Dalam bidang kepemimpinan pun karakteristik entrepreneur mendapat perhatian, apalagi bila dilihat bahwa dalam konteks ekonomi pun entrepreneur/ entrepreneurship berkaitan dengan individu yang menonjol yang dapat merubah dan menggerakan dari situasi yang ada ke situasi yang lebih produktif, hal ini juga diungkapkan oleh Schumpeter (dalam Kurtako&Hodgetts, 2004: 29) entrepreneurship….consists in doing things that are not generally done in the ordinary course of business routine; it is essentially a phenomenon that come under the wider aspect of leadership. Kewirausahaan berkaitan dengan melakukan sesuatu yang umumnya tidak dilakukan dalam kondisi bisnis biasa, kewirausahaan secara esensial merupakan gejala yang muncul dalam aspek kepemimpinan yang lebih luas.

Jennifer James  dalam bukunya Thinking in the Future Tense (1998) berpendapat bahwa entrepreneurship merupakan faktor penting dalam menghadapi perubahan yang cepat. Hal ini dikarenakan karakteristik yang dimiliki oleh seorang entrepreneur yaitu :

  • Bakat menemukan hal menarik dan berharga yang tidak dilihat oleh orang lain
  • Fleksibilitas
  • Kecerdasan dan keterampilan
  • Pemilihan relung
  • Kecepatan langkah dan agenda ganda
  • Saluran-saluran baru
  • Pemikiran hipotetis
  • Pemikiran atau aplikasi komparatif
  • Pemikiran radikal

Karakteristik tersebut menggambarkan bagaimana seorang wirausaha atau entrepreneur bertindak dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapinya, dan hal inipun jelas akan berpengaruh pada kepemimpinannya dalam suatu organisasi termasuk sekolah sebagai organisasi/lembaga pendidikan

 

  1. B.     Konsep Kepemimpinan Entrepreneur (Entrepreneurial Leadership)

Kepemimpinan entrepreneur merupakan kepemimpinan yang menerapkan jiwa kewirausahaan dalam  menjalankan peran kepemimpinannya. Penerapan prinsip entrepreneur dalam mempengaruhi anggota organisasi akan memberi dampak pada kinerja mereka sejalan dengan prinsip dan nilai seorang entrepreneur. Mintzberg (1973) telah memasukan entrepreneur sebagai salah satu unsur decisional role, dimana manager mencari peluang untuk kemudian berinisiatif terhadap sesuatu untuk melaksanakan perubahan. Ini bermakna bahwa  salah satu sikap kunci dari entrepreneur yaitu inovatif akan diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang manajemen dan kepemimpinan, apalagi jika mengingat bahwa  dewasa ini tingkat perubahan yang terjadi sangat cepat dalam berbagai bidang kehidupan.

Sementara itu, kaitan kepemimpinan entrepreneur dengan bidang di luar bisnis, Patricia W Ingraham & Heather G Taylor (2004) menyatakan sebagai berikut :

Entrepreneurial leadership models are also beginning to mark the public sector. Numerous scholars have noted that there is increasing evidence of innovative or entrepreneurial leadership behavior by employees located at all levels of public organizations—and this phenomenon has been linked to enhanced public sector effectiveness.

Kutipan di atas menunjukan bahwa model kepemimpinan entrepreneur dengan berbagai karakteristiknya telah banyak dipergunakan pada berbagai organisasi public, dan ini dimaksudkan untuk meningkatkan keefektifan sector public. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan kepemimpinan entrepreneur agar dapat diperoleh suatu perspektif  entrepreneur dalam konteks kepemimpinan, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan entrepreneur yang dikemukakan para pakar :

Entrepreneurial Leadership.. as the entrepreneur’s ability to anticipate, envision, maintain flexibility, think strategically, and work with others to changes that will create a viable future for the organization    (Hitts, Ireland, dan Hoskisson 2001 dalam Kurtako & Hodgetts, 2004:570)

Entrepreneurial Leadership … as a way for entrepreneur to anticipate, envision, maintain flexibility, think strategically, and work with others to initiate changes that will create a viable future for the growth-oriented venture (Kurtako & Hodgetts,2004:570)

Entrepreneurial leadership is given a new, integrative definition as, leadership that creates visionary scenarios that are used to assemble and mobilize a ‘supporting cast’ of participants who become committed by the vision to the discovery and exploitation of strategic value creation.( Gupta,  MacMillan and Surie, 2004)

Dari beberapa pengertian di atas, nampak bahwa kepemimpinan entrepreneur merupakan kepemimpinan/pemimpin yang mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi berbagai perubahan dengan visi masa depan yang jelas serta berupaya mendorong suatu kerjasama dalam melakukan perubahan melalui fleksibilitas menjalankan perannya dalam mengelola organisasi.

Dalam menjalankan tugas dan perannya, Pemimpin entrepreneur berusaha menggunakan pengaruhnya untuk menjadikan kegiatan organisasi mempunyai posisi yang berbeda melalui berbagai kebijakan yang dapat merubah organisasi meskipun hal itu akan berbeda dengan yang lain, dan ini dilakukan dengan suatu keyakinan dan optimisme.  Menurut Doig & Hargrove, (1990) dalam Patricia W Ingraham & Heather G Taylor (2004)

“Entrepreneurial leaders have a strong motivation to “make a difference” and work to do so with determination and optimism. These individuals look for opportunities to forge their own direction, despite strong central organizational control”.

Semua itu terjadi karena pemimpin entrepreneur selalu mencari peluang dalam menjalankan organisasi kea rah kondisi yang makin meningkat, untuk itu peran pemimpin entrepreneur memerlukan suatu keberanian untuk berubah. pemimpin entrepreneur membangun tujuan/visi yang dapat mendorong bawahan berupaya bekerja ke tingkat kinerja yang tinggi serta menentukan strategi-strategi yang inovatif dalam mencapai hal tersebut. Untuk melaksanakan peran tersebut, maka Pemimpin entrepreneur perlu memiliki tiga karakter kunci yaitu : (1) being inclined to take more business-related risks; (2) favoring change and innovation to obtain competitive advantage; and (3) competing aggressively with other firms. (Vipin Gupta, et.al. 2004). Lebih jauh Vipin Gupta, et.al. (2004) mengusulkan lima syarat agar kepemimpinan entrepreneur dapat efektif yaitu :

  • extract exceptional commitment and effort from organizational stakeholders,
  • convince them that they can accomplish goals,
  • articulate a compelling organizational vision,
  • promise their efforts will lead to extraordinary outcomes, and
  • persevere in the face of environmental change

sementara itu Vadim Kotelnikov (2005), yang mendefinisikan kepemimpinan entrepreneur sebagai kepemimpinan berdasarkan sikap kerja mandiri (self-employed) memerinci ciri-cirinya sebagai berikut :

Mengambil inisiatif, menunjukan kreativitas kewirausahaan, keberanian mengambil resiko, serta bertanggung jawab atas kegagalan dan mengambil pelajaan darinya menjadi hal yang menggambarkan kepemimpinan entrepreneur, dan   semua itu melibatkan penguatan kepercayaan dalam berfikir dan bertindak dalam merealisasikan tujuan organisasi bagi kemanfaatan pemangku kepentingan (Vadim Kotelnikov, 2005). Sementara itu Dave Lavinsky, (2005) berpendapat bahwa kepemimpinan entrepreneur memiliki karakteristik sebagai berikut :

  • Build trust and confidence among employees
  • Communicate effectively with them
  • Seeking self-improvement: A great leader always seeks to become even better.
  • Possessing technical skills: While the leader may not need to have the greatest technical skills in their organizations, they need to be savvy enough to lead the team.
  • Accepting responsibility for actions: Leaders and companies always make mistakes. Great leaders don’t place blame on others.
  • Making decisions: Good leaders must make good and timely decisions.
  • Being a role model: A leader must set an example to employees and guide them to excel.

Menurut Ireland dan Hitt 1999, dalam Kuratko dan Hodgetts (2004:570) komponen-komponen kepemimpinan entrepreneur adalah :

  • determining the firm’s purpose or vision
  • exploiting and maintaining the core competencies
  • developing human capital
  • sustaining an effective organizational culture
  • emphasizing ethical practices
  • establishing balanced organizational control

kepemimpinan entrepreneur menggambarkan kepemimpinan yang mempunyai visi yang dengan visi tersebut mengelola dan mempertahankan kompetensi serta mengembangkan kualitas SDM. Disamping itu pepemimpinan entrepreneur juga mempertahankan dan membangun budaya organisasi yang efektif secara inovatif, etis dan melakukan pengawasan organisasi secara seimbang

 

C.    Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pendidikan

Kepala Sekolah adalah pemimpinan yang yang menjalankan perannya dalam memimpin sekolah sebagai lembaga pendidikan, Kepala Sekolah berperan sebagai pemimpin pendidikan. Secara umum kepemimpinan pendidikan dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang diterapkan dalam bidang pendidikan, pengertian dari kepemimpinan itu sendiri pada dasarnya mempunyai sifat yang umum dan hal itu juga dapat berlaku dalam bidang pendidikan. Secara lebih khusus bila diterapkan pada organisasi pendidikan seperti sekolah, maka kepemimpinan pendidikan dalam tataran organisasi sekolah akan berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah (school leader/principal), hal ini disebabkan kepala sekolah merupakan orang yang punya otoritas dalam mengelola sekolah guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (meskipun dalam perkembangannya posisi guru juga dapat dipandang sebagai pemimpin pendidikan dalam level di bawah kepala sekolah).

Namun demikian kepala sekolah sebagai manajer sekolah tidak serta merta dapat memerankan sebagai pemimpin pendidikan, hal ini berkaitan dengan perbedaan antara manajemen dengan kepemimpinan meskipun keduanya punya kaitan, menurut Law, Smith dan Sinclair (dalam C Turney, et.al 1992:46) kepemimpinan merupakan bagian penting dari manajemen. Lebih lanjut mereka mengemukakan posisi kepemimpinan dalam konteks sekolah sebagai berikut :

“leadership, in the context of school, help bring meaning and a sense of purpose to the relationship between the leader, the staff, the students, the parent and the wider school community. Leadership is not only a matter of what a leader does, but how a leader makes people fell abort themselves in the work situation and about the organization itself” (C Turney, et.al 1992:48),  (kepemimpinan dalam konteks sekolah adalah memberi makna dan kesatuan tujuan dalam hubungannya antara pemimpin, staf, siswa, orang tua serta masyarakat luas. Kepemimpinan tidak semata terkait dengan apa yang dilakukan seorang pemimpin, tapi juga terkait dengan bagaimana pemimpin membuat pegawainya merasa bersemangat dalam bekerja memajukan organisasi)

kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan factor penting yang dapat memberi makna dan kesatuan tujuan antara pemimpin, staf, siswa, orang tua siswa serta masyarakat secara keseluruhan. Kepemimpinan tidak hanya berbicara apa yang dilakukan pemimpin namun juga berkaitan dengan bagaimana pemimpin membuat orang/pegawai nyaman dan bersemangat dalam bekerja dan dalam organisasi itu sendiri. Sementara itu McCall (1994:19) mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan pendidikan (sekolah) sebagai berikut :

“Leadership: providing purpose and direction for individuals and groups; shaping school culture and values, facilitating the development of shared strategic vision for the school; formulating goals and planning change efforts with staff and setting priorities for one’s school in the context of community and district priorities and student and staff needs” (kepemimpinan: menentukan tujuan dan arah bagi individu dan kelompok, membangun nilai dan budaya sekolah, memfasilitasi pengembangan visi strategic bersama bagi sekolah, merumuskan tujuan dan merencanakan upaya perubahan dan menentukan prioritas bagi sekolah yang terkait dengan prioritas kebutuhan masyarakat serta kebutuhan staf dan siswa)

menyediakan tujuan dan arah bagi anggota organisasi dan kelompok, membentuk budayaa dan nilai, mengembangkan visi sekolah yang didukung bersama, serta merencanakan perubahan dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat yang terus berubah menjadikan pemimpin pendidikan memegang peran yang menentukan dalam mempertahankan dan mengambangkan sekolah dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian kepemimpinan pendidikan/pemimpin lembaga pendidikan perlu terus mengembangkan diri agar dapat berperan efektif dalam membawa organisasi sekolah kearah yang lebih baik dan berkualitas. Menurut Roland S Barth (1990:64) Kepala Sekolah merupakan kunci sekolah yang baik dan berkualitas, factor potensial penentu iklim sekolah, serta sebagai pendorong bagi pertumbuhan para Guru. Sementara itu berkaitan dengan pemimpin sekolah yang efektif U.S. Department of Education (2004:3) menyatakan bahwa kepala sekolah yang efektif memahami bahwa mereka berada dalam posisi untuk menggerakan orang lain melalui :

  • articulating and modeling core values that support a challenging and successful education for all; (mengartikulasikan dan memodelkan nilao-nilai inti yang mendukung pendidikan yang menantang dan sukses bagi semua)
  • establishing a persistent, public focus on learning at the school, classroom, community, and individual levels;(memapankan focus public secara konsisten atas pembelajaran pada tingkatan  sekolah, kelas, masyarakat dan individu)
  • working with others to set ambitious standards for learning; (bekerja dengan yang lain untuk menentukan standar pembelajaran yang tinggi)
  • demonstrating and inspiring shared responsibility and accountability for student outcomes”.(menunjukan dan memberi inspirasi tanggungjawab dan akuntabilitas bersama atau peran lulusan di masyarakat)

Kepala Sekolah tidak bisa hanya memerankan peran dan tugasnya dengan mengandalkan pada kekuasaan formal legal, dia harus dapat menjadi contoh model dari nilai utama yang mendukung keberhasilan sekolah. Untuk itu mengokohkan focus pada pembelajaran baik pada tataran internal maupun eksternal menjadi tuntutan yang harus diperhatikan. Kepala sekolah harus mampu bekerja sama dalam menentukan visi dan tujuan sekolah dan mengplementasikannya secara bersama dengan seluruh anggota organisasi dengan mengacu pada standar yang telah ditentukan, hal ini dimaksudkan agar tingkat ketercapaian suatu tujuan dapat diketahui dengan tepat sebagai bahan evaluasi kinerja organisasi sekolah secara bersama. Untuk itu kepala sekolah harus mampu melaksanakan perannya dengan baik agar dapat memberi inspirasi akan perlunya tanggungjawab dan akuntabilitas pelaksanaan tugasnya pada seluruh pemangku kepentingan pendidikan terutama berkaitan dengan kemampuan lulusan untuk berperan dalam kehidupan masyarakat.

Tuntutan sebagaimana dikemukakan di atas menunjukan betapa berat namun dominannya peran kepala sekolah dalam membangun pendidikan, terlebih lagi dalam era perubahan yang cepat dewasa ini. Dalam konteks perubahan tersebut dan kaitannya dengan kepemimpinan, Fullan (dalam Fullan, ed. 1997:97) berpendapat perlunya memperluas pengertian kepala sekolah sebagai agen perubahan. Menurut Peterson (dalam Fullan, ed. 1997:102) terdapat lima nilai yang diperlukan bagi kepemimpinan sekolah masa depan (di era perubahan yang sangat cepat) yaitu :

  • Openness to Participation. Our organization values employees actively participating in any discussion or decision affecting them (terbuka pada partisipasi.menilai tinggi keaktifan partisipasi bawahan/pegawai)
  • Openness to Diversity. Our organization values diversity in perspective leading to a deeper understanding of organizational reality and an enriched knowledge base for decision making (terbuka terhadap perbedaan. Mengapresiasi perbedaan dalam upaya pemahaman lebih mendalam untuk meningkatkan pengetahuan sebagai dasar pembuatan keputusan)
  • Openness to Conflict. Our organization values employees resolving conflict in a healthy way that leads to stronger solutions for complex issues (terbuka pada konflik. Mengapresiasi pegawai dalam memecahkan konflik dengan cara yang sehat guna mendorong solusi yang lebih kuat untuk isu-isu yang rumit)
  • Openness to Reflection. Our organization values employees reflecting on their own and other’s thinking in order to achieve better organizational decision (terbuka untuk berfikir reflektif.mengapresiasi pegawai melakukan refleksi atas apa yang dilakukan serta pada pemikiran orang lain guna mencapai keputusan organisasi yang lebih baik)
  • Openness to Mistakes. Our organization values employees acknowledging mistakes and learning from them (terbuka pada kesalahan. Mengapresiasi pegawai yang mengakui kesalahan dan dapat belajar dari kesalahan tersebut)

keerbukaan merupakan hal penting yang dapat mendorong pada perubahan, baik dalam penangan dengan masalah internal organisasi maupun dengan masalah-masalah eksternal berkaitan dengan respon terhadap berbagai perubahan yang sangat cepat. Peran kepemimpinan pendidikan dalam pengembangan organisasi sangat besar. Menurut  Wayne Morris (2006) peran kepala sekolah sangat besar dalam  menentukan kreativitas dan keberhasilan perubahan dan inovasi di sekolah

Teachers can do a lot to encourage creativity in their classes but it’s a job only half done without the support of the school leadership. School leaders have the ability to build an expectation of creativity into a school’s learning and teaching strategies. They can encourage, recognize and reward creativity in both pupils and teachers. School leaders have the ability to provide resources for creative endeavours; to involve teachers and pupils in creating stimulating environments; to tap the creativity of staff, parents and the local community and much more. They have the ability to make creativity art of the staff development programme; to include creativity in everyone’s performance reviews; to invite creative people into the school and most important of all, to lead by example (Wayne Morris, 2006) (guru dapat melakukan banyak hal untuk meningkatkan kreativitas dalam pembelajaran, tapi itu tidak akan matang/berhasil tanpa dukungan dari kepala sekolah. Kepala sekolah punya kemampuan membangun ekspektasi kreativitas ke dalam pembelajaran di sekolah serta strategi pembelajaran oleh guru. Mereka dapat mendorong, mengenali dan memberi imbalan atas kreativitas baik bagi guru maupun murid. Kepala sekolah punya kemampuan menyediakan sumberdaya untuk upaya-upaya kreatif, melibatkan guru dan murid dalam menciptakan stimulus lingkungan, membuka kreativitas staf, orang tua dan masyarakat. Mereka punya kemampuan menjadikan kreativitas menjadi seni dalam program pengembangan pegawai, menjadikan kreaivitas sebagai dasar penilaian kinerja, mengundang orang kreatif ke sekolah, dan yang lebih penting memimpin dengan memberi contoh dalam hal kreativitas)

Menurut Davis et.al (2005,) kepala sekolah yang sukses berpengaruh pada prestasi siswa melalui : (1) the support and development of effective teachers (dukungan dan pengembangan guru yang efektif), dan (2) the implementation of ef­fective organizational processes (pelaksanaan proses organisasi yang efektif).

Pengaruh kepala sekolah terhadap prestasi siswa meskipun bersifat tidak langsung jelas akan sangat signifikan bagi pengembangan organisasi sekolah, sebab SDM utama pendidikan yaitu guru akan dapat berkembang dan meningkat diiringi dengan proses organisasi yang makin efektif sehingga secara sistemik hal itu akan mendorong pada peningkatan mutu pendidikan yang berkesinambungan manakala proses organisasi dapat efektif dan mampu terus membelajarkan diri dalam kontek interaksi antara aspek idiografik/individu guru dengan Kepala sekolah dalam kontek perubahan organisasi.

Sejalan dengan pendapat tersebut Hammond (2007) menyatakan bahwa pengaruh kepala sekolah terjadi melalui :

“First, through the selection, support, and development of teachers and teaching processes, and  second, through processes that affect the organizational conditions of the school. Processes that affect organizational conditions operate at the school level, including building school community and developing school procedures and plans, as well as at the classroom level, through developing curriculum, instruction, and assessment”(pertama, melalui seleksi, dukungan, dan pengembangan guru serta proses pembelajaran, dan kedua melalui proses yang mempengaruhi kondisi organisasi sekolah. Proses-proses yang mempengaruhi kondisi organisasi beroperasi pada tingkat sekolah, termasuk membangun komunitas sekolah, mengembangkan prosedur dan rencana sekolah, juga pada tingkatan kelas melalui pengembangan kurikulum, pembelajaran, serta penilaian).

dengan demikian kepala sekolah perlu terus mengembangkan diri agar pelaksanaan peran dan tugasnya dapat mendorong organisasi sekolah kearah yang lebih efektif dan berkualitas sesuai dengan tuntutan masyarakat yang terus berkembang. Pengaruh kepala sekolah terhadap organisasi serta SDM pendidikan di sekolah jelas mengindikasikan betapa dominannya peran kepala sekolah bagi peningkatan mutu pendidikan bila peran tersebut benar-benar dilaksanakan secara efektif dan terencana, hal ini tidak berarti peran unsur lain tidak penting, namun hanya menunjukan bahwa peran sebesar apapun yang dimainkan fihak lain akan tidak atau kurang bermakna dan memberi dampak signifikan bagi pengembangan organisasi sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Menurut  Leithwood, Seashore-Louis, Anderson, and Wahlstrom (2004, dalam Hammond, 2007) terdapat tiga  praktek kepemimpinan  yang utama dalam konteks kepemimpinan di sekolah:

  • Developing people — Enabling teachers and other staff to do their jobs effec­tively, offering intellectual support and stimulation to improve the work, and providing models of practice and support. (membangun manusia. Memberdayakan guru dan staf untuk melakukan pekerjaannya secara efektif, memberikan dukungan intelektual dan dorongan untuk memperbaiki pekerjaan, serta menyediakan model-model pelaksanaan dan dukungan pekerjaan)
  • Setting directions for the organization — Developing shared goals, monitoring organizational performance, and promoting effective communication.(menentukan arah organisasi, me-ngembangkan tujuan bersama, memantau kinerja organisasi, serta mengembangkan komunikasi yang efektif)
  • Redesigning the organization — Creating a productive school culture, modify­ing organizational structures that undermine the work, and building collabora­tive processes. (merancang ulang organisasi, menciptakan budaya sekolahyang  produktif, mengembangkan struktur organisasi yang merintangi pekerjaan serta membangun proses kolaboratif)

Kepala sekolah baik sebagai manajer maupun leader di sekolah bekerja bersama orang lain, dan keberhasilannya juga dapat ditunjukan oleh bagaimana orang lain (guru dan staf) dapat berkembang serta meningkat kemampuan dan kompetensi mereka dalam menjalankan tugas profesinya, untuk itu pengembangan orang menjadi cirri utama dari keberhasilan kepala sekolah menggerakan organisasi sekolah serta mengisinya dengan SDM pendidikan yang makin bermutu. Semua itu dilakukan sudah barang tentu dengn mengacu pada tujuan serta arah yang telah dirumuskan serta disepakati bersama sehingga dapat terinternalisasi dengan kuat dalam setiap individu anggota organisasi, dengan arah itu kinerja organisasi dapat dipantau baik arahnya maupun gradasi pencapaiannya, dan hal itu hanya dapat dilakukan apabila komunikasi dalam organisasi dapat berjalan baik, untuk itu kepala sekolah perlu terus mengembangkan kemampuan komunikasinya secara efektif, sehingga kegiatan organisasi benar-benar menjadi konsern bersama dari seluruh anggota organisasi menuju pada makin meningkatnya mutu pendidikan.

sementara itu hasil penelitian tentang Kepala Sekolah di Inggeris tahun 2000 (Goleman, 2006. www.ASCD.org) menunjukan bahwa gaya personal pemimpin berpengaruh kuat pada iklim orgsnisasi bagi guru dan prestasi. Guru merasa puas apabila hal berikut terdapat di sekolah yaitu :

  • Led flexibly rather than sticking to needless rules.(dipimpin secara fleksibel ketimbang kaku pada aturan yang tak diperlukan)
  • Let them teach in their own way, holding them accountable for the results. (membiarkan guru mengajar secara otonom, dengan tetap menuntut akuntabilitas hasil pembelajaran)
  • Set challenging but realistic goals for excellence. (menetapkan tujuan yang menantang namun realistic untuk mencapai keunggulan)
  • Valued their efforts, recognizing a job well done. (menghargai upaya guru, serta mengapresiasi pekerjaan yang dilakukan dengan baik)

Kondisi sekolah yang dapat memberikan rasa puas bagi guru jelas akan berdampak pada prilaku dan kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai agen pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah perlu terus berupaya untuk memelihara dan memperbaiki budaya dan iklim sekolah yang kondusif bagi pembelajaran kreatif-inovatif, dan itu dapat terjadi jika terdapat otonomi pengakuan dan apresiasi pada para pegawai dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat berdampak pada seluruh stakeholder sekolah

“Principals who desire to improve a school’s culture, must foster an atmosphere that helps teachers, students, and parents know where they fit in and how they can work as a community to support teaching and learning. Creating a school culture requires instructional leaders to develop a shared vision that is clearly communicated to faculty and staff. Additionally, principals must create a climate that encourages shared authority and responsibility if they are to build a positive school culture” (Angus MacNeil, & Valerie maclin, www.cnx.org). (kepala sekolah yang ingin memperbaiki budaya sekolah harus membantu berkembangnya atmospir yang membantu guru, murid, dan orang tua mengetahuikecocokan merekaserta bagaimana mereka dapat bekerja sebagai komunitas untuk mendukung proses pembelajaran. Menciptakan budaya sekolah memerlukan kepemimpinan instruksional untuk mengembangkan visi bersama yang terkomunikasikan secara jelas pada seluruh anggota organisasi. Demikian juga, kepala sekolah harus menciptakan iklim yang mendorong otoritas dan tanggungjawab bersama jika mereka akan membangun budaya sekolah yang posistif)

Dari uraian di atas,nampak bahwa Kepala Sekolah (principal) adalah urat nadi pembaharu yang harus menjadi contoh dan suri tauladan bagi personil lain di dalam suatu sekolah, dia punya otoritas yang cukup untuk membentuk, memelihara dan mengembangkan iklim dan budaya sekolah yang positif dan kondusif bagi berkembangnya organisasi sekolah. dialah yang menjadi penentu maju mundurnya pendidikan, serta berhasil atau tidaknya suatu program yang telah direncanakan. Banyak syarat serta kompetensi yang harus dimiliki oleh Kepala sekolah baik ilmu pengetahuan, sikap kepribadian maupun keterampilan. Oleh karena itu apabila Kepala sekolah sudah menjiwai dan menjalankan hal – hal seperti di atas maka penyelenggaraan pendidikan akan berjalan lancar serta kualitas pendidikan yang diharapkan akan tercapai.

 

D.    Kepemimpinan Entrepreneur (Wirausaha) Kepala Sekolah  

Dengan memperhatikan tantangan perubahan serta karakteristik pemimpin entrepreneur, serta peran yang harus dimainkan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, nampak bahwa dunia pendidikan dalam hal ini sekolah memerlukan kepemimpinan yang dapat menghadapi berbagai tantangan perubahan dan kepemimpinan entrepreneur akan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi organisasi sekolah dalam menyikapi hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Caldwell dan Spinks (1992:79), dalam konteks organisasi Sekolah dewasa ini, yang berpandangan bahwa Sekolah memerlukan pemimpin Entrepreneur/ wirausaha

“An appraisal of current context of schooling suggests that entrepreneurial schools and entrepreneurial leaders are precisely what are called for…… original meaning of entrepreneurship, one which emphasises creativity, confidence, and an enduring contribution to the community” (penilaian terhadap persekolahan dewasa ini menyarankan agar sekolah dan pemimpin wirausaha benar-benar diperlukan…makna orsinil dari kewirausahaan, adalah seseorang yang menekankan pada kreativitas, kepercayaan, dan kontribusi yang terus menerus bagi kepentingan masyarakat/komunitas)

pemimpin sekolah yang menekankan pada kreativitas, kepercayaan serta kontribusi bagi masyarakat sebagai cirri kepemimpinan entrepreneur amat diperlukan dalam suatu organisasi sekolah. Dengan kepemimpinan entrepreneur seorang kepala sekolah akan mampu mengembangkan organisasi kearah yang lebih inovatif melalui peningkatan kreativitas, kepercayaan dan kerjasamanya dengan masyarakat. Pemimpin entrepreneur adalah pemimpin yang proaktif dalam mencari dan memanfaatkan peluang untuk mencapai kesuksesan, dan hal ini menunjukan bahwa pemimpin yang demikian akan membawa perubahan dalam organisasi kearah yang lebih adaptif dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan, dan hal ini juga menunjukan orientasi ke masa depan menjadi dominan pada pemimpin entrepreneur.

Kondisi yang demikian sejalan dengan pendapat  Razik dan Swanson (1995 : 563) yang menyatakan bahwa kepemimpinan pendidikan mencakup beberapa kemampuan (ability) yaitu : to have a vision of the future, to see into the intentions of other, and   to take effective action (mempunyai visi masa depan, memahami maksud fihak lain, dan mengambil tindakan yang efektif). Kemampuan-kemampuan tersebut akan menjadikan organisasi sekolah mampu memperkuat integrasi internal serta adaptasi eksternal, sehingga daya hidup organisasi sekolah akan dapat bertahan dan mampu bersaing di era global dewasa ini.

Secara umum kepemimpinan wirausaha merupakan kepemimpinan yang dapat mendorong organisasi dinamis, inovatif serta memberdayakan melalui pembelajaran yang terjadi dari mulai tahapan individu, kelompok sampai organisasi (masalah ini akan dibahas dalam topic learning organization), semua itu hanya dapat dilakukan apabila kepala sekolah sebagai Key Factor dari keberhasilan pendidikan di sekolah dapat berperan optimal serta dapat menerapkan prinsip kewirausahaan dalam mengelola organisasi sekolah.

Tabel 1. Ciri-ciri Kepala Sekolah Wirausaha

Ciri Generik

  • Berinisiatif untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan organisasi
  • Inovatif  kreatif dalam menjalankan tugas
  • Visioner dengan orientasi yang kuat ke masa depan
  • Berfikir strategis
  • Mempunyai motivasi berprestasi yang kuat
  • Mandiri dan optimis
  • Berani mengambil resiko dalam melakukan sesuatu
  • Bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, tidak menyalahkan orang lain
  • Mampu berubah dan mengelola perubahan/manajemen perubahan
  • Berani melakukan sesuatu meskipun berbeda dari yang lain dan dari kebiasaan
  • Menjadi model dalam menjalankan tugas secara baik
  • Belajar dan membelajarkan bawahan secara terus menerus untuk meningkatkan kompetensi/kemampuan organisasi
  • Mencari dan memanfaatkan peluang secara efektif
  • Mendorong kreativitas pegawai/bawahan
  • Komunikatif dan memberdayakan pegawai/bawahan

Ciri Spesifik

  • Memperkuat dan mengembangkan hubungan dengan masyarakat serta Memberdayakan komite sekolah
  • Mentransformasikan aspirasi siswa, guru, tenaga kependidikan serta komite sekolah ke dalam visi sekolah, serta mensosialisasikannya kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan
  • Memfasilitasi Guru dan Tenaga Kependidikan untuk meningkatkan kompetensi melalui diskusi, pelatihan dan sekolah lanjut
  • Menjadi mitra Guru dalam mengembangkan mutu proses pembelajaran
  • Aktif mencari informasi tentang perkembangan ilmu khususnya ilmu di bidang kependidikan serta menerapkan kebijakan dari superstruktur pendidikan secara kreatif
  • Memperkuat dan mentransformasikan proses pembelajaran dengan menggunakan pengetahuan yang terus berkembang
  • Berfokus pada memperbaiki proses pendidikan/pembelajaran ketimbang menunggu hasil pendidikan/pembelajaran

Ciri-ciri tersebut, baik ciri generik maupun spesifik pada dasarnya melihat kepemimpinan dan pemimpin entrepreneur/wirausaha pada apa yang dikerjakannya atau pada performance (actual performance), sehingga arahnya lebih menekankan pada best practices dari kerakter kinerja pemimpin wirausaha dan dalam konteknya dengan dunia pendidikan.

Demikian juga halnya dengan peran kepemimpinan kepala sekolah sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No  19 tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, dimana dalam bidang kepemimpinan, kinerja kepala sekolah dirinci sebagai berikut

  1. menjabarkan visi ke dalam misi target mutu;
  2. merumuskan tujuan dan target mutu yang akan dicapai;
  3. menganalisis tantangan, peluang, kekuatan, dan kelemahan sekolah/madrasah;
  4. membuat rencana kerja strategis dan rencana kerja tahunan untuk pelaksanaan peningkatan mutu;
  5. bertanggung jawab dalam membuat keputusan anggaran sekolah/madrasah;
  6. melibatkan guru, komite sekolah dalam pengambilan keputusan penting sekolah/madrasah. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, pengambilan keputusan tersebut harus melibatkan penyelenggara sekolah/madrasah;
  7. berkomunikasi untuk menciptakan dukungan intensif dari orang tua peserta didik dan masyarakat;
  8. menjaga dan meningkatkan motivasi kerja pendidik dan tenaga kependidikan dengan menggunakan sistem pemberian penghargaan atas prestasi dan sangsi atas pelanggaran peraturan dan kode etik;
  9. menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik;
  10. bertanggung jawab atas perencanaan partisipatif mengenai pelaksanaan kurikulum;
  11. melaksanakan dan merumuskan program supervisi, serta memanfaatkan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja sekolah/madrasah;
  12. meningkatkan mutu pendidikan;
  13. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya;
  14. memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah/madrasah;
  15. membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah/madrasah dan program pembelajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan tenaga kependidikan;
  16. menjamin manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah/madrasah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif;
  17. menjalin kerja sama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, dan komite sekolah/madrasah menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat;
  18. memberi contoh/teladan/tindakan yang bertanggung jawab

dari 18 aspek kepemimpinan kepala sekolah seperti dikemukakan di atas nampak bahwa hampir semuanya menunjukan apa yang harus dikerjakan oleh kepala sekolah dalam memerankan sebagai pemimpin, dimana di dalamnya aspek manajerial/manajemen lebih mendapat penekanan sehingga apabila hal tersebut dapat terlaksana, maka hanya akan membuat organisasi sekolah berjalan dalam siklus rutin, meskipun demikian bagimana kepala sekolah mengerjakan atau melaksanakan peran tersebut akan ditentukan oleh kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing kepala sekolah, sehingga variasi kinerja kepala sekolah akan tetap terlihat dalam aktualisasi pelaksanaan peran dan tugas yang dilaksanakan kepala sekolah, bukan karena apa yang dikerjakannya tapi oleh bagaimana dikerjakannya. Untuk itu pendekatan kompetensi dalam melihat pelaksanaan peran dan tugas kepala sekolah menjadi penting, dan pemerintah juga telah menetapkannya bahwa kompetensi kewirausahaan merupakan kompetensi yang disyaratkan bagi seorang kepela sekolah yang dalam permendiknas no 13 tahun 2007 disebutkan bahwa kompetensi kewirausahaan tercermin dari kemampuan kepala sekolah untuk:

  1. Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah.
  2. Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif.
  3. Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah.
  4. Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah.
  5.  Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik.

Kompetensi kewirausahaan kepala sekolah bila termanifestasikan dalam kinerja kepemimpinan akan mewujudkan kepemimpinan entrepreneur kepala sekolah, dimana dengan kepemimpinan itu kepala sekolah akan selalu berusaha mengembangkan organisasi sekolahnya melalui kinerja inovatif dengan motivasi berprestasi yang tinggi, sehingga mentransformasikan kewirausahaan kedalam kepemimpinan pendidikan menjadi sesuatu yang tepat yang akan membawa organisasi sekolah mampu berkembang dan kompetitif dalam perkembangan masyarakat yang sangat cepat perubahannya serta perkembangan iptek  yang amat akseleratif, yang semua itu memerlukan respon kepemimpinan dan implementasi kepemimpinan entrepreneur kepala sekolah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi pada saat sekarang ini.

E.     Penutup

Manajemen dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang punya kaitan dan sering dipandang identik, namun masing-masing sebenarnya berbeda dalam kontek organisasi (Sergiovani, Duke, Lipham, Kotter), pelaksana manajemen disebut manajer, dan pelaksana kepemimpinan disebut pemimpin. Ada pandangan bahwa manajemen lebih luas dari kepemimpinan dan ada juga yang sebaliknya, namun terlepas dari kontroversi tersebut dalam tataran prktek lapangan idealnya seorang kepala sekolah adalah seorang pemimpin yang baik sekaligus manajer yang baik pula artinya kepala sekolah harus mempunyai kemampuan kepemimpinan dan kemampuan manajemen sekaligus.

Seorang manajer lebih menekankan pada pelaksanaan tugas melalui cara yang teratur dengan prosedur yang jelas serta secara ketat menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan. Seorang manajer lebih mengacu pada apa yang suadah biasa dilakukan serta mempertahankannya untuk mencapai proses organisasi yang efektif dan efisien, sehingga dalam bekerjanya seorang manajer lebih bersifat rutin dari waktu-kewaktu, yang penting organisasi dapat berjalan dengan stabil dalam menjalankan perannya. Berbeda dengan seorang manajer, dalam melaksanakan perannya seorang pemimpin lebih menekankan pada perubahan dan penentuan arah, serta upaya-upaya yang inovatif visioner dalam membuat organisasi mampu berperan lebih produktif, lebih maju dan lebih bermutu, sehingga mereka lebih menekankan pada pembelajaran dan pemberdayaan seluruh sumberdaya organisasi, akibatnya kinerja seorang pemimpin lebih berdampak dinamis bagi organisasi.

Seorang kepala sekolah jelas memerlukan kemampuan manajemen dan kepemimpinan, sehingga organisasi sekolah dapat stabil secara internal dan responsip terhadap factor eksternal yang terus mengalami perubahan. Dalam konteks sekarang ini kepala sekolah sebagai pemimpin nampaknya makin diperlukan penguatan mengingat akselerasi perubahan yang makin sulit diprediksi, namun demikian kemampuan sebagai manajer tetap diperlukan dalam upaya menata organisasi sekolah berjalan secara efektif dan efisien, oleh karena itu keseimbangan keduanya menjadi hal yang perlu terus dikembangkan.

Posisi ideal bagi seorang kepala sekolah, terwujud jika peran manajer dan peran pemimpin berada dalam posisi keseimbangan (continuity and change), posisi yang berat ke pemimpin merupakan posisi dengan peran dominan kepala sekolah sebagai pemimpin (change), kondisi ini akan menjadikan perubahan dan inovasi menjadi etos kerja yang dibangun sehingga organisasi menjadi dinamis sedang posisi yang berat ke manajer  menunjukan posisi dimana kepala sekolah berperan dominan hanya sebagai manajer (continuity) yang cenderung hanya menjaga keteraturan, prosedur serta etos kerja standar yang dituntut dari Guru dan Staf, sehingga kinerja organisasi cenderung rutin dan statis. Kontinum seperti dikemukakan di atas, nampaknya masih perlu dikaji lebih dalam dengan bukti-bukti empiris, namun sebagai kerangka awal memahami dinamika organisasi sekolah pembedaan tersebut cukup membantu.

Belakangan ini, nampaknya terdapat kecenderungan yang cukup menonjol terkait dengan peran Kepala Sekolah dalam melaksanakan tugasnya yaitu pelaksanaan peran manajer yang lebih banyak dijalankan ketimbang kepala sekolah sebagai leader (pemimpin), hal ini terjadi tidak terlepas dari kerumitan birokrasi administrasi yang makin membelit tugas-tugas kepala sekolah dalam mengelola organisasi pendidikan sehingga  pelaksanaan peran sebagai  pemimpin agak kurang atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Kondisi ini jelas akan berdampak pada perkembangan organisasi sekolah yang diharapkan dapat memberi dampak bagi perubahan masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih bermutu.

Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan wirausaha bagi kepala sekolah menjadi langkah yang sangat strategis guna mendorong terus dicapainya keseimbangan, dan hal ini sudah barang tentu harus dengan tetap menjaga dan memperkuat peran sebagai manajer, sehingga perubahan yang dilakukan dalam organisasi sekolah tetap berlandaskan fondasi kesinambungan, meskipun kondisi seperti di atas sebenarnya disebabkan oleh kurangnya upaya pengembangan aspek kepemimpinan Kepala sekolah

 

F.     Daftar Pustaka

Barth, Roland S.. 1990. Improving School from Within. San Francisco : Jossey – Bass.

Beck Lynn G. & Murphy, Joseph. (2000). The Four Imperatives of Successful Scholl. Corwin Press, Inc. California

Bush, Tony., Marianne Coleman. (2006). Leadership and Strategic Management in Education. terj. Fachrurrozi, Jogyakarta,  IRCISoD.

Caldwell, Brian J., & Jim M. Spinks. (1992). Leading the Self – Managing School. Washington DC : The Falmer Press.

Gupta,Vipin Ian C. MacMillan and Gita Surie (2004)  Entrepreneurial Leadership: Developing and Measuring a Cross-Cultural Construct Journal of Business Venturing, Elsevier Inc., 19 (241-260), www.leadershipreview.org.  (11 September 2007)

Ingraham, Patricia W. & Heather Getha-Taylor (2004) Leadership in the Public sector:Models and Assumptions for Leadership Development.

Jennifer James (1998). Thinking in the Future Tense

Kasali, Rhenald. (2006) Change, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

———— (2007). Re-Code, Your Change DNA. Jakarta, Gramedia. Pustaka Utama

Katzenbach, John R. (2000). Peak Performance, ALigning the Hearts and Minds of Your Employees. Boston : Harvard Business School Press.

Keith, Sherry., Robert H Girling. (1991). Education, Management, and Participation. Boston : Allyn and Bacom.

Kelley, Tom. (2005) The learning person, The ten Faces of innovation, www.thetenfaces.com. (13 Agustus 2007)

Klaus, Beck. (1997). Organizational learning http://www.sfb504.uni-mannheim.de/glossary/orglearn.htm (10 Mei 2006)

Klausmeier, Herbert J., William Goodwin. (1971). Learning and Human Abilities 4th . New York : Harver & Row Publisher.

Kotelnikov, Vadim  (2005) Entrepreneurial Leadership,  New Managerial Task in the Era of Rampant Change, www.1000ventures.com ( 11Sept 2007)

Kuratko, Donald F. (2007)  Entrepreneurial leadership in the 21st century: guest editor’s perspective. Journal of Leadership & Organizational Studies www.ezinearticle.com (,11September 2007)

Kuratko, Donald F. dan Hodget (2004)  Entrepreneurship, New York, John Willey & Son

Lavinsky, Dave  (2005) Entrepreneurial Leadership, www.ezinearticle.com (,11 September 2007)

Osborne, David., Gaebler, Ted. (1992). Mewirausahakan Birokrasi, terj. Abdul Rosyid, Jakarta : PPM

Osher, David., Steve Fleischman (2005) Positive Culture in urban School, www.ASCD.org. (7 Agustus 2007)

Palmer, Joy A.. (2001). Fifty Modern Thinkers on Education. Terj.  London : IRCISoD.

Pariata Westra et al. (1977): Ensiklopedi Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.

Perkins, David. (1992). Smart School, Better Thinking and Learning for Every Child. New York : The Free Press.

Suharsaputra, Uhar (2013) Administrasi Pendidikan, Cet 2 Edisi Revisi, Bandung, Refika Aditama

———— (2013) Menjadi Guru Berkarakter. Cet 2, Bandung, Refika Aditama

Turney C. et al. (1992). The School Manager. Sydney : Allen & Unwin.

 

Aku “Mejaba”

$
0
0

Cerpen karya : Wiska Adelia Putri
Lahir di Tanjungpinang, 8 Maret 2002. Saat ini duduk di kelas VII SMP – IT Al Madinah Kota Tanjungpinang. Cerpen ini meraih juara II pada Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP tingkat Nasional di Semarang, Juni 2014

Matahari tampak sejajar dengan kepala. Menghadirkan sinar yang tampak sangat terik pada siang ini. “Tittottitto” bunyi kendaraan beradu padu menghadirkan irama tak sedap didengar. Keseharian ini bak jadwal yang tak pernah dilewatkan bagiku, kecuali hari Minggu. Namun, aku sangat senang melewati rutinitas ini. Rutinitas yang kelaknya akan mengantarkanku ke jembatan ilmu dan masa depan yang cerah.

Aku dan keluarga memang belum berapa lama tinggal di kota Padang ini. Romoku yang bertugas sebagai Angkatan Darat membuat keluarga kami sering berpindah-pindah. Aku melangkahkan kakiku dengan riang menuju rumah. Kebetulan letak rumah dan sekolahku tidak begitu jauh sehingga dengan mudah aku bisa berjalan kaki walaupun panas terasa sangat menyengat. Kakiku semakin cepat melaju seiring dengan bunyi perutku yang semakin menggeliat menahan lapar.

“Assalamualaikum, Mak.”

“Walaikumussalam,” jawab Romo yang ternyata sudah pulang.

“Saya kira Romo belum pulang. Emak kemana Romo?” tanyaku pada Romo yang masih mengenakan pakaian tentaranya. Terlihat gagah dan berwibawa.

“Ada di dapur. Ayolah kita ganti baju dulu. Emakmu sudah menunggu kita dengan masakan enaknya. Lapar kan?”

“Jangan ditanya lagi Romo. Sangat lapar,” kataku sambil memegang perut.

Di dapur emakku sudah menunggu dengan bermacam masakan yang terhidang di meja. Ada gudeg, tempe, dan tahu bacem kesukaan romoku. Ada masak lemak ikan tenggiri kesukaan emakku. Ada ayam goreng bumbu kesukaan adikku. Dan em… hidungku menghirup segar daun kesum yang bercampur dengan kuah lakse kesukaanku. Makanan khas Melayu yang sangat kami senangi sekeluarga. Aneka makanan seperti ini sudah biasa terhidang di meja. Maklumlah, emakku asli suku Melayu dan Romoku dari suku Jawa tepatnya dari Yogyakarta. Sedangkan satu-satunya nenekku dari Romo yang masih hidup masih memiliki sedikit keturunan Batak. Wah, lengkaplah. Kadang aku bingung juga kalau ditanya suku apa. Mau dikatakan suku Jawa nanti emak kecil hati dan mau disebut suku Melayu nanti aku pula yang tak enak sama Romo yang suku Jawa. Aku inikan anak mereka. Makanya kalau ditanya aku selalu mengatakan aku ini anak Indonesia. Sebenarnya baik emak maupun Romo tidak pernah mempersoalkan perbedaan apapun yang berkaitan dengan suku atau budaya dalam keluarga kami. Justru perbedaan itu membuat keluarga kami semakin seru. Apalagi dibidang makanan, mau manis, mau lemak, mau pedas bagiku enak semua. Gak masalah.

Biasanya kalau pulang kampung barulah keluarga kami menyesuaikan diri. Jika pulang kampung Emak di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, kami sekeluarga akan memakai baju kurung yang lengkap dan jika pulang ke Yogya maka kami akan memakai pakaian Jawa dan aku paling senang mengenakan Blankon. Romo dan Emakku memang selalu mengingatkanku dan adikku untuk melestarikan dan menghargai adat dan budaya kami yang sangat berharga.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya,” itu pesan mereka yang memang sangat melekat di hatiku. Kadang timbul juga hal kecil yang membuat emak dan romo beradu mulut kalau sedang membanggakan budaya mereka masing-masing. Romo misalnya paling bangga kalau sudah bercerita tentang blankon di daerah Jawa. Blankon yang terbuat dari kain batik dan memiliki tonjolan di bagian belakang itu menurut romo sudah terkenal di dunia dan dijadikan sauvenir bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Bahkan di Solo ada daerah yang dinamakan “Perkampungan Blankon”.

Menurut romo, blankon melambangkan sikap orang Jawa yang selalu pandai menyimpan maksud dan tujuan sebanarnya. Dan menurutku kalau memakai blankon itu kelihatan berwibawa dan tentu saja menambah ganteng wajahku.

Lain lagi dengan emak, kalau sudah berbicara tentang pakaian emak sangat memuji pakaian baju kurung Melayu terutama baju kurung “Teluk Belanga”. Menurut emak pakai baju kurung Melayu sangat sopan dan membuat lelaki yang memakainya kelihatan begitu gagah. Sekali lagi aku percaya itu karena aku memang kelihatan sangat gagah bagaikan raja ketika memakai baju tersebut. Bahkan akupun memiliki ulos pemberian khusus dari nenekku. Kata nenekku, ulos itu melambangkan kasih sayang. Luar biasa, ternyata masing-masing adat dan budaya memiliki filosofi tersendiri. Aku bangga lahir dari campuran suku ini. Walau berbeda kami tetap saling menghargai. Sampai saat ini perbedaan yang ada dalam keluarga kami bukanlah suatu masalah.

****

Sekarang aku benar-benar bingung. Seminggu lagi di sekolah kami akan mengadakan pagelaran pakaian adat serta presentasinya. Aku harus memakai pakaian adat Jawa atau Melayu? Ketika aku menyampaikan kebingungan tersebut pada romo dan emak malah bertambah pusing karena kedua orang tuaku tersebut malah rebutan menyuruh aku memakai pakaian adat daerah asal mereka. Bahkan suatu hari ketika aku pulang sekolah aku terkejut karena emak dan romo sudah menungguku di ruang tamu. Di tangan emak telah terlipat rapi baju kurung “Teluk Belanga” berwarna kuning keemasan, lengkap dengan songket untuk dipinggang dan tanjak untuk di kepala. Sedangkan di meja terdapat baju adat Jawa yaitu kain batik dan baju sarjan serta blankon.

“Wow, bagus benar kedua baju ini. Untuk siapa?” tanyaku.

“Iya pastilah untuk anak emak yang gagah ni. Ini emak sudah belikan baju yang harus Andika pakai untuk kegiatan di sekolah nanti. Pasti Andika akan menjadi gagah bagaikan raja. Jangan lupa promosikan adat kita, adat Melayu.”

“Eit… Romo juga sudah membawakan baju khas jawa baju surjan serta blankon yang akan menunjukan benar identitas Jawanya. Andika pasti akan tampak berwibawa dengan pakaian adat Jawa ini.

“Andika itu akan lebih cocok kalau pakai baju kurung aja, Romo,” kata emak menegaskan.

“Ya, nggak bisa. Baju ini juga bagus dan mahal lho. Romo membelinya dari bahan berkualitas. Andika pantas memakai baju ini, kapan lagi Andika menunjukan perhatiannya pada adat nenek moyangnya,” kata romo tak kalah tegasnya.

“Begini sajalah Andika, untuk acara pagelaran di sekolah itu pakai saja baju kurung dari emak, nanti kalau ada acara lagi baru pakai baju adat Jawa yang dibelikan Romo itu,” usul emak.

“Lho, nggak bisa begitu. Sekarang Andika mau dengar omongan romo atau emak,” tanya romo yang semakin membuat aku tersudut. Aku melihat keemak. Emak menatapku penuh harap.

“Romo, emak, badan Andika ini cuma satu. Kegiatannyapun cuma satu. Sedangkan bajunya ada dua. Begini sajalah emak dan romo damai aja ya jangan bertengkar lagi. Andika ambil aja kedua baju ini, nanti Andika putuskan mau pakai yang mana. Ok. Setuju romo dan emak yang Andika sayangi,” kataku berusaha menenangkan emak dan romo yang kelihatan mulai tegang.

“Iya, sekarang kami serahkan sama Andika saja untuk memilih baju adat mana yang akan Andika pakai dan presentasikan untuk acara sekolah besok,” tambah romo.

“Andika masih belum bisa memutuskan, karena pakaian adat emak dan romo sama sama mantap dan mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri.”

“Iya juga ya, apalagi baju kurung,” kata emak.

Aku memandang ke wajah romo dan emak. Dua-duanya balas memandangku dengan mata penuh pengharapan. Aku bertambah bingung. Mereka berdua adalah orang tuaku yang sangat aku sayangi dan hormati. Aku tak ingin mereka kecewa. Selama ini aku berusaha keras menjaga kedua hati orang tuaku bagaikan menjaga bola kristal, tidak boleh tergares sedikitpun apalagi pecah. Jadi sekarang bagaimana? Baju adat Jawa atau adat Melayu yang akan ku pakai besok. Pusing tujuh keliling.

“Baiklah, sekarang keputusan ada di tangan Andika, ya, dan Andika harap apapun keputusannya nanti harap emak dan romo mau menghargainya,” kataku berusaha untuk bijaksana.

“Setuju,” jawab emak dan romo serentak.

“Baiklah, Andika ke kamar dulu ya.”

“Iya,” jawab emak dan romo bersamaan lagi.

Hari sudah semakin malam namun aku belum menentukan pilihan baju apa yang harus dipakai untuk acara besok. Apakah baju kurung? Atau baju surjan?. Aku sangat bingung dan gelisah memikirkan ini.

“Aku harus memakai baju apa ya untuk besok. Apakah pilihanku ini nantinya akan cocok denganku. Apakah tak akan membuat salah satu orang tuaku kecewa. Apa yang harus aku lakukan?” kataku sambil mondar mandir di kamar.

Kagelisahanku bisa mengalahkan kantuk. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun, aku masih saja bolak-balik di tempat tidur. Masih memikirkan tentang baju adat yang akan dipakai. Sampai akhirnya mataku tak bisa lagi menahan kantuk. Tiba-tiba terlintas dibenakku baju mana yang akan aku pakai. Aku memukul pelan jidatku. Aku yakin pilihanku akan sangat tepat. Sambil tersenyum puas akupun tertidur.
***

Matahari mulai tampak memancarkan sinarnya. Malam gulita telah berubah menjadi pagi menyejukkan. Hari ini adalah hari yang sangat spesial buatku. Karena aku sudah menemukan baju apa yang harus kupakai dan itu sangat istimewa. Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan langsung cepat- cepat mandi. Aku tak sabar memperlihatkan baju pilihanku pada emak dan romo. Aku bercermin dengan puas dan tersenyum lega. Aku yakin pilihanku ini benar-benar jenius. Setelah yakin sempurna akupun keluar kamar. Aku yakin emak dan romo pasti sudah menunggu dengann dada berdebar.

“Bagaimana Mak, Romo, apakah baju ini cocok untukku,” kataku sambil memperlihatkan pesonaku memakai baju pilihanku. Seketika kulihat mulut emak dan romo terbuka. Mereka pasti terpesona dengan pilihannya. Tiba-tiba romoku tertawa sambil mengacungkan jempol.

“Ini sangat bagus dan cocok untukmu. Pintar sekali kamu menentukan pilihan,” ujar romo.

“Apakah Andika yakin dengan pilihanmu ini, Nak?” tanya emak dengan tersenyum simpul.

“Sangat yakin,” jawabku tersenyum lebar. Aku lega karena pilihanku ini dapat menghadirkan senyum di wajah kedua orang tuaku, tidak seperti semalam yang agak tegang.

“Bagus dan sangat tepat kok pilihan anak kita. Semoga presentasinya sukses ya.,” kata romo yang tampaknya mendukungku.

Setelah mencium tangan emak dan romo akupun melangkah ke sekolah dengan riang. Sepanjang jalan orang-orang memandangku dengan takjub. Akupun seakan menebar pesona. Bahkan ketika sampai di sekolahpun rata-rata mata tertuju padaku.

“Bagus benar bajumu, idemu berilyan. Pasti orang tuamu bangga karena anaknya ini dapat melestarikan pakaian adatnya dengan sempurna. Apa nama baju adatmu ini?” tanya Edo sahabatku sambil meninju pelan bahuku. Sahabatku ini tahu benar permasalahanku saat ini.

“Mejaba,” jawabku singkat.

“Hah, apa itu. Kok asing di telingaku,” tanya Edo penasaran. Belum sempat aku menjelaskan terdengar suara panitia OSIS memanggil kami untuk cabut undi karena kegiatan akan segera dimulai. Tidak lama kemudian acarapun dimulai. Aku mendapatkan nomor undian ke-10. Aku sudah tak sabar untuk tampil dan memperentasikan pakaianku.

“Baiklah beri tepukan yang meriah untuk peserta nomor 9 yang sudah mempresentasikan pakai adatnya dari Irian Jaya yaitu…… Sekarang kita panggil urutan nomor 10. Beri tepukan yang meriah.” Teriak pembawa acara menggugah pendengaranku. Dengan mantap aku melangkah ke panggung. Tiba-tiba kurasakan suana hening. Semua mata tertuju padaku. Rasa penasaran jelas terlihat diwajah mereka. Begitu juga dengan guru-guruku. Mereka tampak heran dengan penampilanku. Sesampai di panggung aku berjalan penuh percaya diri bagaikan pragawan profesional. Setelah itu dengan tenang aku memulai presentasiku tentang pakaian adatku.

“Perkenalkan, baju yang saya kenakan ini namanya baju kurung “Teluk Belanga.” Dan biasanya bajur kurung ini pasangannya adalah tanjak atau songkok di kepala dan kain songket di pinggang. Tetapi kali ini aku memadukannya sesuai dengan adat budaya yang mengalir dalam tubuhku. Jadi aku memakai baju kurung karena emakku orang Melayu dan memakai blankon di kepala sebagai pengganti tanjak karena romoku orang Jawa dan aku memakai ulos di pinggang sebagai pengganti kain songket karena nenekku adalah keturunan Batak. Aku “Mejaba” alias Melayu Jawa Batak. Bagiku budaya adalah harta yang tak ternilai harganya. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga dan melestarikannya. Semua keragaman dan perbedaan jangan sampai dijadikan permasalahan tetapi jadikan sebuah keindahan, kekuatan, dan kekayaan. Sekali lagi perkenalkan inilah aku, “Mejaba”. Terimakasih.” Aku mengakhiri presentasiku sambil membungkukkan badan. Tepuk tangan meriah terdengar begitu membahana. Aku merasa begitu bangga. Dan kebanggaan yang paling terdalam bagiku adalah karena aku sudah dapat dengan baik melestarikan adat budayaku dengan segala keberagamannya dan yang terpenting aku tidak membuat kedua hati orang tuaku terluka sedikitpun. Aku bangga, akulah ‘Mejaba”.

Bakik

$
0
0

Oleh: Wiska Adelia Putri
Lahir di Tanjungpinag, 8 Maret 2002. Siswa kelas VII SMP-IT Al Madinah Tanjungpinang. Cerpen ini meraih juara I Lomba Cipta Cerpen dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) SMP Tingkat Provinsi Kepulauan Riau tahun 2014.

Lela memalingkan wajahnya dari pandangan mata di depannya. Lela khawatir nenek dapat menebak perasaannya saat ini. Perasaan yang bercampur aduk. Antara sayang dan kebencian. Andai saja neneknya punya selera yang sama dengan nenek-nenek lain di dunia, tentulah takkan pernah ada setitik bencipun di hati Lela. Lela tentu akan bebas memeluk dan bermanja dengan neneknya. Nenek terus saja bercerita tentang saudara-saudara Lela di kampungnya, Tarempa. Tentang air terjun tujuh tingkat yang semakin cantik. Tentang enaknya lakse kuah kesukaannya, dan banyak lagi yang sebenarnyapun membuat Lela rindu untuk pulang kampung.

Nenek memang baru siang tadi sampai. Setelah sehari semalam melewati Laut Cina Selatan yang memang cukup ganas di musim ini. Namun lelah di wajah keriputnya sudah tidak kelihatan lagi. Bahkan di mulutnya yang merah tampak tak mau berhenti untuk bicara. Melihat mulut nenek itulah hal yang paling menjijikkan buat Lela. Kalau saja tidak ingat dengan pesan emaknya untuk tetap menghormati dan menghargai orang yang lebih tua apalagi nenek yang merupakan wanita yang melahirkan emak, rasanya sudah dari tadi Lela pergi.

Sambil mendengarkan ocehan nenek sesekali Lela melirik buku Seni Budaya yang ada di pangkuannya. Kebetulan besok ada tanya jawab tentang pelajaran tersebut. Mata Lela terbelalak membaca tentang adat Berkapur Sirih di daerah Melayu yang sudah ada sekitar tiga ratus tahun yang lalu. Sirih selalu dimakan oleh masyarakat Melayu baik oleh rakyat biasa maupun keturunan raja. Sirih dan perangkatnya mengandung falsafah tersendiri. Sirih sendiri mengandung makna rendah hati dan selalu memuliakan orang. Apakah ini alasan neneknya makan sirih. Spontan Lela melihat dengan seksama ke mulut nenek yang memerah. Seketika itu juga Lela jadi mual.

“Lela, ambilkan nenek Tepak Sirih kesayangan nenek, mulut nenek sudah terasa masam ni!” kata nenek tiba-tiba.

Mendengar itu Lela sangat terkejut. Diam membisu. Lela bertanya tanya dalam hati apa benar nenek selama ini tidak tahu bahwa Lela tak suka dengan perlengkapan vampir nenek itu. Dengan terbata-bata Lela mengiyakan permintaan nenek.

“I..i..ya, Nek. Nenek meletaknya di mana?” tanya Lela kepada nenek yang tampaknya agak bosan menunggu jawabannya.

“Nenek meletaknya di dalam kamar di samping tv. Cepat, ya, Lela mengambilnya. Jangan seperti orang pikun begitu,”kata nenek terkekeh memperlihatkan gigi-gigi merahnya. Lela merinding. Teringat ia akan tokah vampir di tv yang pernah ditontonnya.

Lela melangkahkan kaki ke kamar biru langit warna kesukaannya. Entah mengapa emak menjadi sangat tega bila ada nenek di rumah ini pasti nenek akan sekamar dengannya.

Tepak sirih yang terbuat dari tembaga dan memiliki 5 cembul itu sudah berada di tangan halus Lela. Tepak sirih itu tampak bersih dan terawat. Tidaklah merah seperti mulut nenek. Nenek pernah mengatakan benda itu sudah bertahan sebanyak 7 turunan. Bisa dikatakan sudah menjadi benda antik. Di dalamnya tersusun dengan rapi sirih hijau dan pasukannya seperti gambir, pinang, kapur, tembakau, kacip, dan entah apalagi namanya. Lela bergidik ketika melihat benda di samping Tepak Sirih itu. Benda itu bernama ketur, tempat nenek membuangkan ludahnya yang merah. Tiba-tiba Lela mau muntah. Dengan menahan napas cepat-cepat Lela berlari menyerahkan kedua tempat itu pada nenek. Lela pun berlari ke wc. Lela muntah di sana.
***
Suasana di dalam rumah tiba-tiba heboh. Emak mondar-mandir mengacak isi rumah sambil mulutnya tak henti-henti berbicara. Nenek duduk dengan wajah yang tegang dan masam. Nenek mogok makan dan memaksa pulang ke kampung hari ini juga. Itu mana mungkin karena kapal ke kampung hanya berangkat dua minggu sekali. Doni, abang Lela yang biasanya tak peduli sekarang juga ikut kalang kabut. Abah pun tampak bingung. Bahkan adiknya yang berusia 3 tahunpun ikut-ikut bongkar sana sini. Tiba-tiba emak menepuk pundak Lela yang bingung.

“Lela, ayo ikut emak. Emak ingin berbicara sesuatu denganmu,” kata emak serius ke arah Lela.

“Ada apa, Mak.”

Emak tidak menjawab pertanyaan Lela tetapi menarik tangannya mengajak ke belakang rumah.

“Lela, apakah kamu yang membuang bakik nenek,” tanya emak menatap Lela tajam.

“Apa Mak? Bakik? Apa itu?”

“Jangan pura-pura Lela. Kan selama ini Lela yang paling tak suka melihat nenek makan sirih.”

“Lela memang tak suka melihat nenek makan sirih Mak, tetapi tak ada hubungannya dengan bakik. Lagipula Lela tak tahu bakik tu apa.”

“Janganlah berbohong!! Emak tau engkau tidak suka dengan bau pelengkap sirih nenek. Tetapi janganlah engkau sampai tega membuangnya,” kata emak terus menyudutkan Lela.

“Lela tak melakukannya Mak, Lela memang tak suka dengan bau dan bentuk merah sirih nenek, namun Lela masih bisa menghargai nenek dan tak mungkin Lela berani mengganggu barang nenek, Lela sangat sayang dengan nenek,” jawab Lela hampir menangis karena dari tadi emak sangat memojokkannya.

“Jadi sekarang bakik nenek hilang kemana. Lela tolonglah Lela mengaku saja, kasihan nenek, apa Lela tega melihat nenek sengsara. Kita semua harus menyenangkan hati nenek bukan sebaliknya.

Lela benar-benar sedih mendengar emak tak percaya padanya. Padahal Lela juga sangat sayang pada neneknya dan berusaha membuat neneknya bahagia.

“Mak, apa perlu Lela bersumpah baru Emak mau percaya.”

“Apakah benar ini Lela,” tanya emak mulai lunak.

“Benar Mak, memang bakik itu apa, Mak” tanya Lela penasaran.

“Bakik itu sejenis buah yang bulat sepanjang jari dan dimakan bersama sirih sebagai penyedapnya. Jadi makan sirih tanpa bakik kata nenek sama saja dengan makan nasi dengan lauk tanpa garam.”

Lela tercengang. Ternyata bakik itu sangat penting bagi nenek. Tapi ke mana bakik itu ya, kata Lela dalam hati dan mulai bingung juga.
***

Matahari mulai terbenam di ufuk timur. Namun bakik nenek belum ditemukan. Ayah pun sudah menyusuri semua pasar yang ada di kota tetapi tak ada satupun pedagang yang menjualnya. Menurut emak Lela, bakik memang sudah menjadi tanaman langka dan di kampungpun hanya beberapa orang saja yang masih menanamnya, termasuklah nenek. Padahal bakik manfaatnya bukan hanya sebagai penyedap saat makan sirih saja. Bakik mengandung zat antiseptik yang juga sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Suasana kini tidaklah setegang semalam. Nenek sudah mau makan walau tetap kelihatan murung. Ternyata membujuk orang yang sudah tua merajuk jauh lebih sulit dibandingkan dengan anak kecil. Lela memberanikan diri berbicara pada neneknya.

“Nek, jangan sedih terus ya. Coba nenek ingat-ingat mungkin nenek salah meletakan bakik itu.”

“Lela mengganggap nenek sudah pikun.”

“Bukan begitu, Nek. Nenek jangan tersinggung. Manalah tahu nenek silap.”

“Lela, Nenek memang sudah berumur tujuh puluh tahunan tetapi ingatan Nenek tetap masih baik. Jangankan ingatan, gigi nenekpun masih utuh. Lihat ni satupun belum ada yang dicabut,” kata nenek sambil memperlihatkan giginya.

“Iya Nek, Nenek hebat sudah setua ini kok gigi nenek masih utuh. Gigi emak saja sudah dicabut 6 dan gigi bang Doni kemarin dicabut juga.”

“Mau tahu rahasianya,” tanya nenek mulai ceria.

“Mau… mau… Nek,” Lela bersemangat.

“Maka sirih seperti Nenek. Orang-orang tua zaman dahulu merawat giginya dengan makan sirih.itu resep turun temurun.

“Nggak enak Nek. Mana bau dan mulut merah seperti berdarah,” kata Lela jujur.

“Lela kan belum pernah coba. Enak lo apalagi pakai bakik terasa nikmat dan lemak.” Jelas nenek kembali murung saat menyebut kata bakik.

“Nek, jangan sedih lagi ya. Jangan gara-gara bakik liburan nenek disini jadi terganggu. Kami semua kan sedih, Nek.

Nenek menarik napasnya. Ia menatap cucu kesayangannya dengan tulus.

“Ya, Lela benar. Walapun Lela tak mau makan sirih tetapi harus tetaplah melestarikan budaya kita, budaya Melayu.”

“Ya, Nek. Budaya Melayu itu tetap lestari kok Nek. Misalnya dalam setiap adat perkawinan atau tarian persembahan selalu ada sirih dan kawan-kawannya itu.”

“Dan satu lagi. Kalau Nenek meninggal nanti Lela janji untuk tetap merawat tepak sirih nenek ini dengan baik. Ini benda antik lho. Lela jadi keturunan yang ke delapannya yang merawat tepak sirih nenek ini.”

Lela mengangguk. Lela terharu. Hatinya barkata walaupun Lela tak suka dengan sirihnya nenek namun Lela tak mau kehilangan neneknya. Pelan-pelan diperhatikannya wajah neneknya. Nenek benar-benar sudah tampak tua. Keriput di wajah dan tanganya terutama di bagian leher benar-benar tampak jelas. Ditambah lagi dengan badan nenek yang begitu kurus. Hati Lela jadi terharu. Apalagi yang diharapkan oleh orang setua nenek kecuali kasih sayang dan perhatian dari anak dan cucu-cucunya. Lela tidak mau neneknya cepat meninggal. Lela merasa masih sangat butuh neneknya. Dalam hati Lela berdoa semoga Allah tidak cepat memanggil neneknya. Tiba-tiba Lela memeluk erat neneknya. Rasa sayangnya telah mengalahkan bau sirih yang sudah menyatu di tubuh nenek.

“Lela sayang nenek,” katanya memeluk nenek dengan erat.

“Nenek juga. Lela benar jangan sampai gara-gara bakik leburan nenek di sini menjadi terganggu. Biarlah bakik itu hilang asalkan sayang kalian tidak hilang untuk nenek. Mereka berduapun tertawa.”

JIP Ditunjuk sebagai Jurnal Pembina

$
0
0

Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP) yang diterbitkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) setelah diasuh selama 2 (dua) tahun oleh Universitas Negeri Jakarta sejak tahun 1996 sampai sekarang diasuh oleh Universitas Negeri Malang (memiliki status terakreditasi sejak tahun 1996, 1998, 1999, 2002, 2005,dan 2008), melalui surat Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tgl 24 Maret 2009, hal: Hibah Jurnal yang memenuhi Standar Mutu dan Tata Kelola Nasional, telah ditunjuk sebagai pembina dari 10 jurnal bidang ilmu pendidikan yang terbit di Indonesia yaitu: 1. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains (JPMS) FMIPA UNY, 2. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran FKIP Univ. Lampung, 3. MIPA dan Pembelajarannya FMIPA UM, 4. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Univ. Pendidikan Ganesha, 5. Widya Dharma Univ. Sanata Dharma, 6. Pancaran Pendidikan FKIP Univ. Jember, 7. Cakrawala Pendidikan LPM UNY, 8. Forum Pendidikan UNP, 9. Alternatif FKIP UMM, 10. Jurnal Penelitian dan Pendidikan Univ. Negeri Gorontalo.

Proposal telah dikirim tgl 10 Mei 2009, dan dana telah disetujui dan dicairkan di masing-masing perguruan tinggi pada awal September 2009 sebesar Rp 550.000.000, dengan rincian untuk JIP sebagai jurnal pendamping Rp 50.000.000 dan jurnal binaan masing-masing Rp 50.000.000. Kegiatan Lokakarya I Pengolahan Naskah diselenggarakan tgl 2–4 Oktober 2009, dan selanjutnya Lokakarya II Pengelolaan Penerbitan diselenggarakan tgl 30 Oktober–1 November 2009 di kampus UM.

JIP dibawah koordinasi Ketua Penyunting JIP: Prof. Ali Saukah, M.A., Ph.D., Wakil: Drs. M. Guntur Waseso, Penyunting Pelaksana: Prof. Suhadi Ibnu, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Amat Mukhadis, M.Pd, Prof. Effendy, Ph.D., Drs. Margono, M.Pd., M.Si, Dr. Imam Agus Basuki, M.Pd, Dr. Suyono, M.Pd, Dr. Yazid Basthomi, M.Pd, M.A., Utami Widiati, M.A., Ph.D., Drs. Ahmad Samawi, M.Hum, Pelaksana Tata Usaha: Amin Sidiq, Aminarti S. Wahyuni, Ma’arif, Akhmad Munir, Ony Herdianto, Dony, Yamin, Wiwik, Pembantu Pelaksana TU: Prihatini Retnaningsih, Syamsul Bakhri, dan Imam Gozali. Sekretariat berada di Subag Sistim Informasi, Bagian PSI, BAAKPSI, Gedung A2 lantai 2 UM.

JIP dibawah pembinaan Tim Pengembang Jurnal Berkala UM telah melakukan satu upaya untuk menjadi rujukan dalam pengembangan dan pengelolaan jurnal untuk mencapai visi UM. Semoga di waktu yang akan datang jurnal terakreditasi di UM yang lain ada yang menyusul menjadi jurnal pembina.

Alamat Penyunting & Tata Usaha:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Malang (UM)
Gedung H2, Lantai 2, Jl. Semarang No 5 Malang 65145
Telp. (0341) 552-115
Homepage: http://journal.um.ac.id/index.php/jip
E-mail: mailto:jurnalilmupendidikan@gmail.com

Pemahaman Sekolah Masih Keliru Soal Program Akselerasi

$
0
0

Sri Harmianto, Sekum ISPI Banyumas

BANYUMAS, suaramerdeka.com – Pemahaman sekolah terhadap program kelas akselerasi selama ini, dinilai masih keliru. Keberadaannya lebih dianggap sebagai bagian dari upaya menciptakan kesan eksklusivitas terhadap sekolah tersebut.

”Dengan menyelenggarakan kelas akselerasi, harapannya sekolah akan dianggap sebagai sekolah unggulan, lantaran berisi siswa yang memiliki prestasi lebih dibandingkan yang lain,” kata Sekretaris Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Cabang Banyumas, Sri Harmianto, Senin (9/6).

Selain ingin menciptakan brand image sebagai sekolah unggulan, lanjut dia, tak jarang program tersebut justru dimanfaatkan oleh sekolah untuk menggali sumber-sumber pemasukan. Makanya hampir sebagian besar biaya yang harus ditanggung peserta didik di kelas akselerasi cukup besar.

Dia mengakui, secara teori pendidikan, keberadaan kelas akselerasi diperlukan. Pasalnya untuk menampung peserta didik yang memiliki prestasi lebih dibandingkan yang lain dengan waktu tempuh pendidikan lebih cepat.

”Siswa yang punya prestasi lebih, jumlahnya tidak banyak. Bahkan hanya segelintir orang. Jadi tidak seperti yang terjadi sekarang di beberapa sekolah dengan jumlah siswa yang mencapai puluhan orang,” tambah dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) tersebut.

Di luar negeri, lanjut dia, program kelas akselerasi diisi siswa yang benar-benar hebat, sehingga keberadaannya perlu pengawalan secara intensif. Oleh karena itu, kata dia, bila program kelas akselerasi tetap dipertahankan, maka pemerintah perlu membuat aturan yang jelas dan tegas dalam penyelenggaraannya.

”Kalau kelas akselerasi digelar, semestinya diisi siswa yang benar-benar memiliki prestasi istimewa dan bukan siswa yang berprestasi seperti pada umumnya,” jelasnya.

Sementara Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Banyumas, Joko Wiyono, mengatakan sampai saat ini keberadaan program kelas akselerasi masih tetap dipertahankan. Bahkan tidak hanya kelas akselerasi, saat ini di Banyumas juga ada sekolah yang menggelar kelas olahraga.

Beberapa sekolah yang menggelar program kelas akselerasi, di antaranya SMA 1 dan SMA 2 Purwokerto. Sedangkan sekolah yang menyelenggarakan program kelas olahraga adalah SMA 3 Purwokerto.

Agus Wahidin, Kasi Kurikulum Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Banyumas, menambahkan saat ini pemerintah terus mendorong supaya sekolah menyelenggarakan program pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PKPLK).

Untuk program layanan khusus, kata dia, dapat berupa kegiatan penyelenggaraan program bagi anak berkebutuhan khusus maupun program bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI) atau lebih dikenal dengan kelas akselerasi.
( Budi Setyawan / CN19 / SMNetwork )

Sumber : Suara merdeka

Guru Nirleka, Apa Kata Dunia?

$
0
0

Oleh : Heni Purwono
Guru SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, Juara Lomba Best Practice Guru Tingkat Nasional

Heni Purwono

Bagi sejarahwan dan khususnya bagi guru sejarah, tentu mengenal betul salah satu pembabagain sejarah yang bernama Nirleka. Zaman Nirleka disebutkan sebagai zaman ketika manusia belum mengenal tulisan. Berasal dari suku kata nir yang bermakna tidak ada, dan leka yang berarti tulisan. Zaman tersebut ditandai dengan kehidupan yang masih primitif, dan aneka ciri lain yang menunjukan bahwa kehidupan masa Nirleka jauh dari yang namanya kehidupan ilmiah. Hampir semuanya kehidupan disetir oleh naluri saja.

Di Indonesia, kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa zaman Nirleka telah berakhir pada abad kelima, ketika ditemukan bukti tulisan di atas sebuah Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Penemuan ini menunjukan bukti bahwa pada abad itu sudah ada sebuah karya tulis dari anak manusia Indonesia. Namun sadarkah kita bahwa jika pembabagan zaman Nirleka dengan pokok penekanan masa sebelum mengenal tulisan, maka ternyata sampai saat ini, kita kebanyakan, bahkan guru sejarah yang senantiasa mengajarkan materi zaman Nirleka, sesungguhnya masih hidup di zaman Nirleka?

Ya, guru tanpa menuliskan sesuatu sebagai bukti keberadaan diri dan pemikiran, tentu sama halnya secara sederhana kita sebut sebagai guru zaman Nirleka. Karena jika kita amati bersama, hasil karya tulisan itulah yang dijadikan sebagai dasar rujukan atau bukti bahwa zaman Nirleka telah berakhir. Jika saat ini guru-guru sepanjang hayatnya tidak menghasilkan karya berupa tulisan yang dapat diwariskan sebagai hasil perasan otaknya, bukankah sama saja sang guru tersebut adalah produk guru zaman Nirleka?

Nampaknya memang kesimpulan seperti ini terlalu ekstrim, namun sebagai pancingan awal bahwa menulis sebagai sebuah puncak aktivitas intelektual dan kebudayaan manusia, tak hanya guru, maka rasanya sangat tepat jika analogi guru zaman Nirleka ini saya ungkap sebagai kritik dari dalam bagi kita sendiri, para guru.

Menara Gading yang Tak Retak
Kejadian guru zaman Nirleka sesungguhnya bukanlah salah guru sebagai pribadi semata. Namun, ini merupakan sebuah lingkaran setan, atau lebih tepatnya “kecelakaan karambol” yang sudah dimulai ketika si guru menimba ilmu di kampusnya. Simaklah para akademisi tinggi (baca: dosen) bergelar professor ataupun doktor, yang saat ini mendapat label “menara gading”. Hal itu tentunya terkait dengan keilmuan mereka yang seringkali tidak aplikatif dengan kehidupan nyata dalam masyarakat. Padahal, paling tidak mereka sudah menelorkan gagasan melalui karya formal mereka dalam tulisan-tulisan ilmiah sebagai prasyarat mendapat gelar akademis mereka.

Nah, bagi kita guru di tingkat sekolah dasar dan menengah, tentunya menjadi kecelakaan besar, bukan saja hanya patut dijuluki menjadi “menara gading”, namun juga “menara gading yang tak retak”. Ya, menara gading yang sempurna tanpa karya. Meski karya dalam hal ini tidak melulu harus diukur dari karya berupa tulisan, tapi paling tidak itulah karya kasat mata yang dapat menunjukan keberadaan kita.

Sering kali guru-guru (produk) lama, ketika kuliah, hanya dibekali dan membekali diri dengan kemampuan mengajar semata. Bahkan karya skripsi sebagai semacam paksaan bagi para calon guru untuk menghasilkan sebuah karya tulis, juga baru beberapa tahun belakangan diterapkan. Sehingga tak aneh jika ada seorang guru yang seumur hidupnya tidak pernah menghasilkan sebuah karya tulis satu pun, kecuali goresan kapur di papan tulis yang tiap hari di hapusnya. Ini tentunya berlaku bagi guru produk lama yang memang kebijakan saat itu belum mewajibkan karya skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan di LPTK.

Bagi guru produk baru pun, yang skripsi merupakan sebuah tugas yang fardhu ain, banyak juga yang menghasilkan karya skripsi sebagai syarat kelulusan sekadar formalitas belaka. Sehingga, jika kita amati tidaklah mengherankan jika banyak saat ini jasa pembuatan skripsi. Hal itu membuktikan betapa tingginya penyakit kemalasan menulis di satu sisi, dan betapa rendahnya kemampuan menulis mahasiswa kita di sisi lainnya.

Makin diperparah kondisi pendidikan tinggi bagi calon guru ini, ketika dosen yang mengajar para calon guru adalah mereka-mereka yang juga tidak memberi keteladanan terhadap budaya kepenulisan. Ini terbukti dengan referensi dosen yang ketika mengajar senantiasa menggunakan buku bukan karangan sendiri. Dan kacaunya lagi, dosen-dosen kita sering kali juga menciptakan kesan bahwa menulis itu memang sulit, dengan menyatakan berbagai macam aturan ilmiah yang menggunakan aturan secara konvensional pada kelompok tertentu sebagaimana karya ilmiah (Gillet, 2003, dalam Yunita dkk. 2007) yang pada akhirnya memenjara dan menakut-nakuti para calon guru untuk mulai menulis.

Para dosen dari para calon guru yang seharusnya memberikan keteladanan, justru mereka yang membunuh keinginan para calon guru untuk menulis. Jarang dari para dosen kita yang memperkenalkan bentuk tulisan popular yang lebih luwes, sebagai sarana latihan bagi para calon guru sebelum mereka menghasilkan karya tulis ilmiah yang lebih terikat. Pada akhirnya guru-guru yang dihasilkan pun menjadi guru yang terbiasa dengan verbalistik semata, terbiasa menjadi pembaca, dan terbiasa menjadi penonton ilmu tentunya, tanpa pernah berkontribusi menuangkan gagasannya dalam tulisan.

Berkah Akhirat, Berkah Dunia
Padahal jika para guru mau berkarya dengan tulisan, apa yang diyakini oleh dogma agama bahwa ilmu yang bermanfaat menjadi sebuah pahala yang terus mengalir meski kita telah tiada, bukankah akan lebih langgeng ilmu-ilmu bermanfaat tersebut jika kita tuliskan dan menjadi warisan di masa yang akan datang? Bukankah jika kita telah tiada maka karya kitalah yang akan menjadikan kita akan tetap diingat orang? Bandingkan jika kita hanya mengandalkan verbalistik semata kita mengajar. Tentu hanya dari getok tular (dari mulut ke mulut) saja ilmu kita yang akan diserap orang lain selain siswa yang ada di dalam kelas kita. Berbeda tentunya ketika kita menghasilkan karya tulis, di media atau buku misalnya, maka kelanggengan dan aksesibelitas ilmu kita tentunya akan diserap oleh lebih banyak orang yang membacanya, tak terbatas dalam ruang kelas yang guru ampu.

Jika para guru ingin tak hanya berkah akhirat (pahala) namun juga berkah dunia (menjadi kaya) dengan menulis, itu pun hal yang sangat mungkin dilakukan dengan jalan menulis. Dapat dibayangkan, untuk tulisan di media masa semacam Kompas misalnya, honor yang didapatkan sekali tulisan dimuat dapat mencapai nilai setara dengan gaji satu bulan guru kontrak atau Guru Tidak Tetap di sekolah swasta nonbonafid. Jika menulis di Suara Guru Suara Merdeka, maka cukuplah sekali muat dapat untuk membeli dua buah buku. Dan jika menulis di Wawasan yang honornya relatif paling kecil, paling tidak bagi Anda guru yang ibu-ibu, maka akan cukup untuk sekadar membeli susu untuk ankanya. Namun tentunya persaingan di media masa ini cukup berat, mengingat tak hanya guru saja yang mengirimkan tulisan ke media masa.

Akan lebih mudah lagi sebenarnya, jika Anda terjun menjadi penulis buku teks pelajaran. Meski besaran royalti hanya berkisar 3-5 persen, tetapi ketika dinominalkan bisa menembus angka jutaan rupiah. Hal ini wajar mengingat pasar dan cakupannya demikian luas dibandingkan jika Anda menulis buku umum. Contoh sederhananya, jika Anda menulis satu saja buku pelajaran matematika untuk SMA kelas 10 semester gasal. Di kota Semarang saja, ada tidak kurang dari 79 SMA, baik negeri maupun swasta. Jika tiap sekolah kita ambil jumlah minimal siswa kelas satu adalah 300 siswa saja, maka total ada 23.700 siswa. Jumlah itu dapat dikatakan adalah jumlah eksemplar buku yang bakal terjual. Itu baru kelas satu di kota Semarang. Belum kota-kota lain. Belum propinsi lain. Dan yang terpenting: 99,9 persen, buku pasti laku. Terlebih jika Anda sudah memiliki jaringan distribusi yang luas, maka tinggal menunggu saja rupiah mengalir ke kantong Anda (Agus M Irkham, 2008).

Jurnalisme Warga, Wadah Latihan Penulis Pemula
Jika para penulis pemula, utamanya guru ingin belajar menulis di media masa, sebenarnya tak ada lagi alasan tidak ada wadah media penampung. Saat ini salah satu wadah yang cukup efektif sebagai wahana latihan menulis adalah jurnalistik warga atau yang dikenal sebagai citizen journalism. Lebih-lebih dengan tren jurnalisme pembangunan intelektual dewasa ini, menjadikan warga masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan pemahaman melalui partisipasi aktif dalam konteks sosial (Hikmat Kusumaningrat, 2006).

Jurnalisme warga dalam bentuk tulisan, dengan aneka konfergensinya, entah dalam media cetak (opini, surat pembaca, SMS warga) maupun media elektronik seperti internet, bagi seorang guru seharusnya menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan untuk melatih diri membuat tulisan. Hal ini penting, selain untuk menyebarluaskan pengetahuan, agar tidak hanya pengetahuan kita berada di bangku-bangku kelas, juga sebagai wahana membiasakan diri menulis untuk kalangan umum.

Semakin sering menuliskan pemikiran dalam media, maka akan semakin sering pengetahuan kita yang dibaca orang lain. Dan biasanya, hal tersebut akan semakin “memaksa” kita untuk terus menerus memperbarui pengetahuan yang kita miliki. Terlebih jika tulisan kita di media internet yang dapat juga dikomentari langsung oleh para pembaca melalui kolom komentar, akan semakin menjadikan kita tahu di mana titik kelemahan tulisan kita, dengan bersumber dari komentar pembaca yang ada. Tak jarang seorang penulis kenamaan di media bahkan mengawali karier kepenulisannya mulai dari hal-hal yang kelihatannya sepele seperti surat pembaca, kemudian berkembang menjadi penulis opini maupun artikel yang hebat. Karena bagaimanapun menulis dengan ”nafas panjang” seperti opini maupun artikel lain, tentunya butuh latihan kebiasaan pemilihan kata, tabungan kekayaan kata, dan juga kelihaian merangkai kata agar tulisan menjadi lebih jelas, runtut, dan mudah dipahami maksudnya.

Tak hanya media masa yang publikasinya luas, bahkan semisal majalah internal sekolah ataupun majalah dinding (Mading) di sekolah kita pun dapat menjadi wahana yang efektif untuk latihan kita menulis. Sangat sayang jika media-media tersebut nganggur tidak kita berdayakan. Selain kita menuangkan gagasan dan pemikiran, tulisan kita yang dipublikasikan di sekitar lingkungan kita, tentunya juga akan menjadikan kita secara tidak langsung memberi keteladanan kepada murid-murid untuk gemar menulis. Jangan sampai kita layaknya korban perpeloncoan di kampus, yang melakukan balas dendam terhadap murid-murid kita karena kita dulu tidak pernah diajari menulis oleh para dosen kita. Semangat bahwa guru bermakna “di gugu” dan “di tiru” (dipercaya dan dicontoh) harus kita pegang, bahwa kita akan memberi contoh gemar menulis kepada siswa.

Berani menulis? Berani!
Setelah media latihan menulis ada, sering kali pertanyaan yang muncul di benak kita belakangan adalah: kita akan menulis apa? Ataupun: apakah saya bisa menulis? Dan aneka pertanyaan lain yang menunjukan ketidak percayaan diri. Bagi seorang penulis pemula, ada baiknya mendalami kata-kata yang di ungkapkan oleh W.S Rendra (dalam M Agus Irham, 2008) ini:
“Penulis harus secukupnya saja menyesali kegagalan atau mensyukuri kesuksesan. Ia tidak boleh terjerat oleh sukses atau kegagalan karyanya. Kegemaran berkokok atas suatu sukses atau menangis pilu karena suatu kegagalan akan menyebabkan ia kerdil. Pikiran dan jiwa tak lagi merdeka tanpa beban, sehingga kemurnian jiwa sukar lagi didapatkan. Pada hakikatnya, seorang penulis harus memahami bahwa nama itu kosong dan ketenaran itu hampa, hanya jalan hidup yang nyata”.
Ungkapan Rendra nan puitis tersebut kiranya tak hanya harus dipegang penulis pemula, namun juga mereka-mereka yang telah terbiasa menulis. Karena bagaimanapun, bukan tidak mungkin seorang penulis pemula langsung melesat ke angkasa (Andrea Hirata sedang mengalaminya), namun di sisi lain ada kalanya juga penulis yang terbiasa menulis dalam suatu saat justru mengalami kebuntuan ide dan tak mampu menggoreskan lagi penanya (Ahmad Tohari pernah mengalaminya). Sehingga dapat dikatakan bahwa cara terbaik adalah senantisa belajar, belajar, dan belajar. Utamanya bagi pemula, maka cara terbaik untuk belajar menulis adalah menulis! Dan untuk itu, tak ada hal lain selain berani untuk memulai menulis!

Jika keberanian menulis telah ada, maka hal berikutnya tinggal memoles agar tulisan kita menjadi lebih baik. Tulisan yang baik dan berbobot biasanya akan datang dari ketekunan kita menggali bahan tulisan. Setelah ada bahan dan ide, maka yang diperlukan selanjutnya adalah kepiawaian atau kemahiran kita menulis. Kepiawaian menulis tersebut meliputi pemilihan topik, enggel, dan struktur tulisan yang tepat. Hal lain yang patut diperhatikan adalah tepat memilih dan menempatkan sifat tulisan, seperti tulisan untuk advokasi, partisipasi, investigasi, manusiawi, humor, dan lain sebagainya tentu saja berbeda sifatnya. Dan yang tak kalah penting adalah kemahiran berbahasa tulis, yaitu menggunakan bahasa bukan seperti bahasa lisan, bahasa SMS, bahasa gaul, dan sebagainya (Tonny Widyastono, 2008).

Karena tulisan kita ditujukan untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri, maka tulisan kita harus mudah dimengerti. Hal paling efektif yang dapat kita lakukan sebelum kita mempublikasikan tulisan kita agar mengetahui apakah tulisan kita sudah mudah dipahami oleh orang lain atau belum, maka perlu kita baca kembali isi seluruh tulisan dan kemudian kita renungkan dan kita koreksi. Selain itu kita juga dapat meminta kepada orang lain untuk mengkoreksi tulisan kita. Nah, diusahakan orang kita pilih untuk menguji kepahaman pembaca mengenai tulisan kita adalah orang yang paling (maaf) bodoh disekitar kita. Jika orang seperti itu sudah paham dengan maksud tulisan kita, maka sangat mungkin bahwa tulisan kita akan mudah difahami oleh orang lain.

Kini aneka media baik cetak maupun elektronik telah tersedia di sekitar kita sebagai wahana penyaluran intelektualitas melalui tulisan. Buku tentang ketrampilan kepenulisan sebagai bahan pembelajaran juga tak terhitung lagi jumlahnya. So, jika kita sebagai guru masih saja terbelenggu dalam masa Nirleka, apa kata dunia?
***

Rujukan Tulisan:
Irkham, Agus M. 2008. Best Seller Sejak Cetakan Pertama. Surakarta: Afra Publishing.
Winarto, Yunita T. 2007. Karya Tulis Ilmiah Sosial: Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya. Jakarta: Yayasan Ombak Indonesia.
Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2006. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Jakarta. PT Remaja Rosdakarya.
Widyastono, Tonny. 2008. Menulis Artikel (Materi Pelatihan Penulisan Harian Umum Kompas). Semarang: Tidak diterbitkan.

Tantangan Guru di Era Jokowi

$
0
0

Oleh : Afriantoni, M.Pd.I.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang dan Pengurus ISPI Sumatera Selatan

Afriantoni

Hari guru di era Presiden Jokowi adalah hari pertamanya. Tentu seharusnya dunia pendidikan bersuka cita menyambut hari kebanggaan ini. “Hari Guru Nasional” jatuh pada tanggal 25 November. Lumrah diketahui bahwa Hari Guru Nasional diperingati bersama hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, tapi dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.

Dalam menyambut kebahagiaan memperingati hari guru ini tersimpan persoalan kebangsaan dan juga janji Jokowi terhadap dunia pendidikan dan menjadi tantangan bagi guru. Di era Jokowi sekarang, guru memiliki tantangan diantaranya : tantangan implementasi kurikulum 2013, tantangan revolusi mental dan tantangan beban metal akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Tantangan ini sudah sepatutnya untuk dinikmati dan dirasakan oleh guru. Betapa pun demikian guru harus siap sedia untuk menghadapi masalah dan tantangan di depan mata tersebut. Guru harus tetap mendidikan anak bangsa dengan rasa dan hati nurani.

Tantangan implementasi kurikulum 2013 telah menjadi diskusi khusus bagi guru di lapangan. Bagaimana tidak, masih banyak guru kesulitan dalam implementasi kurikulum 2013. Bahkan beberapa kalangan dan pakar pendidikan mengatakan bahwa Kurikulum 2013 seolah dipaksakan, tergesa-gesa, dan kurang persiapan.

Namun di sisi lain, kurrikulum 2013 ini sudah baik karena membuat siswa menjadi aktif dan kreatif dalam berpikir, sehingga membuat mereka menjadi siswa yang berusaha menjadi cerdas. Namun disayangkan persiapan belum sempurna, dan kurangya pemerataan untuk pelatihan. Sehingga kesiapan SDM guru masih sangat jauh dari kata “sukses’.

Oleh karena maraknya keluhan tersebut, maka kurikulum 2013 oleh Mendikdasmen Anies Baswedan dinilai membingungkan guru dan murid. Kurikulum tersebut akan ditangguhkan sementara pembelajaran di sekolah. Solusinya akan dikembalikan ke KTSP (Kurikulum 2006). Tahun depan akan diadakan content analysis terhadap Kurikulum 2013. Pada tanggal 20 November, Mendikbud mengundang seluruh Kepala Dinas Provinsi dan Kab/Kota se-Indonesia, dimana intinya ingin menyampaikan kepada mereka bahwa mereka bukanlah perpanjangan tangan dari kekuasaan Gubernur dan Bupati/Walikota. Mereka seharusnya melaksanakan visi misi Kemendikbud yang tertuang dalam Renstra Kemendikdasmen.

Oleha karena itu, keberlanjutan nasib Kurikulum 2013 ada di tangan tim evaluasi. Berdasarkan penuturan Mendikdasmen Anies Baswedan bahwa tim evaluasi yang ditunjuk untuk bekerja melakukan peninjaun terhadap permasalahan-permasalahan dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah orang-orang yang paham dan mengerti betul tentang kurikulum. Hasil keputusan tim evaluasi sangat ditunggu-tunggu oleh semua pihak terutama guru, siswa dan para orang tua murid. Semoga tim evaluasi bisa memutuskan yang terbaik buat semuanya tanpa ada yang merasa dirugikan.

Selanjutnya, hal yang paling penting dalam dunia pendidikan yakni tantangan revolusi mental yang merupakan janji publik Presiden Jokowi. Namun, secara fakta di Indonseia dalam beberapa bulan belakangan tercatat delapan kasus pembunuhan sadis di negeri tercinta. Pelakunya sangat variatif dari anak-anak, remaja belasan tahun sampai usai dewasa. Artinya, hampir merambah semua usia. Penyebabnya pun sangat sederhana dari impitan ekonomi, cemburu, sampai sakit hati. Motif sederhana ini kalau dikaji akan mempertanyakan proses pembelajaran di ruang-ruang kelas. Pendidikan sebagai jantung pertahanan setiap individu di negeri ini seolah harus menerima kenyataan pahit dan ikut serta bertanggung jawab atas fenomena pembunuhan tersebut. Terakhir pembunuhan sadis Sri Wahyuni yang mati tangan selingkuhannya di Bandara Soekarno-Hatta.

Selain itu, berdasarkan fakta menunjukkan bahwa pelecehan seksual anak telah mendapatkan perhatian publik dalam tahun ini, hal ini disebabkan oleh kasus pencabulan atau sodomi yang dialami anak TK di Jakarta International School (JIS) yang notabenenya sekolah bertaraf internasional. Maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan dan perlindungan bagi anak-anak.

Dalam catatan media online diperoleh data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak. Baik secara seksual, fisik maupun eksploitasi seksual komersil. Sejak Januari hingga Oktober 2013, jumlah kasus tersebut mencapai 525 kasus atau 15,85 % dari kasus yang ada. Ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan, pada 2012 terdapat 746 kasus. Jumlah ini meningkat 226 persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus sebanyak 329 kasus. Data-data ini dihimpun dari pengaduan masyarakat yang masuk ke KPAI. Cara pengaduan tersebut yakni melalui pengaduan langsung, surat, telepon, email dan berita. Dari data tersebut dapat disimpulkan berdasarkan hasil pantauan KPAI selama tiga tahun, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulan.

Situasi ini telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi sampai dengan sekarang. Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini menambah deretan permasalahan bangsa ini. Kasus ini membuktikan bukan hanya lemahnya terhadap pengawasan orang tua, lalainya lingkungan sekolah dalam menjaga keamanan dan kenyamanan anak didiknya. Akan tetapi juga penyebab intinya mengapa pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak belakangan ini. Tentu hal ini semakin tidak masuk akal karena korbannya bukan hanya terjadi bagi anak perempuan saja tapi juga anak laki-laki, sehingga wajar saja kalau sebagian masyarakat beranggapan perilaku para pelaku ini adalah seks yang menyimpang.

Maka dari itu kasus kekerasan seksual semacam ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, bukan hanya menjadi tugas orang tua di rumah dan tugas guru di sekolah untuk mengawasinya, tetapi harus diwaspadai oleh semua unsur masyarakat di setiap lingkungan sekitar, selain itu tentunya peran pemerintah, KPAI, dan polisi agar lebih meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi, melindungi dan menindak kasus-kasus kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun. Jangan ada toleransi terhadap para pelaku yang sudah jelas terbukti, jerat dengan hukum seberat-beratnya berdasarkan hukum yang berlaku, karena kekerasan terhadap anak apa pun bentuknya akan sangat berpengaruh terhadap mental dan perilakunya ke depan.

Jadi ke depan pemerintah harus melakukan revolusi mental secara nyata. Revolusi mental jangan hanya dijadikan sebagai slogan semata. Pemerintah harus mencegah faktor-faktor dan pemicu kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi, seperti memperketat pengawasan baik dilingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah, lalu memberikan pemahaman kepada anak tentang pendidikan seks sejak dini, mereka harus diberi tahu bagian-bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang orang lain. Kemudian para penegak hukum juga harus berani menjatuhkan hukuman secara maksimal kepada para pelaku kejahatan seksual, apalagi korbannya menimpa anak-anak yang merupakan asset bangsa.

Selanjutnya, tantangan kenaikan harga BBM. Presiden Joko Widodo, memberitahukan bahwa mulai Selasa, 18 November 2014 tepat pukul 00.00, Bahan Bakar Minyak (BBM), tidak lagi bersubsidi. Sehingga, mengalami kenaikan hingga dua ribu. Tentu banyak pro dan kontra terhadap pencabutan subsidi ini. Rakyat banyak yang gempar dan menggalakkan aksi penolakan dengan mengadakan demo.

Kenaikan BBM yang memicu kenaikan harga barang-barang kebutuhan yang lain dan dampaknya sangat meluas. Masalahnya bukan hanya di dua ribu rupiah, melainkan harga barang-barang lain yang ikut naik. Untuk orang yang pendapatannya tetap maka akan tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Guru pun demikian. Guru menjadi bagian dari masyarakat yang menerima dampak BBM dengan mencukupkan diri dengan pendapatan yang ada. Apalagi bagi guru yang menggunakan jasa transportasi umum. Otomatis biaya transportasi naik. Pengeluarannya jadi bertambah. Nasib guru juga menjadi sama dengan para guru pabrik, tunjangan sertifikasi belum mampu mencukupi biaya dengan kenaikan harga yang cukup tinggi tersebut.

Harus jujur kita akui bahwa guru sebagai garda terdepan dalam melakukan revolusi mental setelah orang tua siswa. Kenaikan harga BBM seharus menjadi pemicu guru untuk mereguh kembali kejayaannya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” dan panutan siswa. Menyongsong peringatan hari guru semoga mampu menghadapi tantangan yang ada di depan mata. Semoga jasamu tidak terabaikan wahai pahlawanku. Jasamu tiada tara. Engkaulah pelita yang menebarkan cahaya. Engkau patriot pahlawan bangsa. Sungguh engkau adalah sosok pencipta generasi gemilang.
***


Model Pembinaan Pendidik Profesional (Suatu Penelitian dengan Pendekatan Lesson Study pada Guru-Guru Sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo)

$
0
0

Oleh : Dr. Tjipto Subadi
Dosen pada Pendidikan Geografi, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Sekretaris III PP ISPI 2014-2019

Abstrak
Tujuan penelitian ini mendiskripsikan; 1) identifikasi permasalahan peningkatan profesional guru-guru sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo melalui lesson study, 2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas guru tersebut, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis, paradigmanya definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro, subjek penelitiannya kepala dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, anggota DPRD. Teknik pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara, sedangkan teknik analisis datanya menggunakan fist order understanding dan second order understanding. Kesimpulan penelitian ini: 1) terdapat empat masalah dalam upaya meningkatkan profesionalitas pendidik yaitu: permasalahan internal, eksternal, komitmen dan kemauan guru 2) Langkah-langkah lesson study yang efektif adalah lesson study berbasis research PTK (Penelitian Tindakan Kelas); dengan tahapan plan-do-see; dikoordinasikan melelui MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), implentasi lesson study berbasis MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran.
Kata Kunci: peningkatan, profesional, pendidik, lesson study, validasi, model

Latar Belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan Negara lain, Balitbang (2003) mencatat bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Khusus  kualitas guru (2002-2003) data guru yang layak mengajar, untuk SD hanya 21,07 % (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 % (negeri) dan 60,09 % (swasta), untu SMA 65,29 % (negeri) dan 64, 73 % (swasta), serta untuk SMK 55,49% (negeri) dan 58,26 % (swasta). (Subadi, 2009)

Data rendahnya mutu pendidikan tersebut menunjukkan ada masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pertama; masalah mendasar adalah kesalahan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua; masalah yang berkaitan dengan model pembinaan guru dan strategi pembelajaran. Ketiga; masalah lain yang berkaitan dengan aspek praktis penyelenggaraan pendidikan, antara lain; biaya, sarana dan prasarana, kesejahteraan guru.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain; pemerintah telah menetapkan UU RI, Nomor 14 Tahun 2005 tantang Guru dan Dosen. UU ini menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru atau dosen, agar guru atau dosen menjadi profesional. Pada satu pihak, pekerjaan sebagai guru atau dosen akan memperoleh penghargaan yang lebih tinggi, tetapi pada pihak lain pengakuan tersebut mengharuskan guru atau dosen memenuhi sejumlah persyaratan standar minimal sebagai seorang professional yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan kompetensi.

Kualifikasi akademik harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program S1 atau D4. Sertifikat pendidik harus diperoleh melalui pendidikan profesi. Sedangkan jenis kompetensi yang dimaksud pada UU tersebut meliputi, Kompetensi pedagogik, Kompetensi kepribadian, Kompetensi sosial, dan Kompetensi professional.

Selain perangkat UU, lesson study yang dikembangkan di Jepang tersebut bisa dijadikan sebagai anternatif model pembinaan guru di Indonesia. Lesson study dalam penelitian ini dimaksudkan suatu proses pelatihan guru yang bersiklus, diawali dengan guru berkolaborasi dengan guru lain melakukan kegiatan pembelajaran bersiklus melalui tiga tahap; plan-do-see.

Permasalahannya; 1) Bagaimana mengidentifikasi permasalahan peningkatan profesional guru-guru sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo melalui lesson study, 2) Bagaimana langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas guru tersebut.

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan; 1) identifikasi permasalahan peningkatan profesional guru-guru sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo melalui lesson study, 2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas guru tersebut.

Peningkatan profesionalitas pendidik dimaksudkan peningkatan kualitas tugas guru utamanya pembelajaran, dalam arti usaha untuk menjadikan pembelajaran lebih baik sesuai dengan keadaan yang diinginkan, kriterianya bersifat normatif yaitu hasil tindakan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan kualitas pembelajaran yang berpengaruh positif kepada prestasi akademik siswa. Pembelajaran seperti  ini pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Dalam upaya guru meningkatkan profesionalisme dalam proses pembelajaran menurut Harta (2009: 9-14) seorang guru memiliki perang sebagai sumber belajar, fasilitator, organisator, demonstrator, canselor, motivator dan evaluator.

Dr. Tjipto Subadi (berkopiah putih) saat menjadi tim formatur Munas VII ISPI 2014

Untuk menjadi guru professional diperlukan pembinaan secara intensif, model pembinaan guru yang telah berhasil adalah lesson study. Lesson Study merupakan model pembinaan guru profesional yang dikembangkan di Jepang sejak tahun 1900-an, Di Jepang lesson study bisa dilaksanakan oleh kelompk guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok guru sebidang pelajaran sejenis, seperti MGMP (di Indonesia). Kelompok guru dari beberapa sekolah berkumpul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di Jepang adalah yang diselenggarakan oleh suatu Sekolah dan dikenal sebagai konaikenshu. Konaikenshu juga dibentuk oleh dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah dan kata kenshu yang berarti tranning. Jadi istilah konaikenshu berarti school-based in-service training atau in service education within the school atau in house workshop.

Pada tahun 1970-an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari konaikenshu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu dengan menyediakan dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan.  Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang melaksanakan konaikenshu. Walaupun pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan biaya bagi sekolah untuk melaksanakan konaikenshu tetapi kebanyakan sekolah melaksanakan secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya. Lesson study di Indonesia. Lesson study berkembang di Indonesia melalui IMSTEP (Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project) yang diimplemantasikan sejak Oktober tahun 1998 di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP Yogjakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta/UNY) dan IKIP Malang (sekarang bernama Universitas Negeri Malang /UNM) bekerja-sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuan Umum dari IMSTEP adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di Indonesia, sementara tujuan khususnya dalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA ditiga IKIP yaitu IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang. Pada permulaan implementasi IMSTEP, UPI, UNY, dan UM, dulu bernama IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang. .(Tim  LS UPI, 2007: 20-21).

Lesson study dalam perkebangan ilmu dan teknologi di Indonesia terutama dalam hal research oleh para peneliti digunakan sebagai desain penelitian lesson study berbasis PTK (Penelitian Tindakan Kelas) yang dapat dilaksanakan dalam beberapa macam. Mengacu pendapat Kemmis dan McTaggart (1997) ada tiga macam lesson study berbasis PTK, yakni (1) lesson study berbasis PTK yang dilakukan secara individual (2) lesson study berbasis PTK yang dilakukan secara kolaboratif, dan (3) lesson study berbasis PTK yang dilakukan secara kelembagaan.

Lesson study berbasis PTK yang dilakukan secara individual dimaksudkan seorang guru yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, guru harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti guru yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan  menarik kesimpulan hasil penelitian.

Lesson Study  berbasis PTK yang dilakukan secara kolaboratif, melibatkan sekelompok guru sehingga ada guru sebagai peneliti dan ada guru sebagai praktisi, dapat pula dilakukan kolaborasi antara guru dengan dosen. Dalam kolaborasi antara guru dan dosen, permasalahan digali bersama di lapangan, dosen dapat sebagai inisiator untuk menawarkan pemecahan atas dasar topik area yang dipilih. Dalam hal ini validitas penelitian lebih terjamin karena ada posisi sebagai peneliti dan posisi sebagai praktisi.

Lesson Study berbasis PTK yang dilakukan secara kelembagaan, dilakukan dalam bentuk PTK individual ataupun dalam bentuk kolaboratif dan memiliki skop terbatas atau berfokus pada topik area yag sempit, misalnya; penelitian hanya berfokus pada hubungan antara proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai.  PTK yang dilakukan secara kelembagaan memiliki skop penelitian yang lebih luas dan ditujukan untuk perbaikan lembaga. Dengan demikian dalam satu penelitian dapat ditetapkan beberapa topik area. Dalam PTK yang dilakukan secara kelembagaan melibatkan kolaborasi secara luas  melibatkan banyak pihak yang terkait, sisalnya melibatkan siswa, guru, karyawan, orang tua, kepala sekolah, dinas, dan dosen  perguruan tinggi, dan stakeholder ataupun yang lainnya.

Tujuan utama PTK yang dilakukan secara kelembagaan adalah untuk memajukan lembaga. Oleh karena itu, dapat dibuat kelompok-kelompok peneliti menurut topik-topik area yang relevan dengan kelompok yang bersangkutan. Menurut Kemmis dan McTaggart (1997) dalam PTK bentuk ini kelompok-kelompok kecil yang ada di dalamnya dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk menguji beberapa inovasi untuk permasalahan yang ada.

 

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis, paradigmanya definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Tempat penelitian di Sekolah-Sekolah Muhammadiyah Kapupaten Sukoharjo. Waktu penelitian Maret-November 2014. Subjek penelitiannya Kepala Dinas pendidikan, Kepala Sekolah, guru, siswa. Teknik pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara, sedangkan teknik analisis datanya menggunakan teori  fisrt order understanding dan second order understanding (Subadi 2013). Analisis data menggunakan tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Anggit seorang  guru  Matematika di SMK Muhammadiyah Sukoharjo menjelaskan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh guru-guru Sekolah Muhammadiyah Sukolarjao antara lain; permasalahan internal, permasalahan ini berasal dari guru, misalnya; kemampuan guru dalam pengembangan kurikulum menjadi pembelajaran berkualitas, kemampuan guru dalam pengembangan instrumen penilaian hasil pembelajaran berkualitas, kemampuan guru dalam penguasaan micro teaching sebagai in service training dan pre service training bagi guru, kemampuan guru dalam penguasaan konsep keilmuan dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran inovatif, dan  kemampuan guru dalam penguasaan lesson study sebagai model untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sedangkan permasalah ekternal, permasalah ini berasal dari siswa, kepala sekolah, pengawas, lingkungan, kurikulum, sarana dan prasarana, misalnya; kemampuan siswa dalam berinteraksi dengan guru, materi, media, dan sesama teman dan pola pengembangannya, kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi yang diajarkan guru, rendahnya frekuensi supervisi dari kepala sekolah/pengawas, potensi alam sekitar yang kurang mendukung kegiatan pembelajaran, sosialisasi pengembangan kurikulum yang kurang merata, terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah.

Menurut Sukirman, dosen pendamping pengembangan lesson study FKIP-UMS dan pakar lesson study UNY menjelaskan bahwa; banyak permasalahan peningkatan profesional guru dengan pendekatan LS, antara lain: Komitmen guru dalam melaksanakannya, melaksanakannya secara konsisten/ajeg, kebanyakan guru kurang ada kebiasaan membaca, kebanyakan guru hanya menyampaikan materi ajar, padahal kurikulumnya KBK. Selanjutnya Sukirman menekankan bahwa kunci kesuksesan lesson study, selain dipengaruhi oleh guru, juga dipengaruhi oleh Kepala Sekolah, Pengawas, yang didukung dana dari Dinas Pendidikan.

Menurut Trikuat, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menegah PDM Kabupaten Sukoharja menjelaskan; Permasalahan pelatihan untuk peningkatan kualitas pendidik adalah (1) kemauan guru/semangat guru, jika guru tidak meranga butuh berarti tidak akan muncul kemauan yang keras pada diri guru itu sendiri, maka maupun Dikdasmen mengadakan pelatihan kepada guru yang tidak memiliki kemauan yang keras maka hasil dari petihan tersebut tidak akan berhasil (2) implementasi setelah pelatihan, jika guru yang sudah mengikuti pelatihan tidak diikuti implentasi dalam melaksanakan tugas sehari-hari, maka pelatihan itu agan mengamali kegagalas.

Menurut Tulus Sutoyo, Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah Sukoharjo bahwa: Permasalah peningkatan kualitas pendidik di Sukoharjo itu tidak bisa lepas dengan K3S dan Pejabat Pendidikan (Kepala Dinas), karena model pembinaan guru dengan lesson study ini sifatnya alternatif bukan merupakan kebijakan dari atas yang wajib atau harus dilakukan.

Hasil angket yang peneliti berikan kepada beberapa guru-guru SLA Muhammadiyah  Kabupaten Sukoharjo bahwa permasalahan yang dihadapi guru SLA untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan  melalui lesson study adalah sebagai berikut; 1) kemampuan guru dalam pengembangan kurikulum menjadi pembelajaran berkualitas, 2) sumber belajar yang dimiliki dan pemanfaatannya, 3) interaksi pembelajaran dan pola pengembangannya, 4) pola pemanfaatan potensi alam sekitar untuk mendukung kegiatan pembelajaran, 5) pengembangan instrumen penilaian hasil pembelajaran berkualitas, 6) kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi yang diajarkan guru, 7) konsep-konsep keilmuan dan langkah-langkah inovasi pembelajaran, 8) penguasaan lesson study sebagai model untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh guru-guru Muhammadiyah di Kabupate Sukoharjo dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan melalui lesson study, terdapat 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Permasalaha Internal, permasalahan ini berasal dari guru, antara lain; (1) kemampuan guru dalam pengembangan kurikulum menjadi pembelajaran berkualitas, (2) kemampuan guru dalam pengembangan instrumen penilaian hasil pembelajaran berkualitas, (3) kemampuan guru dalam penguasaan konsep keilmuan dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran inovatif, dan (4) kemampuan guru dalam penguasaan lesson study sebagai model untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Permasalahan Eksternal, permasalahan ini berasal dari siswa, kepala sekolah, pengawas, lingkungan, kurikulum, sarana dan prasarana, misalnya; (1) kemampuan siswa dalam berinteraksi dengan guru, materi, media, dan sesama teman dan pola pengembangannya (2) kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi yang diajarkan guru (3) rendahnya frekuensi supervisi dari kepala sekolah/pengawas (4) potensi alam sekitar yang kurang mendukung kegiatan pembelajaran (5) sosialisasi pengembangan kurikulum yang kurang merata (5) terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah.

Berdasarkan hasil angket dapat paparkan bahwa tingkat kesulitan guru-guru Muhammadiyah  Sukoharjo dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan memalui lesson study sepeti tabel di bawah ini:

Tabel: Tingkat Kesulitan Guru dalam Pengembangan Model

Skor

Skor

Pertanyaan nomer

Jml

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

A

4 4 2 8 7 5 5

0

2 10 2 7 3 5 64

 B

11 11 8 8 8 10 12 6 6 7 6 7 8 2 110

C

9 10 10 9 9 8 8 13 16 6 12 11 10 5 125

D

5 2 4 5 5 6 3 10 4 4 7 4 5 4 68
Skor

J u m l a h

378

 

Dari tabel tersebut di atas menunjukkan bahhwa tingkat kesulitan sebagai berikut: Sangat banyak mengalami kesulitan, (62:378)x100% = 16,4%. Cukup banyak mengalami kesulitan,(108:378)x100%= 28,57%. Sedikit mengalami kesulitan, (125:378)x100% = 33,06%. Merasa sangat mudah, (68:378)x100% = 17,98%.

Pelaksanaan Lesson Study Yang Efektif di Sekolah-Sekolah Muhammadiyah berbasis PTK (Penelitian Tindakan Kelas), dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Tahap Plan (planning)/perencanaan. 2) Tahap Do (melaksanakan) atau implementasi (action) pembelajaran dan observasi. 3) Tahap refleksi (reflection) dan evaluasi terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. Seperti terlihat pada lampiran 1 foto siklus 1 dan 2.

Pespon siswa terhadap pembelajaran berbasis lesson study dari hasil angket dan wawancara kepada siswa peserta open lesson diperoleh keterangan sebagai berikut: sebelum pelaksanaan lesson study terdapat perbedaan yang signifikan dengan setelah pelaksanaan lesson study  yaitu; untuk SMA 15 %  dan 55% ,  SMK 20% dan 60%, seperti terlihat pada lampiran 2  Tabel 1.

Sedangkan menurut beberapa guru bahwa pelakasanaan lesson study di Sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo sangat baik sebagai pembinaan pendidik profesional dan  menyatakan setuju dengan program lesson study  kerena “terjadi peningkatan cukup signifikan pada kompetensi guru”, indikatornya; 1) perangkat pembelajaran menjadi lebih lengkap dan siap, 2)  penguasaan IT lebih meningkat, 3) metode dan strategi pembelajaran meningkat, hal ini dapat dilihat pada lampiran 3 Tabel  2.

Pada Tabel 2 itu terlihat bahwa pelaksaan lesson study di SMA dan SMK Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo masing-masing mencapai kategori standar 55 (positif) dan 59 (positif) dari kategori standar 60 (sangat positif), hal ini membuktikan bahwa lesson study sebagai model pembinaan guru untuk meningkatkan keprofesionalan sangat tepat dan perlu berkelanjutan.

Selain peningkatan kompetensi guru, secara umum pelaksanaan lesson study juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan perbaikan mutu guru, secara khusus kontribusi tersebut adalah kontribusi peningkatan persiapan pembelajaran; Kontribusi menumbuhkan kerja kolaborasi; Kontribusi pengembangan strategi pembelajaran; Kontribusi kolegialitas; Kontribusi kesiapan belajar siswa; Kontribusi perbaikan proses pembelajaran berdasarkan hasil refleksi; konstribusi pengembangan media pembelajaran; konstribusi pengembangan perangkat penilaian.

Oleh karena itu, implementasi program lesson study sebagai model pembinaan guru perlu dimonitor dan dievaluasi sehingga akan diketahui bagaimana keefektifan, keefesienan dan perolehan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Pembahasan
Permasalahan peningkatan profesionalitas pendidik dengan pendekatan lesson study pada guru-guru Sekolah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo antara lain: Pertama, Permasalahan internal, permasalahan ini berasal dari guru, misalnya; kemampuan guru dalam pengembangan kurikulum menjadi pembelajaran berkualitas, kemampuan guru dalam pengembangan instrumen penilaian hasil pembelajaran berkualitas, kemampuan guru dalam penguasaan konsep keilmuan dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran inovatif, dan kemampuan guru dalam penguasaan lesson study sebagai model untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kedua, Permasalah ekternal, permasalah ini berasal dari siswa, kepala sekolah, pengawas, lingkungan, kurikulum, sarana dan prasarana, misalnya; kemampuan siswa dalam berinteraksi dengan guru, materi, media, dan sesama teman dan pola pengembangannya, kemampuan siswa dalam penguasaan kompetensi yang diajarkan guru, rendahnya frekuensi supervisi dari kepala sekolah/pengawas, potensi alam sekitar yang kurang mendukung kegiatan pembelajaran, sosialisasi pengembangan kurikulum yang kurang merata, terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah.

Ketiga, Komitmen guru dalam melaksanakannya, melaksanakannya secara konsisten/ajeg, kebanyakan guru kurang ada kebiasaan membaca, kebanyakan guru hanya menyampaikan materi ajar, padahal kurikulumnya KBK. Selanjutnya Sukirman menekankan bahwa kunci kesuksesannya LS, selain guru, adalah Kepala Sekolah, Pengawas, yang didukung dana dari Dinas Pendidikan.

Keempat, Kemauan guru/semangat guru, jika guru tidak meranga butuh berarti tidak akan muncul kemauan yang keras pada diri guru itu sendiri, maka maupun Dikdasmen mengadakan pelatihan kepada guru yang tidak memiliki kemauan yang keras maka hasil dari petihan tersebut tidak akan berhasil, Implementasi setelah pelatihan, jika guru yang sudah mengikuti pelatihan tidak diikuti implentasi dalam melaksanakan tugas sehari-hari, maka pelatihan itu agan mengamali kegagalan.

Pembahasan permasalahan yang dihadapi guru dalam mengembangkan model peningkatan kualitasnya tidak jauh berbeda dengan penelitian Chokshi  (2005) dalam Subadi (2009) yang judul: Reaping the Systemic Benefits of Lesson Study, berkesimpulan bahwa pelaksanaan pembelajaran perlu adanya motivator dan visi yang jelas maka, permasalahan yang bersumber dari siswa yaitu kurangnya motivasi untuk belajar harus segera dicarikan solusinya agar tercipta pembelajaran yang menyenangkan. Permasalahan eksternal yang berbunyi terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah sejalan dengan  hasil penelitiannya Chokshi (2004) yang berjudul: Challenges to Importing Japanese Lesson Study, bahwa pembelajaran dengan metode praktek lebih cepat bisa mendukung pemahaman anak terhadap suatu pelajaran, karena didukung dengan sarana dan prasarana. Oleh karena itu permasalahan sarana dan prasarana harus segera dicari solusinya.

Saran dari Thompson (2007) dalam Subadi (2009) dalam penelitian yang berjudul: Inquiry in the Life Sciences: The Plant-in-a-Jar as a Catalyst for Learning berkesimpulan bahwa: (1) Adanya usaha guru untuk mengubah pola pembelajaran, ini berarti guru dituntut lebih kreatif dan inovatif. (2) Guru mencari terobosan untuk menyampaikan materi pelajaran pada KD tertentu agar pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. (3) Usaha guru membuat modul pembelajaran untuk referensi siswa. Lebih lanjut Thompson menyarankan bahwa pentingnya pengembangan profesional para pendidik yang lebih kreatif dan inovatif yang dapat mempengaruhi pembelajaran sehingga menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan demokratis.

Apabila  pembahasan tentang permasalahan yang dihadapi guru dalam mengembangkan model peningkatan kualitasnya dihubungkan dengan penelitian  Stewart (2005), dalam Subadi (2009) dengan judul : A Model for Teacher Collaboration, maka saling melengkapi dan ada kesesuaian.  Hasil penelitian Stewart menunjukkan bahwa cara yang terbaik untuk menyempurnakan perbaikan yang sifatnya positif di setiap tingkatan kelas pada suatu sekolah adalah dengan mengadopsi suatu model.

Robinson (2006) dalam penelitiannya yang berjudul: Prospective Teachers’ Perspectives On Microteaching Lesson Study) berkesimpulan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan micro-teaching yang melibatkan beberapa guru mendukung hubungan pembelajaran yang berupa teori dan praktik sejalan dengan pembahasan hasil penelitian tersebut di atas.

Selain itu penelitian lesson study ini sesuai hasil penelitian William Cerbin and Bryan Kopp (2006) dosen University of Wisconsin-L Crosse yang berjudul: Lesson Study as a Model for Building Paedagogical Knowledge and Improving Teaching, salah satu bahasannya bahwa model lesson study guru dapat mengadakan kolaborasi memecahkan kesulitan untuk mencapai tujuan pembelajaran antara mengajar dan belajar siswa yang bermutu. Marsigit (2007) dalam “Mathematics Teachers’ Professional Development Through Lesson Study in Indonesia” pada bahasan penelitiannya menuliskan bahwa model lesson study memberikan kesempatan kepada guru dan para siswa untuk membangun inisiatif baru.

Langkah lesson study yang efektif berbasis MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)  dengan tahapan-tahapan: plan (planning/perencanaan), do (tindakan dan observasi), see (refleksi dan evaluasi). Agar lebih efektif lesson study sebagai model pembinaan guru-guru disarankan melelui K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah), MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), dan implementasi (program) melalui kegiatan (KKG) Kelompok Kerja Guru, implementasi (plaksanaan) lesson study di sekolah masing-masing oleh guru model, dilakukan monevin secara rutin, didukung dengan dana, tim wark, motivasi implementasi oleh guru di lapangan.

Dampag dari efektivitas lesson study, 1) sebelum pelaksanaan lesson study terdapat perbedaan yang signifikan dengan setelah pelaksanaan lesson study  yaitu; 15 %  dan 50% untuk siklus I,  20% dan 50% untuk siklus II, 2) terjadi peningkatan cukup signifikan pada kompetensi guru”, indikatornya;  perangkat pembelajaran menjadi lebih lengkap dan siap,  penguasaan IT lebih meningkat, metode dan strategi pembelajaran meningkat, perlu adanya keberlanjutan program lesson study, 3) kontribusi kualitas pembelajaran, antara lain; Kontribusi peningkatan persiapan pembelajaran. Kontribusi menumbuhkan kerja kolaborasi. Kontribusi pengembangan strategi pembelajaran. Kontribusi kolegialitas. Kontribusi kesiapan belajar siswa. Kontribusi perbaikan proses pembelajaran berdasarkan hasil refleksi.Kontribusi pengembangan media pembelajaran. Kontribusi pengembangan perangkat penilaian.

Kesimpulan
1.    Terdapat empat masalah dalam upaya meningkatkan profesionalitas pendidik yaitu: permasalahan internal, eksternal, komitmen dan kemauan guru

2.    Langkah-langkah lesson study yang efektif adalah lesson study berbasis research PTK (Penelitian Tindakan Kelas); dengan tahapan paln-do-see; dioordinasikan melelui MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), implentasi lesson study berbasis MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran.

3.    Dampag dari efektivitas lesson study, 1) sebelum pelaksanaan lesson study terdapat perbedaan yang signifikan dengan setelah pelaksanaan lesson study  yaitu; 15 %  dan 50% untuk siklus I,  20% dan 50% untuk siklus II, 2) terjadi peningkatan cukup signifikan pada kompetensi guru

Rekomendasi

  1. Kepada Pemerintah, hendaknya lesson study di jadikan model pembinaan guru professional.
  2. Kepada Kepala Sekolah, kendaknya melakukan pembinaan guru berbasis lesson study secara terus menerus dan berkesinambungan.
  3. Kepada Legeslatif, hendaknya memberikan pos anggaran pembinaan guru professional berbasis lesson study.

Ucapan Terima Kasih
Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah membari bantuan dana dengan Surat Perjanjian Nomor: 007/O06.2/Pp/Sp/2012 Tertanggal 24 Februari 2012. Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Rektor, Ketua LPPM Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang telah memberika rekomendasi sehingg penelitian ini berjalan dengan baik. Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada Pimpinan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Kapupaten Sukoharjo, yang telah member ijin kepada peneliti untuk berkolaborasi dengan Kepala Sekolah, guru dan siswa dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Chakhshi, Sonal, Clea Fernandes. 2004. Cellenger to Importing Japanes Lesson Study. Bloomington Concerns, Miscoseptions, and Nuancen. www.proquets.umi.com.

—————– . 2005. Reaping the Systemic  Benefits of Lesson Study Bloomington: insights from the U.S. Vol 86. www.proquets.umi.com.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesi., Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas RI.: Jakarta.

—————– . 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14

Harta Idris dan Djumadi. 2009. Pendalaman Materi Metode Pembelajaran. Modul PLPG. Departeman Pendidikan Nasional. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Panitia Sertifikasi Guru Rayon 41: Surakarta.

Kemmis Stephen & McTaggart Robin. 1997. The Action Research Planner. Deakin University Press.

Marsigit. 2007. Mathematics Teachers’ Professional Development Through Lesson Study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3 (2), 141-144.

Miles, B. M., Michael, H. 1992. Qualitative Data Analisys, dalam H.B. Sutopo, Taman Budaya Surakarta dan Aktivitas Seni di Surakarta, Laporan Penelitian, FISIPOL UNS.

Mulyasa. 2004. Menjadi Kepala sekolah Profesional, Remaja rosda Karya, Bandung.

Robinson N. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle school teachers. (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/ Robinson proposal.doc

Roger A. Stewart, Jonathan L. Brenderfur. 2005. Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.681, 7 pgs.

Subadi. T (2009). Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD  Se-Karesidenan Surakarta (Laporan Penelitian di Publikasikan di Perpustakaan Pusat UMS).

Subadi T. 2009. Pengembangan Model Untuk Meningkatkan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study di Sekolah Dasar Kota Surakarta. Jurnal Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktik Pendidikan. Tahun 18. Nomor 2 November 2009. ISSN 0854-8285. Malang: UN Malang.

Subadi T., Sutarni, Ritas P., Kh. (2013). A Lesson Study as a Development Model of Professional Teachers. (Macrothink Institute Journal International  of Educatian. ISSN 1948-5476. Vol. 5, No. 22013). United States. info@macrothink.org. Website: www.macrothink.org.

Subadi. T (2010). Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD  Se-Karesidenan Surakarta (Laporan Penelitian di Publikasikan di Perpustakaan Pusat UMS).

Sugiyanto, 2008, Model-Model Pembelajaran Inovatif, Modul PLPG, Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13, UNS, Surakarta.

Stephen L. Thompson, 2007, Science Activities, Washington: Winter 2007. Vol. 43. Iss. 4, pg.27, 7 pgs.

Stewart, R, Brederfur, J. 2005. Fusing Lesson Study and Aithetic Achievent. Bloomington: A. Model for Teacher Collabooration. www.proquest.umi.com

Tim Piloting. 2007. Laporan Kegiatan Piloting. Bandung: IMSTEP-JICA FMIPA UPI.

Tim Pengembang Sertifikasi Kependidikan. 2003. Pedoman Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kependidikan (draft).Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Ditjen Dikti Depdiknas.

William Cerbin and Bryan Kopp. 2006. Lesson Study as a Model for Building Pedogogical Knowledge and Improving Teaching. In International Journal of Teaching and Learning in Higher Education. 18 (3), 150-257. ISSN 1812-9129

Peran Pendidik Memerangi Korupsi

$
0
0

“Sebenarnya tiap guru yang mengampu mata pelajaran apa pun dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi”

Oleh : Heni Purwono, S.Pd., M.Pd.
Guru SMAN 1 Sigaluh Banjarnegara, Juara I Lomba Inovasi Pembelajaran Antikorupsi 2014 di KPK
Terkait dengan kemerebakan korupsi pada semua lini kehidupan, tiap tanggal 9 Desember kita diingatkan untuk memeranginya, melalui peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Barangkali tak banyak yang ingat, terlebih kalangan pendidik, mengingat kebanyakan dari mereka masih larut dalam perayaan yang tidak jauh jaraknya, yakni Hari Guru pada 25 November.

Meski terlalu naif dan dini jika mengatakan dunia pendidikan kurang peduli dengan isu korupsi, kenyataannya memang demikian. Hal itu terlihat dari masih karutmarutnya pendidikan karakter di dalam pendidikan kita, di mana nilai akademis masih menjadi dewa dan juga panglima.

Paling tidak, hal itu terjelma dari masih banyaknya sekolah yang menghalalkan segala cara dalam menghadapi ujian nasional (UN) supaya bisa meluluskan 100% siswanya dalam ujian itu. Di sisi lain, mereka berkesan biasa-biasa saja ketika siswanya terlibat tawur atau melakukan tindakan antisosial lainnya.

Padahal, semestinya yang dikedepankan dalam pendidikan nasional kita adalah karakter, bukan akademik semata. Termasuk dalam hal pemberantasan korupsi di negeri ini, yang sejatinya berada di tangan guru sebagai garda terdepan. Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, guru perlu kembali merenungkan posisi pentingnya dalamikut menyemaikan bibit untuk melawan korupsi.

Hal itu mengingat tindak korupsi lebih banyak menyangkut perilaku jika dibandingkan dengan kerugian yang bersifat material. Sayang, belum semua guru menyadari tugas kehormatan ini. Kebanyakan mereka mengejar target menyelesaikan materi, tanpa sisipan-sisipan yang bermuatan antikorupsi. Selama ini berkesan pembelajaran antikorupsi adalah domain dari mapel Agama dan PPKn.

Padahal sebenarnya setiap guru yang mengampu mata pelajaran apa pun dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Mereka dalam aktivitas pembelajarannya seharusnya membuat kegiatan yang mampu menumbuhkan sikap kejujuran, kerja keras, disiplin, dan nilainilai positif lainya pada diri siswa. Atau, secara umum manajemen sekolah dapat membuat sebuah budaya antikorupsi seperti dengan adanya kantin kejujuran, dan sejenisnya.

Dalam pembelajaran Sejarah, saya membuat inovasi bertajuk ‘’Pembelajaran Antikorupsi dengan Inkuiri Dinamis agar Anak Ojo Nganti Lemes’’(‘’Pakde Indiana Jones’’). Melihat materinya, sekilas mustahil untuk menanamkan spirit antikorupsi. Namun dengan aktivitas belajar yang inovatif, kita dapat membawa anak pada penanaman budaya antikorupsi.

Sportif Jujur

Saya membuat permainan halang rintang pada bak pasir untuk lompat jauh, dan di dalam pasir sengaja saya tanam berbagai gambar jenis fosil yang harus dipelajari siswa. Aturannya, siswa yang meyentuh tali halang rintang secara jujur harus mengaku dan mnegulang lagi proses melewati halang rintang tersebut.

Hasilnya, siswa sangat bersemangat memasuki bak pasir yang menantang itu dan mencoba menghindari halang rintang. Sebagian besar dari mereka mengatakan benar-benar merasakan seperti Indiana Jones yang sedang berburu artefak. Mereka juga sangat sportif dan jujur, ketika bagian tubuh mereka menyentuh halang rintang.

Bahkan secara sadar mengulangi prosesnya, terlebih kawan-kawannya selain menyemangati juga memberikan pengawasan. Tak hanya itu, dalam bak tersebut juga saya tanam fosil berwarna emas yang sejatinya tidak memiliki makna apa pun. Ternyata banyak di antara mereka berebut fosil tersebut dan lupa akan tugasnya mencari fosil yang ada materi penjelasannya.

Setelah dievaluasi, barulah saya menjelaskan bahwa fosil berwarna emas tidak bernilai dibanding fosil yang berisi informasi. Artinya, dari hal itu guru dapat menanamkan sikap pada anak untuk tidak tergiur pada kekayaan yang sejatinya tidak banyak bermanfaat. Terlebih andai kekayaan itu didapat dengan hasil korupsi. Lewat kreativitas, guru bisa terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. (10)

Dimuat di Suara Merdeka tanggal 8 Desember 2014

Kembali ke ”Khitah”

$
0
0

Oleh : Prof. Dr. Tri Marhaeni Pudji Astuti
Pengurus ISPI Jateng dan Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes, Tim Penyusun Kurikulum 2013

Prof. Tri Marhaeni Pudji Astuti

”SETIAP ganti menteri, ganti kebijakan”. Apakah ”tesis” tersebut juga berlaku untuk Kurikulum 2013? Ternyata tidak! Justru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengembalikan ke ”khitah” awal penggagasan Kurikulum 2013.

Mengapa demikian? Pada awal penyusunan —sebagai anggota tim penyusun— saya ingat persis bagaimana rencana pemberlakuan Kurikulum 2013. Kalimat yang selalu ditanamkan kepada tim adalah, ”Sekolah terpilih, kelas terpilih, sekolah yang sudah siap, terutama eks RSBI”.

Persoalan kurikulum menjadi titik fokus saya untuk mengevaluasi rancang bangun pendidikan Indonesia pada 2014, dan seperti apa embrio prospek pada 2015i. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan elan Revolusi Mental, menjadi ”pusat” untuk menggerakkan seluruh sendi potensi partisipasi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan.

Tak perlu gengsi dan merasa jatuh wibawa untuk melanjutkan kebijakan dari pendahulu, selama kebijakan tersebut memihak kepentingan rakyat. Mendikbud yang baru misalnya, memberlakukan kebijakan, ”Bagi sekolah yang baru satu semester melaksanakan Kurikulum 2013, silakan kembali ke Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan bagi sekolah yang sudah melaksanakan tiga semester tetap melanjutkan Kurikulum 2013 sebagai sekolah percontohan dan pengembangan. Selanjutnya Kurikulum 2013 akan berlaku secara bertahap, terutama untuk sekolah-sekolah yang sudah siap”.

Kalimat ini perlu digarisbawahi mengingat banyak yang salah menafsirkan bahwa K13 dihentikan untuk kembali ke kurikulum lama. Kesalahan penafsiran itu merebak ke mana-mana, sampai para orang tua dan guru juga bingung.

Pernyataan Mendikbud justru menunjukkan konsistensi dengan kebijakan pendahulunya, yakni Kurikulum 2013 diberlakukan untuk sekolah terpilih. Justru Anies kembali ”khitah”, memberlakukan bertahap, terutama sekolah-sekolah yang sudah siap dengan pembenahan-pembenahan setelah melihat pelaksanaan selama ini.

Nasib Buku Ajar

Tidak perlu ada kata gengsi dan jatuh kualitas ketika melanjutkan kebijakan lama, selama memang rasional, dibutuhkan demi perbaikan dunia pendidikan dan penyiapan masa depan generasi penerus bangsa, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Kemendikbud harus melakukan pembenahan total dengan semangat Revolusi Mental. Pembenahan terutama pada penyiapan sumberdaya: sarana, prasarana, pelatihan guru, serta buku pegangan guru dan siswa.

Penyiapan komponen tersebut harus serius mengingat banyak ditemui kekurangan yang berakibat ”pengkambinghitaman” Kurikulum 2013. Dari pemantauan dan evaluasi, ternyata yang belum siap adalah gurunya. Siswa dan orang tua cenderung ”manut dan mengikuti” kebijakan pemerintah, sementara guru banyak menggerutu, dan hal itu justru lebih memberatkan tugasnya.

Banyak faktor yang memengaruhi, namun pelatihan untuk guru harus dibenahi dari kedua belah pihak, baik yang dilatih maupun penyelenggaranya. Misalnya, sudah tidak zamannya lagi memadatkan pelatihan selama 7 atau 10 hari menjadi 5 hari dengan ”kesepakatan” peserta (guru) dan penyelenggara.

Kedua belah pihak harus mempunyai semangat ”ingin belajar, ingin berubah lebih baik”. Yang juga tidak boleh dilupakan oleh pemangku kebijakan, ”guru sudah terbiasa mengajarkan hal-hal baik”. Semangat K13, isi dan langkah-langkahnya pun bukan hal yang baru bagi guru. Persolannya, mereka dibebani dengan berbagai instrumen penilaian yang justru menyita waktu guru. Maka penyederhanaan instrumen penilaian harus dibenahi agar guru tidak terbebani secara administratif.

Pada awal gagasan dan sosialisasi Kurikulum 2013, rencana pencetakan buku ajar, termasuk buku pegangan guru dilakukan bertahap sesuai dengan pemberlakuan kurikulum di ”sekolah terpilih, kelas terpilih”. Maka selama satu setengah tahun ini pendistribusian buku tidak merata karena kebijakan berubah menjadi serentak sekolah seluruh Indonesia pada 2014. Sangat wajar distribusi buku tidak sesuai dengan jumlah siswa dan guru, karena antara rencana awal sistem pencetakan buku dan perubahan pemberlakuan Kurikulum 2013 tidak sinkron lagi.

Justru sekarang, kebijakan Mendikbud menjawab solusi kekurangan dalam pendistribusian. Buku yang sudah tercetak pasti akan mencukupi karena pemberlakuan kurikulum yang kembali ke khitah. Apakah persoalan selesai begitu saja? Tentu tidak.

Salah satu pemegang tender buku, Balai Pustaka merilis kesiapan mencetak semua buku sesuai pesanan. Mubazirkah jika Kurikulum 2013 dihentikan pemberlakuannya? Kekhawatiran itu tidak akan pernah terjadi. Katakanlah, andai kurikulum 2013 dihentikan sekalipun, buku tersebut tetap bermanfaat. Buku tetap bisa didistribusikan ke sekolah-sekolah sesuai pesanan, melengkapi koleksi perpustakaan.

Sebagai pengetahuan, buku tersebut layak dan sah-sah saja dibaca oleh siswa sebagai pengetahuan umum tentang Kurikulum 2013 dan bahkan akan menjadi buku pendamping untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa. Itu andai Kurikulum 2013 dihentikan, apalagi tidak.

Apakah jumlahnya berlebih dan mubazir? Sudah pasti tidak, karena bisa disistribusikan ke sekolah dengan jumlah eksemplar berlebih sehingga tidak ada lagi ”rebutan buku paket” seperti di masa lalu. Siswa dari kelas berapa pun, di jenjang sekolah apa pun, akan mudah mendapatkan pengetahuan materi-materi sesuai Kurikulum 2013 di perpustakaan karena sekolah menyimpan cukup.

Lagi pula, pemberlakuan K13 secara bertahap justru akan memudahkan siswa dan guru karena buku pegangan sudah siap, tinggal didistribusikan. Tidak ada kata mubazir untuk buku pengetahuan.

Kita pacu semangat untuk tidak memperpanjang polemik pemberlakuan Kurikulum 2013. Berbekal passion Revolusi Mental, kita dukung pemerintah yang tidak merasa gengsi meneruskannya dengan ”kelas terpilih dan sekolah terpilih”. Pendidikan kita ke depan, setidaktidaknya pada 2015, akan membangun fondasi melalui konsistensi penjabaran konsep dan kebijakan para pemangku kepentingannya. (10)

Tulisan ini telah dimuat di Suara Merdeka cetak

Pembelajaran Sains dengan Pendekatan Saintifik dan Literasi Sains

$
0
0

Oleh : Nur Wakhidah
Jurusan PGMI Fakultas FTK UIN Sunan Ampel Surabaya

Pembelajaran bermakna (meaningful learning) dalam mempelajari sains akan terjadi manakala guru dapat memfasilitasi siswa untuk menghubungkan pengalaman yang dimiliki siswa sebelumnya dengan materi yang akan dipelajarinya serta dapat menghubungkan dengan materi lain yang berhubungan dalam rangka memperluas pengetahuan yang dimiliki bahkan aplikasinya dalam kehidupan. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik (scientific approach) memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan pembelajaran kontekstual sehingga pembelajaran menjadi bermakna yang dimulai pada fase mengamati. Pengamatan terhadap suatu fenomena secara langsung atau simulasinya memberikan kebermaknaan bagi siswa. Fase mengasosiasi dari pendekatan saintifik memberi peluang kepada siswa untuk menghubungkan antara konsep sebelumnya, konsep yang sedang dipelajari dan hubungannya dengan materi yang lain sehingga diharapkan dapat meningkatkan literasi sains siswa.

A. Pendahuluan
Manusia dalam sejarahnya mengalami perkembangan yang sangat pesat memasuki abad teknologi dewasa ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang karena tuntutan hidup manusia sehingga manusia dalam kehidupannya menjadi lebih mudah dan lebih enak daripada sebelumnya. Di era teknologi ini seseorang atau warga negara perlu memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan dan teknologi meskipun hanya sebagai pengguna. Era globalisasi menuntut orang untuk melek ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Telepon genggam sudah merupakan salah satu produk teknologi yang tidak asing lagi bagi setiap orang dari berbagai kalangan. Hasil pengembangan teknologi ini orang dapat menjelajah dunia tanpa batas ruang dan waktu.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi berbagai sendi kehidupan baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, kebudayaan termasuk pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan merupakan investasi yang penting dalam menghasilkan sumber daya manusia. Pendidikan yang baik merupakan sarana untuk mencetak sumber daya manusia yang bermutu. Sumber daya manusia yang bermutu merupakan faktor penting dalam pembangunan di era globalisasi.

Pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran sains hendaknya menuntun siswa untuk melek akan ilmu pengetahuan dan teknologi. Siswa diajak untuk belajar menghubungkan materi yang dipelajari di sekolah dengan konteks dalam kehidupannya serta kaitan antara ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga pelajaran di sekolah tidak merupakan sesuatu yang bersifat informatif akan tetapi lebih bersifat praktis dan bermanfaat dalam rangka pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah dalam kehidupan. Berdasarkan kedalaman cara mempelajarinya sains memiliki 4 dimensi antara lain pembelajaran sains dimaksudkan untuk memperoleh suatu interaksi antara sains dengan teknologi dan masyarakat (Chiapetta and Koballa, 2010).
Proses pendidikan harus mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi atau outlook terhadap kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara simultan dalam rangka menjaga dan memelihara nilai-nilai dan norma-norma kehidupan masyarakat. Pengembangan pendidikan untuk kepentingan masa depan bangsa dan negara yang lebih baik perlu dirancang secara terpadu sejalan dengan aspek-aspek tersebut di atas, sehingga pendidikan merupakan wahana pengembangan sumber daya manusia yang mampu menjadi ”subyek” pengembangan IPTEK dan globalisasi informasi.

B. Pengertian dan Literasi Sains
Literasi berasal dari kata “literacy” (bahasa Inggris) yang berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf. Kata sains berasal dari kata “science” (bahasa Inggris) yang berarti ilmu pengetahuan. PISA (Programme for International Student Assesment) mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan alam dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka mengerti serta membuat keputusan tentang fenomena alam dan perubahan yang terjadi pada alam sebagai akibat dari ulah tangan manusia (Witte, 2003). PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1. mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang memuat hubungan dua variable atau lebih sehingga dapat diselidiki secara ilmiah
2. mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah, yaitu proses ini melibatkan identifikasi bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan, termasuk bagaimana prosedur, alat dan bahan dirancang dalam melakukan proses ilmiah.
3. menarik kesimpulan, yaitu proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang telah dikumpulkan melalui proses ilmiah teori yang mendasari dalam pengambilan kesimpulan.
4. mengkomunikasikan kesimpulan, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia dan mengkomunikasikannya dalam bahasa lisan maupun tertulis
5. mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.

C. Tingkatan Literasi Sains
Literasi sains seseorang setelah proses pembelajaran berbeda-beda tergantun dari pemahaman sebelumnya, pemahaman saat proses pembelajaran berlangsung dan kemampuan siswa dalam mengasosiasikan pemahaman yang dimiliki dengan konsep atau situasi lain. Bybee (1997) yang dikutip Shwartz et al (2006), menyarankan skala teoritis yang komprehensif untuk penilaian literasi sains selama studi sains di sekolah menjadi empat tingkatan yaitu:

1. Buta huruf ilmiah (Scientific illiteracy): Siswa yang tidak memiliki kosa kata, konsep, konteks, atau kapasitas kognitif untuk mengidentifikasi pertanyaan ilmiah dan tidak mampu untuk menghubungkan konsep atau tidak mengenali konsep sains.
2. Literasi sains nominal (Nominal scientific literacy). Siswa mengenali konsep yang terkait dengan ilmu pengetahuan, tetapi tingkat pemahaman jelas menunjukkan kesalahpahaman.
3. Literasi sains fungsional (Functional scientific literacy). Siswa dapat menjelaskan konsep dengan benar, tetapi memiliki pemahaman yang terbatas tentang konsep itu.
4. Literasi sains konseptual (Conceptual scientific literacy). Siswa mengembangkan beberapa pemahaman utama skema konseptual dari suatu disiplin ilmu dan mampu menghubungkannya untuk memperoleh suatu pemahaman umum tentang sains termasuk di dalamnya kemampuan prosedural dan pemahaman tentang proses penyelidikan ilmiah dan desain teknologi.
5. Literasi sains multidimensi (Multidimensional scientific literacy). Ini perspektif literasi sains yang mampu menggabungkan pemahaman ilmu yang melampaui konsep disiplin ilmu dan prosedur penyelidikan ilmiah.

Ini termasuk filosofis, historis, dan sosial dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Siswa mengembangkan pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi tentang hubungannya dengan kehidupan sehari-hari mereka. Lebih khusus, siswa mulai membuat koneksi dalam berbagai disiplin ilmu, dan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan isu-isu yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat.

Pandangan terhadap literasi sains yang dilakukan oleh PISA 2003 yang membagi literasi sains dalam tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains, yaitu:
1. Aspek konteks, PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum nasional tiap negara yang mencakup bidang-bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global seperti kesehatan, sumber daya alam, mutu lingkungan, dan perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
2. Aspek konten, konten sains berisi konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia.
3. Aspek Kompetensi/Proses, PISA memandang perlunya pendidikan sains untuk mengembangkan kemampuan siswa memahami hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan kelemahan sains. Siswa perlu memahami bagaimana ilmuwan menemukan ilmu yang kemudian dapat diadopsi dalam pembelajaran sains

D. Pembelajaran Sains dengan Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik (scientific approach) adalah suatu titik tolak atau cara pandang yang dilakukan oleh guru dalam rangka meniru ilmuwan, karena pendekatan ini meniru langkah-langkah metode ilmiah yang digunakan oleh ilmuwan dalam menemukan ilmu pengetahuan (Wieman C, 2007). Pendekatan ini dapat melatih siswa untuk menjadi ilmuwan dalam menemukan konsep yang dipelajari (Wieman, 2007).

Pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan saintifik bersifat kontekstual sehingga langsung bersentuhan dengan kehidupan dan pengalaman nyata siswa, karena pada fase pengamatan siswa seyogyanya diberikan fenomena yang sesuali dengan konteks siswa untuk memberi kesempatan kepada siswa menghubungkan konsep materi di sekolah dengan kehidupannya (Smith, 2010). Pendekatan saintifik dalam pembelajaran sains sangat cocok dengan teori konstruktivis sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Mengajarkan IPA dengan pendekatan saintifik juga berarti melatihkan keterampilan proses sains yang memfasilitasi siswa untuk memahami sains sebagaimana sains ditemukan dan mendorong siswa untuk menciptakan informasi ilmiah melalui penelitian ilmiahnya (Karar & Yenice, 2012).

Pembelajaran IPA selayaknya dilakukan melalui proses pengamatan, selanjutnya dilakukan percobaan untuk menjelaskan atau membuktikan kebenaran suatu konsep sehingga siswa mempunyai pengalaman belajar tentang konsep secara kontekstual (Orion, 2007). Kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan saintifik yang mempunyai langkah-langkah, yaitu 1) mengamati, 2) menanya, 3) mencoba, 4) mengasosiasikan/menalar, 5) mengkomunikasikan (Sudarwan, 2013).

Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses antara lain seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang digunakan para ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Indikator keterampilan yang dilatihkan dalam pendekatan saintifik mempunyai kemiripan dengan keterampilan proses sains (Rustaman, 2007).

Metode pembelajaran tradisional menjadikan siswa menjadi pendengar yang pasif sedangkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik akan mendorong siswa aktif dalam pembelajaran (Hussain A, et al, 2011). Pendekatan saintifik memberi kesempatan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untu mengadakan proses pengamatan terhadap fenomena yang ditampilkan oleh guru. Xu et al (2012) mengatakan bahwa obyek yang ditampilakn merupakan stimulus bagi siswa untuk belajar. Stimulus yang cocok sangat diperlukan dalam pembelajaran.

Proses mengamati menurut Moreno (2010) dapat terjadi pada obyek nyata maupun simulasi yang dapat dipakai sebagai stimulus untuk merangsang siswa belajar dan mengajukan pertanyaan. Guru yang memberikan kesempatan bertanya kepada siswa akan mengembangkan rasa ingin tahu sehingga akan mendorong siswa untuk mempelajari materi yang sedang dipelajarinya. Chin (2001) yang mengutip laporan White & Gunstone (1992) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pertanyaan siswa ditemukan berkorelasi dengan prestasi belajar.
Fase mengumpulkan informasi merupakan suatu kegiatan yang berupaya untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan. Salah satu kegiatan siswa dalam rangka mengumpulkan informasi adalah mencoba dengan merancang percobaan. Setting laboratorium akan membuat situasi pembelajaran menjadi seperti dunia nyata siswa dan memberi kesempatan untuk melatihkan keterampilan menyelesaikan masalah, memberikan kesempatan untuk melakukan hands on experiences, aktif berpikir dan merefleksi pengetahuan yang dimiliki siswa (Veselinovska et al, 2011).

Pembelajaran sains mempunyai potensi yang besar sebagai wahana untuk mengembangkan berbagai kemampuan berpikir (Hinduan, 2003). Mengasosiasi dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya untuk menemukan pola dari keterkaitan tersebut. Aktivitas ini juga diistilahkan sebagai kegiatan menalar, yaitu proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang telah dilakukan siswa pada fase mencoba untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Proses berpikir akan terbangun manakala siswa dilibatkan sepenuhnya mulai dari poses pengamatan terhadap suatu fenomena. Penampilan fenomena yang kontekstual sangat penting dalam mengkonstruk pemahaman siswa (Riegler, 2001).
Pembelajaran tidak hanya mengajarkan keterampilan untuk memahami konsep akan tetapi juga mengajarkan siswa yang mampu mengakses informasi dan mengkomunikasikanya dengan lebih baik (Bati et al., 2009). Pemahaman juga berarti bahwa seseorang melakukan suatu kegiatan seperti membaca, mendengarkan orang berbicara atau bahkan menonton televise kemudian dari hasil kegiatan tersebut seseorang dapat menceritakan kembali sesuai dengan bacaan atau apa yang ditonton merupakan suatu bentuk dari pemahaman.
Setiap individu menyusun pemahaman melalui pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan menerapkannya dalam pembelajaran, berinteraksi dengan lingkungan dan mentranformasikannya ke dalam pikirian dengan bantuan struktur kognitif yang ada di dalam pikirannya (Cobb, 1994). Howe (2006) menyatakan bahwa suatu konsep tidak bisa dibangun dengan baik tanpa melakukan suatu interaksi sosial.

Interaksi social dapat terjadi antara guru dengan siswa atau siswa dengan teman sebaya. Pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah ditemukan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menyimpulkan hasil percobaan. Hasil tersebut dipresentasikan di kelas untuk selanjutnya dinilai oleh guru sebagai hasil belajar kelompok.

Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses sains seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur (Depdikbud, 2013). Sebagai keterampilan belajar pendekatan saintifik perlu dilatihkan melalui pemodelan, bimbingan dan pemberian balikan (Arends, 2001). Model pembelajaran langsung tidak serta merta digunakan dalam setiap langkah-langkah dalam pendekatan saintifik, akan tetapi dapat diadopsi menjadi suatu dasar berpikir bagi pemberian bantuan guru kepada siswa. Scaffolding dalam pendidikan berarti bantuan yang diberikan kepada seseorang atau siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan menjadikan siswa menjadi pembelajar yang mandiri, di mana bantuan secara bertahap akan dikurangi seiring dengan kemandirian siswa dalam menyelesaikan tugasnya (Winnips, 2001).

Menurut Fretz (2002) scaffolding meliputi bantuan oleh guru, dan rekan atau teman. Pada tiap-tiap fase perlu adanya bantuan dari guru sebagai contoh siswa perlu mendapatkan bantuan pada fase pengamatan jika pada fase ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Bantuan dalam pembelajaran selama ini memang telah dilakukan guru dalam proses pembelajaran akan tetapi bantuan tidak dieksplisitkan dalam bentuk scaffolding yang tercantum dalam rencana pembelajaran sehingga tidak ada kewajiban untuk dilakukan. Guru yang memberikan penjelasan mengenai suatu fakta yang terjadi dalam kehidupan siswa juga merupakan suatu bentuk scaffolding.

E. Pendekatan Saintifik dan Literasi Sains

Pendidikan nasional berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Sriyono, 2010) dan membangun karakter (Astuti, 2010). Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (UU Sisdiknas, 2003). Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan pendidikan yang dirancang dalam sebuah kurikulum merupakan sarana untuk pengembangan potensi siswa yang berimplikasi pada tercapainya keseimbangan empat dimensi, yaitu: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan (Depdiknas, 2013) sehingga mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial ekonomi, dan politik, secara simultan dalam rangka memelihara nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dalam masyarakat.

Pembelajaran sains yang berkaitan dengan kerja ilmiah sangat tepat jika guru menerapkan metode inkuiri (Fauziah, 2011). Pendekatan saintifik dalam pelaksanaan pembelajaran IPA sebenarnya adalah implementasi inkuiri karena pendekatan ini pada dasarnya adalah seperti cara kerja ilmuwan dalam menemukan ilmu pengetahuan, yang diawali dengan adanya rasa ingin tahu sampai pada penarikan kesimpulan dari hasil percobaan (Wieman C, 2007). Langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik langkahnya dikembangkan dari metode ilmiah yang di dalamnya merupakan keterampilan proses sains (science process skills).

Keterampilan untuk mengamati, mengukur, merumuskan hipotesis dan melaporkan hasil percobaan merupakan bagian dari keterampilan proses sains (Rahmani, 2013).

Salah satu pendekatan yang bisa meningkatkan kemampuan literasi sains siswa adalah melalui pembelajaran dengan pendekatan inkuiri (Erniati, 2010). Dengan melakukan inkuiri siswa memperoleh pengalaman dasar untuk merefleksikan hakekat sains dan keterbatasan yang dimiliki oleh sains atau suatu klaim ilmiah (Flick & Lederman, 2006). Pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang dipakai dalam kurikullum 2013 yang telah mengalami moratorium. Hal ini disebabkan oleh kurang familiernya guru dan siswa dalam mengimplementasikanya dalam pembelajaran. Langkah-langkah atau fase dalam pendekatan saintifik sebenarnya merupakan keterampilan proses sains seperti mengamati, menanya dan mengkomunikasikan. Siswa dalam pembelajaran perlu mengembangkan kemampuan melakukan inkuiri ilmiah. Inkuiri ilmiah adalah komponen penting untuk mengembangkan literasi sains (NGSS Lead States, 2013).

DAFTAR PUSTAKA
Bati, K., Erturk, G., & Kaptan, F. (2009). The awareness level of pre-school education teachers regarding science process skill. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010), 1993-1999.
Flick, L.B. & Lederman, N.G. (2006). Scientific Inquiry and Nature of Science: Implication for Teaching, Learning and Teacher Education. Nederland: Springer
NGSS Lead States. (2013). Next Generation Science Standards: For States, By States . Washington. DC: The National Academies Press.
Chiapetta, E.L. & Koballa TR. 2010. Science instruction in the middle and secondary school. Boston: Allyn & Bacon.
Chin, C. 2001. Learning in Science: What Do Students’ Questions Tell Us About Their Thinking? Education Journal. Vol. 29, No. 2, Winter 2001.
Cobb, P. 1994. Where is The Mind Constructivist an Sociocultural Perpective on Mathematical Development. Educational Research 23 (7) p. 1320.
Fretz EB , Hsin-Kai W, BaoHui Z, Elizabeth A, Davis JS and Elliot S. 2002. An Investigation of Software Scaffolds Supporting Modeling Practices. Research in Science Education 32: 567–589.
Howe, A. 2006. Development of Science Concept within Vygotskian Framework. Science Education. Singapore: John Willey and Son.
Husain H, Bais B, Hussain A, Samad SA, 2012. How to Construct Open Ended Questions. Procedia – Social and Behavioral Sciences 60 ( 2012 ) 456 – 462.
Karar EE & Yenice N. 2012. The investigation of scientific process skill level of elementary education 8 th grade students in view of demographic features Procedia – Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 3885 – 3889
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD-PISA) (last revised 2005). Assessment of scientific literacy in the OECD / Pisa project, http://www.pisa.oecd.org/
Orion, N. 2007. A Holistic Approach for Science Education For All. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(2), 111-118
Riegler, A. (2001) Towards a Radical Constructivist Understanding of Science. Foundations of Science, special issue on “The Impact of Radical Constructivism on Science” 6(1):1-30.
Rustaman, N. 2007. Keterampilan Proses Sains. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI (online) (http://www.keterampilan_proses_sains.upi.com)Diakses 25 Juni 201)
Shwartz Y., Ben-Zvi R. and Hofstein A., (2006), Chemical literacy: what it means to scientists and school teachers?, Journal of Chemical Education, 83, 1557-1561.
Smith, BP. 2010. Instructional Strategies in Family and Consumer Sciences: Implementing the Contextual Teaching and Learning Pedagogical Model. Journal of Family & Consumer Sciences Education, 28(1).
Veselinovska SS, Gudeva LK, Djokic M. 2011. The effect of teaching methods on cognitive achievement in biology studying. Procedia Social and Behavioral Sciences 15 (2011) 2521–2527
Wieman C, 2007. a Scientific Approach to Science Education? Colorado: University of British Columbia.
Winnips J.C (2001) Scaffolding -by – design: A model for world web based learner support. Doctorate dissertation, faculty of Educational Science and Technology, University of Twente, Enschede Netherlands.
Xu JP, He ZJ, Ooi TL. 2012. Perceptual learning to reduce sensory eye dominance beyond the focus of top-down visual attention. Vision Research 61 (2012) 39–47

Catatan Prof. Dr. H. Soedijarto, MA, Mengenai Kurikulum 2013

$
0
0

Prof. Dr. Soedijarto, MA ketua dewan pembina PP ISPI

Prof. Soedijarto adalah guru besar UNJ yang saat ini menjabat ketua Dewan Pembina ISPI. Ia juga ketua umum ISPI selama dua periode yaitu 1999-2004 dan 2004-2009. Prof. Soedijarto memberikan pemikirannya mengenai silang sengkarut Kurikulum 2013 beberapa bulan terakhir ini. Pendapat beliau disampaikannya saat ia dimintai pandangan oleh Mendikbud RI. Pandangan beliau telah dirilis dalam situs Kemdikbud RI.

Berikut pandangan beliau mengenai kurikulum 2013 yang kemudian menjadi pertimbangan mendikbud dalam mengambil keputusan tentang kebijakan kurikulum 2013 yang menuai pro-kontra tersebut.

1. Tidak jelas dasar hukum dan hasil evaluasi yang dijadikan landasan untuk merancang Kurikulum 2013. Kurkulum 2006 strukturnya didasarkan atas UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Perubahan struktur kurikulum yang mengubah jam pelajaran per minggu, atau ditiadakannya mata pelajaran IPA dan IPS pada kelas 1 s/d 3 SD, perlu jelas latar belakang teorinya dan tujuan yang hendak dicapai.

2. Mendikbud Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro pada tahun 1972 menyadarkan kepada jajaran P&K agar berhati-hati menerapkan sesuatu gagasan baru dalam pendidikan karena dampaknya akan berjangka panjang pada kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari cara berpikir ini bila akan menerapkan kurikulum yang baru perlu terlebih dahulu diujicobakan dan dinilai secara komprehensif sebelum ditetapkan sebagai suatu sistem yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian seyogyanya sebelum diterapkan Kurikulum 2013 perlu terlebih dahulu diujicobakan.

3. Kurikulum adalah suatu sistem yang meliputi tujuan yang secara operasional harus dicapai, materi pendidian yang telah dipilih sebagai objek belajar, model pembelajaran yang relevan, sistem evaluasi yang akan diterapkan, serta sarana dan prasarana yang harus disiapkan. Bila kurikulum 2013 akan diterapkan, pertanyaannya: sudahkah kelima elemen dari sistem kurikulum benar-benar telah dirancang dan dikembangkan? Selama ini setiap perubahan kurikulum tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan karena perubahan yang dilakukan hanya sampai pada penetapan struktur program dan materi pelajaran, selanjutnya model pembelajaran, sistem evaluasi dan sarana prasarana tidak diperhatikan. Yang paling memprihatinkan adalah bahwa yang diutamakan adalah Ujian Nasional sebagai alat yang menentukan kelulusan peserta didik dan berdampak pada sulit tercapainya tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tertulis dalam Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.

4. Pembaharuan pendidikan tidak berdampak pada pebaikan pendidikan apabila guru tidak terpengaruh oleh pembaharuan yang dilakukan. Atas dasar itu suatu perubahan kurikulum tidak akan bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan bila tenaga pendidiknya secara profesional tidak siap dan mampu berkomitmen menerapkan kurikulum yang baru. Karena itu untuk menrapkan kurikulum baru perlu dipastikan komitmen dan kesiapan guru secara profesional.

5. Ketersediaan sarana dan prasarana akan menentukan mutu pendidikan. Bila selama ini berbagai pembaharuan kurikulum tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, tidak lain adalah karena sarana-prasarana diabaikan, khususnya buku. Untuk melaksanakan kurikulum yang menerapkan empat pilar (learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be), diperlukan berbagai buku sebagai sumber belajar. Tidak hanya buku teks, tetapi juga buku bacaan, buku rujukan dan buku sumber. Karena itu pelaksanaan kurikulum baru tidak dapat hanya diandalkan kepada buku teks. Yang cukup mengagetkan adalah bahwa buku teks akan disiapkan bersamaan dengan penyiapan kurikulum.

Pendidikan Karakter Melalui Pola Pembelajaran Integralistik

$
0
0

Oleh: Dr. Zubaedi M. Ag., M. Pd.
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Bengkulu dan Anggota ISPI

Zubaedi

Pendahuluan
Pendidikan karakter (character education) akhir-akhir ini  menjadi salah satu topik yang sangat relevan diperbincangkan. Hal ini didasari oleh keinginan dan kebutuhan dalam menemukan formulasi pendidikan karakter yang tepat untuk mengatasi problem kemerosotan karakter bangsa yang sedang terjadi.

Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis karakter yang cukup mengkhawatirkan di tengah-tengah masyarakat, dikarenakan dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas[1], maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja[2], kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obat-obatan,  pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar mencontek, kebiasaan bullying di sekolah dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Perilaku orang dewasa juga setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela, perselingkuhan dan sebagainya.

Kondisi krisis[3] dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya.[4] Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau  kognitif semata sedangkan aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan.

Menurut Sudarminta, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat  aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan  sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dengan kata lain, aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema menegaskan bahwa persoalan komitmen dalam mengintegrasikan pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional.

Atas kondisi demikian, semua orang sepakat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orang tua, dan masyarakat umum, semua menyuarakan kekhawatiran yang sama. Kita memang harus khawatir. Setiap hari berita-berita berisi tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai anak-anak membuat kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan tersebut.

Indikator lain yang mengkhawatirkan juga terlihat pada sikap kasar anak-anak yang lebih kecil; mereka semakin kurang hormat terhadap orang tua, guru, dan sosok-sosok lain yang berwenang; kebiadaban yang meningkat, kekerasan yang bertambah, kecurangan yang meluas, dan kebohongan yang semakin lumrah. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mencemaskan dan masyarakat pun harus waspada. Sebagian orang tua mulai mulai mengirim anaknya ke sekolah khusus, sementara sebagian lain mendidik anaknya di rumah; pengadilan menjatuhkan hukuman untuk remaja seberat hukuman orang dewasa. Berbagai macam strategi pendidikan dicoba: para guru mengajarkan rasa percaya diri dan kemampuan mengatasi konflik, penasehat mengajarkan keterampilan sosial dan cara mengendalikan kemarahan, jumlah murid dalam kelas diperkecil dan meningkatkan standar akademis. Para psikolog mengembangkan teori-teori baru yang lebih komplet. Howard Gardner merombak pemahaman kita tentang kemampuan kognitif anak dengan teori kecerdasan majemuk, dan Daniel Goleman memperkenalkan kecerdasan emosi.[5]

Diakui, persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral, belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan moral, semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya. Untuk itu, kondisi dan fakta kemerosotan karakter dan moral yang terjadi menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan  karakter pada para siswa.

Misi dari pendidikan itu adalah membuat manusia menjadi manusia. Artinya pendidikan itu harus mengarahkan seorang individu yang memiliki karakter positif dengan ciri  insan yang sadar diri dan sadar lingkungannya.[6]

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang. Coon mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.[8] Karakter berarti tabiat atau kepribadian. Karakter merupakan “keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak.

Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’.  Hill (Wanda Chrisiana, 2005) mengatakan, character determines someone’s private thoughts and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation”.[9] Dalam konteks ini, karakter dapat diartikan sebagai identitas diri seseorang.

Griek mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai paduan dari pada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Kemudian Leonardo A. Sjiamsuri dalam bukunya “Kharisma Versus Karakter” yang dikutip Damanik mengemukakan bahwa karakter merupakan siapa anda sesungguhnya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang atau sesuatu yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu berbeda dari yang lain.[10]

Menurut Ekowarni (2010), pada tatanan mikro, karakter diartikan; (a) kualitas dan kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi tertentu; atau (b) watak, akhlak, ciri psikologis. Ciri-ciri psikologis yang dimiliki individu pada lingkup pribadi, secara evolutif akan berkembang menjadi ciri kelompok dan lebih luas lagi menjadi ciri sosial. Ciri psikologis individu akan memberi warna dan corak identitas kelompok dan pada tatanan makro akan  menjadi ciri psikologis atau karakter suatu bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa berproses secara dinamis sebagai suatu fenomena sosio-ekologis.[11] Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa karakter merupakan jati diri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang.

Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Karakter selalu berkaitan dengan dimensi fisik dan psikis individu. Karakter bersifat kontektual dan kultural.  Karakter bangsa merupakan jati diri bangsa yang merupakan kumulasi dari karakter-karakter warga masyarakat suatu bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Endang Ekowarni (2010) bahwa karakter merupakan nilai dasar prilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia (when character is lost then everyting is lost). Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai(respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happinnes), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung  jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicty), toleransi (tolerance) dan persatuan (unity).

Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Dalam tulisan bertajuk “Urgensi Pendidikan Karakter”, Prof. Suyanto, Ph. D menjelaskan bahwa “karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat”.[12]

Pengertian ini senada dengan pengertian dari sumber lain yang menyatakan bahwa “character is the sum of all the qualities that make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions, artinya: “Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan demikian, karakter dapat disebut sebagai jatidiri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya”[13]

Karakter menurut Alwisol diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit.[14] Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan aktivitas individu.

Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.[15] Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.

Menurut Joel Kuperman,, karakter bermakna instrument for making and graving, impress, stamp, distinctive mark, distinctive nature.” Berkowitz mengartikan karakter sebagai ….an individual’s set of psychological characteristics that affect person’s ability and inclination to function morally. Karakter merupakan ciri atau tanda yang melekat pada suatu benda atau seseorang. Karakter menjadi tanda identifikasi. Wilhelm menyatakan character can be measured corresponding to the individual’s compliance to a behavioral standard or the individual’s compliance to a set moral code. Dengan demikian, secara sederhana karakter merepresentasikan identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada aturan atau standar moral dan termanifestasikan dalam tindakan. [16] Fasli Jalal [17] merumuskan defenisi karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.

Karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan yaikni: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling  (perasaan moral), dan moral behaviiour (perilaku moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaiikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good). Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan dalam pemikiran (habits of the mind), pembiasaan dalam hati (habits of the heart) dan pembiasaan dalam tindakan (habits of the action). Ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin ditanamkan pada diri anak-anak, hal ini jelas kita menginginkan agar anak-anak mampu menilai apakah hak-hak asasi, peduli secara mendalam apakah hak-hak asasi, dan kemudian bertindak apa yang diyakini menjadi hak-hak asasi.

Karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau yang dikenal sebagi karakter dasar yang besifat biologis. Menurut Ki Hadjar Dewantara, aktualisasi karakter dalam bentuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis dengan hasil hubungan atau interaksi dengan lingkungannya. Karakter dapat dibentuk melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri kemanusiaannya. Dengan pendidikan akan dihasilkan kualitas manusia  yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding faktor lain, pendidikan memberi dampak dua atau tiga kali lebih kuat dalam pembentukan kualitas manusia.[18]

Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam konteks kebangsaan, pembangunan karakter diorientasikan pada “…tiga tataran besar, yaitu (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.”

 

 

B. Pola Pembelajaran Integralistik (Terpadu)

Pendidikan karakter tidak merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi diintegrasikan dalam kurikulum dan berfungsi  menjadi penguat kurikulum yang sudah ada.  Pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam kegiatan pembelajaran berarti memadukan, memasukkan, dan menerapkan nilai-nilai yang diyakini baik dan benar dalam rangka membentuk, mengembangkan, dan membina tabiat atau kepribadian peserta didik sesuai jatidiri bangsa tatkala kegiatan pembelajaran berlangsung.[19] Nilai-nilai karakter   antara lain (1) Religius, (2) Jujur, (3)Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai yang terkandung dalam karakter bangsa ke dalam kegiatan pembelajaran pada setiap mata pelajaran dalam konteks pembentukan karakter bangsa, sesungguhnya kegiatan tersebut ingin merealisasikan terhadap apa-apa yang tertera dalam kurikulum yang berlaku di sekolah, melalui kajian dan aplikasi nilai-nilai yang terkandung di dalam karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran di sekolah.  Integrasi nilai-nilai karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap-tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Proses pembelajaran pendidikan karakter secara integralistik (terpadu) bisa dibenarkan karena sejauh ini muncul keyakinan bahwa anak akan tumbuh dengan baik jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Istilah terpadu pada pembelajaran terpadu atau integrated adalah”………repositioning of earning experiences into meaningful contexs, maksudnya bahwa pembelajaran terpadu menekankan pengalaman belajar dalam konteks yang bermakna.[20] Pembelajaran terpadu didefinisikan juga sebagai : “Suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna pada anak”.  Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, anak akan memahami konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami anak melalui kesempatannya mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa otentik (alami). Dalam pembelajaran semacam itu, anak diharapkan selalu mendapatkan kesempatan untuk terlibat secara aktif sesuai dengan aspirasi dan minatnya, dimana dalam pembelajaran terpadu sangat menghargai keragaman dan bertolak dari tema-tema.

Menilik perkembangan konsep pendekatan terpadu di Indonesia, pada saat ini model pembelajaran yang dipelajari dan berkembang adalah model pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty (1990). Model pembelajaran terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty ini berawal dari konsep pendekatan interdisipliner yang dikembangkan oleh Jacob (1989). Penerapan pendekatan integratif itu bersifat rentangan (continuum): di mulai dari keterpaduan sederhana yang berbasis satu mata pelajaran (dicipline based), meningkat ke keterpaduan mata pelajaran yang sejalan (parallel discipline), lintas mata pelajaran (cross dicipline), beberapa mata pelajaran (multi dicipline), antar mata pelajaran (interdiciplinary), integrasi dalam waktu atau hari-hari mata pelajaran (integrated day) dam integrasi dalam keseluruhan program sekolah (complete program).[21] Fogarty  menyatakan bahwa ada 10 model integrasi pembelajaran, yaitu model fragmented, connected, nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan networked. Model-model itu merentang dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, mulai dari separated-subject sampai eksplorasi keterpaduan antar aspek dalam satu bidang studi (model fragmented, connected, nested), model yang menerpadukan antar berbagai bidang studi (model sequenced, shared, webbed, threaded, integrated), hingga menerpadukan dalam diri pembelajar sendiri dan lintas pembelajar (model immersed dan networked).

Pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan bertitik tolak dari suatu topik atau tema yang dipilih dan dikembangkan guru bersama anak, dengan cara mempelajari dan menjelajahi konsep-konsep dari tema tersebut. Disamping itu pembelajaran terpadu didasari pada pendekatan inkuiri yang melibatkan anak dalam perencanaan, eksplorasi, dan tukar menukar ide, serta anak didorong untuk bekerjasama dalam kelompok dan didorong untuk merefleksikan kegiatan belajarnya sehingga mereka dapat memperbaiki secara mandiri. Sementara itu menurut Joni R pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan dua konsep atau lebih yang relevan dari suatu rumpun mata pelajaran (intra) atau beberapa konsep yang relevan dari sejumlah mata pelajaran (antar). Dalam hal ini pengkaitan beberapa konsep itu haruslah yang relevan dan tidak dapat dipaksakan atau sekedar dikaitkan. Artinya pengkaitan itu harus mempertimbangkan berbagai hal seperti kebutuhan siswa, menarik minat siswa, disesuaikan dengan kurikulum dan berfungsi untuk mengefektifkan kegiatan pembelajaran, sehingga siswa memperoleh pengetahuan baru dan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang baru diperolehnya itu dalam berbagai situasi baru yang semakin kaya ragamnya sesuai dengan prinsip belajar yang bermakna.

Conny R Semiawan membatasi pembelajaran terpadu sebagai “cara belajar yang wajar bagi anak“. Menurutnya proses integratif beranjak dari topik tertentu tetapi lebih bersifat longgar dalam mengaitkan topik sebagai “center of interest” (pusat perhatian) dengan unsur-unsur lain dari berbagai mata pelajaran guna membentuk keseluruhan yang lebih bermakna. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dengan menghubungkan konsep lain yang sudah mereka pahami. Keuntungannya dipandang dari perspektif anak maka bidang studi yang terpisah sangat sesuai. Ia membaca, menghitung, mencatat sesuatu dengan minat yang tidak langsung beranjak dari bidang studi tertentu.

Gillian, Collins dan Dixon mengatakatan bahwa pembelajaran terpadu akan terlaksana apabila terjadi peristiwa atau eksplorasi topik menjadi penggerak kurikulum. Menurutnya berpartisipasi dalam peristiwa otentik atau topik anak belajar sekaligus mendapatkan isi yang lebih luas dari kurikulum yang telah disusun.

Menurut Oemar Hamalik bahwa, pembelajaran terpadu adalah sistem pengajaran yang bersifat menyeluruh, yang memadukan berbagai disiplin pembelajaran yang berpusat pada suatu masalah atau topik atau proyek, baik teoritis maupun praktis, dan memadukan kelembagaan sekolah dan luar sekolah yang mengembangkan program yang terpadu berdasarkan kebutuhan siswa, kebutuhan masyarakat dam memadukan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengembangan kepribadian siswa yang terintegrasi.9 Dalam pengertian diatas merupakan reaksi terhadap pembelajaran yang terpisah-pisah dimana antara mata pelajaran satu dengan yang lainnya tidak dihubungkan tetapi bersifat terkotak-kotak. Disisi lain sistem ini pada hakikatnya merupakan pengembangan yang lebih luas dari pengejaran sistem bidang studi. Dengan demikian pembelajaran harus sesuai dengan minat dan kebutuhan anak yang betitik tolak dari suatu masalah atau proyek yang dipelajari oleh siswa baik secara individual maupun kelompok dengan metode yang bervariasi dan dengan bimbingan guru guna mengembangkan pribadi siswa sacara utuh dan terintegrasi.

Dari uraian pendapat diatas, maka pengertian pembelajaran terpadu dapat disimpulkan sebagai berikut : (1). Pembelajaran beranjak dari suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik berasal dari bidang studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi yang lainnya. (2) Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata sekeliling dan dalam rentang kemampuan anak. (3). Suatu cara untuk mngembangkan pengetahuan dan ketrampilan anak secara simultan. (4). Merakit atau menghubungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.

Pembelajaran terpadu dapat memberikan dampak langsung (instrutional effects) melalui pencapaian tujuan pembelajaran khusus dan dampak tidak langsung atau dampak pengiring (nurturan effects) sebagai akibat dari keterlibatan siswa dalam berbagai ragam kegiatan belajar yang khas dirancang oleh guru.[22]

Dengan demikian dari uraian ciri-ciri pembelajaran terpadu diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) berpusat pada anak (child centered), (2) memberikan pengalaman langsung kepada anak, dan (3) pemisahan antara bidang studi tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran, (5) bersifat luwes dan (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai minat dan kebutuhan anak.

Pendidikan karakter secara terintegrasi (terpadu) di dalam pembelajaran dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkahlaku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.[23]

Integrasi dapat dilakukan dalam substansi materi, pendekatan dan metode pembelajaran, serta model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan. Integrasi pendidikan karakter bukan saja dapat dilakukan dalam materi pelajaran, namun teknik dan metode mengajar dapat pula digunakan sebagai alat pendidikan karakter.

Model pembelajaran terpadu berdasarkan lintas beberapa disiplin ilmu yang sering digunakan untuk pendidikan karakter adalah model webbed. Model ini memadukan materi pembelajaran dari beberapa bidang studi dalam satu tema yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dalam bentuk jaringan laba-laba.

Secara teoritis, ada dua pendekatan yang ditawarkan banyak pihak dalam menerapkan karakter di sekolah. Pertama, pendidikan karakter diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, pendidikan karakter diposisikan sebagai misi setiap mata pelajaran atau diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Agaknya pendekatan kedua yang menjadi pilihan dalam implementasi pendidikan karakter yang bakal diterapkan di sekolah-sekolah. Hal ini sejalan dengan pernyataan wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal yang ditulis oleh Napitupulu, E. L. Pendidikan karakter yang didorong oleh Pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat. Jadi pendidikan karakter tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. Namun, dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah. [24]

Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Setiap guru diharapkan dapat menjadi guru pendidikan karakter dan setiap guru seharusnya berkompeten untuk mendidik karakter peserta didiknya. Bayank pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan karakter tidak usah diajarkan khusus sebagai mata perlajaran yang berdiri sendiri. Artinya setiap guru mata pelajaran memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik karakter siswanya.

Pendidikan karakter menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, yang dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam konteks ini, pendidikan harus membangun  kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri peserta didik hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.

Pada prinsipnya mendidik karakter bukan hanya menjadi tugas sebagian guru tertentu saja seperti guru PKn, guru Akidah Akhlak, guru Bimbingan Konseling ataupun guru Agama. Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kita bersama termasuk di dalamnya seluruh guru mata pelajaran.

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan peserta didik dengan ayat, dalil, ataupun teori-teori kebaikan. Guru sebagai ujung tombak terlaksananya pembelajaran hendaknya mampu meramu kurikulum terpadu yang dapat menyentuh seluruh kebutuhan anak. Salah satunya dengan menerapkan kurikulum holistik berbasis karakter. Menurut Sofyan A. Djalil, kurikulum ini merupakan sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan misalnya yang terdapat dalam mata pelajaran IPA SD dapat dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (holistik).[25]

 

C. Langkah-Langkah Pembelajaran Terpadu

Secara makro, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum melalui: (1) Program pengembangan diri, (2) Pengintegrasian ke dalam semua mata pelajaran, (3) Pengintegrasian ke dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, (4) Pembiasaan[26]

(1) Program Pengembangan Diri

Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter dalam program pengembangan diri dilakukan melalui pengintegrasian  ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu: kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, teladan dan pengkondisian. Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten pada setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: berbaris masuk ruang kelas, membersihkan kelas, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lain-lain) pada setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dluhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan yang lain, belajar secara rutin dan rajin,  upacara pada hari besar kenegaraan dan sebagainya.

Adapun kegiatan spontan berupa kegiatan yang dilakukan secara spontan ketika pendidik menjumpai dan mengetahui prilaku anak yang tidak baik, yang tidak baik yang harus langsung dikoreksi agar ia tidak mengulanginya. Contoh perbuatan tidak baik adalah prilaku anak didik membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bullying, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh dan sebagainya. Apabila guru mengetahui sikap atau perulaku peserta didik yang demikian, hendaknya secara spontan diberikan pengertian sebagaimana sikap dan perilaku yang baik, misalnya kalau membuang sampah pada tempatnya, meminta sesuatu dilakukan dengan sopan dan tidak berteriak-teriak, menghindari perkelahian dan lain-lain.

Kegiatan spontan berlaku juga untuk perilaku dan sikap peserta didik yang yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji dan sebagainya.

Adapun keteladanan atau pemberian contoh di sini maksudnya adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, guru dan staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan sebagai model bagi peserta didik. Dalam hal ini,  perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan berperan langsung menjadi panutan atau contoh bagi peserta didik. Jika guru dan tenaga kependidikan menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter  maka mereka adalah orang yang pertama dalam memberikan contoh dalam sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai. Segala sikap dan tingkah laku guru, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya dengan berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, tidak makan sambil berjalan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, mengucap salam apabila bertemu orang, dan tidak merokok di lingkungan sekolah.

Sementara pengkondisian dilakukan dengan mengkondosikan sekolah sebagai pendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam konteks, sekolah harus mencerminkan kehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai karakter, misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.

(2) Pengintegrasian dalam semua Mata Pelajaran

Praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada kesan  mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran karena setiap mata pelajaran pada dasarnya memiliki nilai-nilai karakter yang harus dilalui dan dicapai siswa. Hanya saja, sebagian besar guru tidak menyadari bahwa ada nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu menumbuhkan kesadaran bagi setiap guru apapun pelajarannya untuk ikut melakukan pendidikan karakter.

Ada banyak cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran, antara lain: mengungkapkan nilai-nilai yang dikandung dalam setiap mata pelajaran, pengintegrasian nilai-nilai karakter secara langsung ke dalam  mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi dan brainstroming, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan amal, kunjungan sosial, field trip atau outboud dan klub-klub kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran membutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antara semua mata pelajaran dalam mendidik karakter peserta didik.  Peran dan fungsi mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarga-negaraan (PKn dalam membangun akhlak atau moral perlu mendapatkan dukungan dan penguatan dari mata pelajaran yang lain seperti pendidikan jasmani (olahraga), IPS, IPA (sains), dan matematika. Atas pertimbangan ini, semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter siswa.

1. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Peran pendidikan agama dalam membangun karakter atau akhlak akan lebih optimal pada-masa mendatang jika ia mendapat dukungan dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn). Bahkan bisa dikatakan, dalam konteks pendidikan karakter kita tidak bisa mengabaikan peran strategis mata pelajaran pendidikan  kewarganegaraan (PKn), atau sebelumnya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).[27] Sebagai instrument pendidikan karakter bangsa, mata pelajaran tersebut diberikan sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Persoalannya adalah mengapa akhir-akhir ini kita masih banyak menyaksikan perilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial dari warganegara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4 sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian warga negara, paling tidak sudah banyak warga negara yang perilakunya tidak lagi dipedomani oleh nilai-nilai Pancasila dan butir-butir P-4.

Menurut Malik Fajar, PKn memiliki peranan penting yang amat penting sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan, watak dan karakter warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam mencapai tujuan tersebut, PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif, dengan memperhatikan empat hal. Pertama, PKn perlu mengembangkan kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir, bersikap, bertindak serta berpartisipasi dalam hidup masyarakat). Kedua, PKn perlu mengembangkan daya nalar (state of mind) peserta didik/siswa pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga Negara sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga, PKn peerlu mengembangkan pendekatan pembelajaran yang yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pada pelatihan penggunaan logika dan penalaran. Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi bukan sekedar membutuhkan pemahaman, sikap dan perilaku demokratis melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), tetapi memerlukan model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democracy).[28]

Peran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai instrumen pendidikan karakter sejauh ini dirasakan belum optimal yang diduga karena muatannya lebih banyak menekankan aspek kognitif. PKn lebih banyak menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif. Dalam kenyataannya, pendidikan kewarganegaraan lebih banyak mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tanpa disertai dengan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi yang digunakan juga lebih menekankan aspek kognitif, sehingga proses belajar mengajar di sekolah lebih bersifat transfer pengetahuan, daripada mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Yang lebih ironis, pengetahuan yang telah dimiliki tidak dijadikan referensi atau pembimbing dalam berperilaku. Pengetahuan yang mereka peroleh hanya sekedar pengetahuan tanpa makna. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan yang didalamnya ada perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi. Hal ini bisa kita buktikan, misal, hampir semua siswa tahu bahwa kalau lampu lalu lintas menyala merah artinya harus berhenti, tetapi masih banyak juga yang melanggar. Hampir semua siswa tahu kalau membuang sampah di sembarang tempat dapat menimbulkan banjir, tetapi masih banyak siswa, bahkan juga mereka yang naik mobil membuang sampah di sembarang tempat.

Barang kali penyebab lain terhadap kurang optimalnya pendidikan kewarganegaran (PKn) dalam berkontribusi membangun karakter karena perbedaan orientasi dan muatan PKn dibandingkan dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Jika kita bandingkan antara maksud, tujuan dan ruang lingkup dari matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada kurikulum 1994 dengan matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada kurikulum 2004 ada perbedaan yang cukup signifikan. Pada kurikulum 2003 disebutkan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pada kurikulum 1994 disebutkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari siswa baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga dimaksudkan membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahukuan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Secara konseptual ada perbedaan penekanan antara mata pelajaran PPKn dengan PKn. Mata pelajaran PPKn lebih menekankan pada pembangunan karakter dan pelestarian nilai-nilai Pancasila. Sedangkan mata pelajaran PKn lebih menekankan pada pembentukan warga negara yang paham akan hak dan kewajiban. Di lihat dari tujuan, mata pelajaran PKn bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.[29] Dalam kurikulum 1994 disebutkan bahwa fungsi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah: (1) mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai dan moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab antangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat; (2) mengambangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik dan konstitusi NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945; (3) membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga negara dengan negara, antar warganegara dengan sesama warganegara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Kemudian secara tegas disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut. Dari tujuan juga jelas berbeda. PKn lebih menekankan pada pembentukan karakter (afektif), sedangkan PPKn lebih menekankan pada aspek berpikir kritis (kognisi). Sebenarnya antara moralitas dengan berpikir bukan dua hal yang terpisah sama sekali. Keduanya mempunyai hubungan. Kemampuan berpikir/kognisi seharusnya membimbing perilaku, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuanya juga semakin baik sikap dan moralnya, sebagaimana dalam pepapatah ilmu padi semakin berisi semakin merunduk. Secara filosopis buah dari ilmu itu adalah wisdom/bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan mampu merubah perilaku seseorang, semakin tinggi tingkat`pendidikannya semakin bijak sikap dan perilakunya.[30]

2. Pendidikan Jasmani (Olah Raga)

Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai pesan dan alat (as medium and message) yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu. Dengan pemahaman ini maka sesungguhnya peran pendidikan karakter bisa dijalankan oleh semua mata pelajaran, termasuk mata pendidikan jasmani.  Hal ini sejalan dengan pendapat Solomon (1997), yang menegaskan  bahwa konsep pengembangan afektif sebagai tujuan dari pendidikan melalui pendidikan jasmani sudah diperkenalkan lebih dari 160 tahun yang lalu. Pada 1831, merupakan awal guru pendidikan jasmani mengajukan permohonan agar pendidikan jasmani dijadikan bagian dari salah satu aspek dalam kurikulum pengembangan karakter. Lebih lanjut dinyatakan olehnya bahwa pelayanan pendidikan jasmani yang disampaikan guru berkompeten dapat mempromosikan perkembangan afektif.

Park (1983) menyatakan bahwa peluang mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang mempengaruhi perilaku siswa dapat dikembangkan melalui olahraga dan permainan. Dalam konteks ini, peran guru pendidikan jasmani perlu ditekankan agar dapat mengatasi masalah-masalah etika dan mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab secara moral dalam olahraga. Berdasarkan paparan ini bisa dikatakan bahwa para pendidik sangat yakin salah satu tujuan pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, adalah menekankan hasil ranah afektif atau perkembangan karakter dalam kurikulumnya.[31]

Berbagai penelitian terkini mendukung pendapat bahwa melalui pengelolaan pengalaman pendidikan jasmani dapat menfasilitasi terjadinya perkembangan karakter siswa. Pengembangan karakter dapat dilihat sebagai komponen perkembangan moral yang tidak mencakup konotasi keagamaan. Menurut Solomon dkk, (1990) dalam pendidikan jasmani, masalah moral yang timbul biasanya mencakup situasi di mana siswa ditantang mewujudkan adanya keseimbangan secara bersamaan antara hak dan tanggung jawab dirinya dengan hak dan tanggung jawab orang lain. Siswa menunjukkan perkembangan moral secara dewasa apabila memiliki kemauan dan kemampuan berjuang mencari keseimbangan antara kebutuhan diri dan kebutuhan lain. Pengelolaan pendidikan jasmani menimbulkan berbagai situasi di mana siswa harus membuat keputusan tentang kebutuhan hak dirinya dengan hak dan tanggung jawab siswa lainnya. Kejadian ini sering timbul, maka guru harus menentukan strategi yang memadai untuk menangani isu-isu moral, dan pengembangan karakter siswa melalui pendidikan jasmani.[32]

Pentingnya mengembangkan karakter ditekankan dalam tujuan dan fungsi standar kompetensi nasional pendidikan jasmani sebagaimana yang tertuang dalam Kurikulum tahun 2004. Dua di antaranya menyatakan bahwa tujuan pendidikan jasmani, yaitu: (1) meletakan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai dalam Pendidikan Jasmani; dan (2) mengembangkan sikap yang sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani. Guru pendidikan jasmani dapat membantu siswa memenuhi standar tersebut dengan menekankan pentingnya karakter dan kebajikan moral. Ketika siswa sedang mempelajari dan melakukan berbagai aktivitas olahraga, guru harus menekankan bahwa mengejek orang lain, berbuat curang, dan kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan sportivitas dan kebajikan moral.

Salah satu karakter yang bisa ditumbuhkan melalui materi pelajaran olah raga adalah rasa percaya diri (self confident). Rasa percaya diri sangat penting dibangun pada diri peserta didik mengingat ia akan menjadi modal berharga bagi seorang anak dalam menjalani kompetisi dalam kehidupan. Menurut Widoyoko, percaya diri ini memiliki tujuh ciri atau karakteristik.  Pertama, percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain. Kedua, tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok. Ketiga, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri. Keempat, punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil). Kelima, memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain. Keenam, mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya. Ketujuh, memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.[33]

3. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Misi pendidikan karakter seyogyanya juga diemban oleh mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial  (IPS). IPS mempunyai tugas mulia dan menjadi fondasi penting bagi pengembangan intelektual, emosional, kultural, dan sosial peserta didik, yaitu mampu menumbuhkembangkan cara berfikir, bersikap, dan berperilaku yang bertanggungjawab selaku individual, warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Selain itu IPS pun bertugas mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif untuk perbaikan segala ketimpangan, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun di masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.

IPS merupakan bagian dari dari kurikulum sekolah yang tanggungjawab utamanya adalah membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global.[34] Hal ini sejalan dengan tujuan Kurikulum IPS tahun 2004, yaitu: mengkaji seperangkat fakta, peristiwa konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan prilaku manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan diantisipasi untuk masa yang akan datang. IPS sebagai suatu pelajaran diberikan di jenjang persekolahan yaitu SD, SMP dan SMA. di SD dan SMP diberikan secara terintegrasi, namun dalam Standar Isi masih tampak adanya materi yang terpisah-pisah (separated), di SMA sebagai ilmu sosial sangat terpisah-pisah, walaupun payungnya dalam kurikulum tetap IPS. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkajidan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan.

Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang didesain atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, pendidikan. Oleh karena itu, IPS dapat dikatakan sebagai studi mengenai perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut peristiwa, seperangkat fakta, konsep dan generalisasi yang berkait dengan isu-isu aktual, gejala dan masalah-masalah atau realitas sosial serta potensi daerah.

Dalam Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS-IKIP, dan Jurusan IPS FKIS/STKIP di Yogyakarta tahun 1991 disepakati bahwa pendidikan IPS merupakan seleksi dan adaptasi bahan dari disiplin Ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah-pedagogis dan psikologis untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan.

Mata pelajaran IPS dianggap cukup komprehensif dalam merespon dan memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan di Indonesia, sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik. Sifat mata pelajaran IPS seharusnya lebih bersifat edukatif ketimbang akademis. Dalam konteks ini, rumusan tujuan pembelajaran IPS telah memenuhi aspek-aspek yang menjadi sasaran dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.[35]

Tujuan pembelajaran IPS mencakup lima hal. Pertama, mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan (atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya). Kedua, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan sosial. Ketiga, membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan (serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa). Keempat, memiliki kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.

Rumusan tujuan pembelajaran IPS tersebut menyangkut aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Fenton pernah mengatakan bahwa tujuan pembelajaran IPS itu terdiri atas tiga kluster yakni: (1) pengembangan keterampilan inkuiri dan berpikir kritis; (2) pengembangan sikap dan nilai; dan (3) pemahaman pengetahuan.

Dari berbagai rumusan tersebut, secara umum kompetensi dan tujuan pembelajaran IPS adalah mengantarkan, membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar (1) menjadi warga negara (dan juga warga dunia) yang baik; (2) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan penuh kearifan untuk dapat memahami, menyikapi, dan ikut memecahkan masalah sosial; serta (3) membangun komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan menghargai serta ikut mengembangkan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia. Pembelajaran IPS juga diharapkan dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan seperti berkomunikasi, beradaptasi, bersinergi, bekerja sama, bahkan berkompetisi sesuai dengan adab dan norma-norma yang ada. Selanjutnya, para peserta didik diharapkan menghargai dan merasa bangga terhadap warisan budaya dan peninggalan sejarah bangsa, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur, mencontoh nilai-nilai keteladanan dan kejuangan para pahlawan, para pemuka masyarakat dan pemimpin bangsa, memiliki kebanggaan nasional dan ikut mempertahankan jati diri bangsa.

Menurut Wayan Lasmawan, ada tiga kompetensi dalam pembelajaran IPS yakni: kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi intelektual.[36] Kompetensi personal merupakan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian diri peserta didik sebagai makhluk individu yang merupakan hak dan tanggung jawab personalnya. Sejumlah kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu dikembangkan misalnya, pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana menumbuhkembangkan budi pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan keimanan dan ketaqwaannya.

Adapun kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Sejumlah kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya sebagai anggota masyarakat sehingga perlu saling menghormati dan menghargai; pemahaman dan kesadaran atas kesantunan hidup bermasyarakat dan berbangsa; kemampuan berkomunikasi dan kerja sama antara sesama; sikap pro-sosial atau altruisme; kemampuan dan kepedulian sosial termasuk lingkungan; memperkokoh semangat kebangsaan, pemahaman tentang perbedaan dan kesederajatan. Sementara itu, kompetensi intelektual merupakan kemampuan berpikir yang didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu yang baik yang bersifat fisik, sosial, psikologis, yang memiliki makna bagi dirinya maupun orang lain. Kemampuan dasar intelektual ini berkaitan dengan pengembangan jati diri para peserta didik sebagai makhluk berpikir yang daya pikirnya digunakan untuk menerima dan memproses serta membangun pengetahuan, nilai dan sikap, serta tindakan  dalam kehidupan personal maupun sosialnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah sosial, merumuskan masalah sosial dan memecahkan masalah itu sebagai ciri penting dalam kemampuan berpikir. Ketiga kompetensi dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya itulah yang yang harus dibangun melalui pembelajaran IPS, sehingga melahirkan pelaku-pelaku sosial yang berkarakter mulia.

Mata pelajaran IPS akan lebih optimal dalam ikut membangun karakter peserta didik jika dilakukan dengan manajemen pembelajaran yang tepat. Menurut National Council for the Social Studies, pembelajaran IPS akan optimal  jika guru berpegang pada 5 prinsip pembelajaran yaitu: bermakna (meaningful), terpadu (integrative), menantang (challenging), aktif (active), dan berbasis nilai (value based).

4. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains)

Upaya menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik juga bisa dilakukan melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (sains). Menurut Sumaji dkk sebagai dikutip oleh Sofyan Sauri, Ilmu Pengetahuan Alam (sains) mengandung banyak sekali nilai kehidupan. Nilai moral yang dapat dikembangkan dalam hal ini menyangkut nilai kejujuran, rasa ingin tahu, serta keterbukaan. Proses sains dalam hal ini merupakan proses mempelajari serta mengambil makna pada kehidupan dan dunia di sekeliling kita. [37]

Banyaknya nilai penting kehidupan yang dapat dipelajari dari sains, memberi konsekuensi kepada para pendidik untuk dapat mengembangkan sains sebagai salah satu media dalam membentuk pribadi siswa. Dalam hal ini, siswa dapat diajak menelaah serta mempelajari nilai-nilai dalam sains yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Menyadari hal ini maka keterampilan mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui pembelajaran sains merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dikuasai oleh guru sains. Kompetensi ini dipandang penting sehingga harus diajarkan mulai dari calon guru dan dilatihkan kepada calon guru selama proses praktek pengalaman lapangan di sekolah.

Rustaman dan Rustaman sebagaimana dikutip Sofyan Sauri mengemukakan bahwa hakekat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu produk dan proses. Menurut Depdikbud (1993) tujuan sains adalah sebagai tuntutan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat sesuai zamannya. Sementara ini tujuan sains (dalam pengajaran) semakin berkembang, khususnya dalam tiga aspek hakikat, yaitu proses, produk dan sikap. Hal tersebut ditekankan kepada aspek teori dan praktek serta dirumuskan dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan personal dan sosial. Lebih jauh tujuan pengajaran sains adalah: (1). mengembangkan pemahaman peserta didik tentang alam; (2). mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memperoleh dan mengolah pengetahuan baru, dan; (3). Mengembangkan sikap-sikap positif. Dalam taksonomi tujuan pendidikan, tujuan pendidikan sains memiliki komponen diantaranya sebagai berikut: Hubungan antara sains dengan bidang-bidang lain, peranan sains di dalam masyarakat, implikasi sosial dan kultur dari sains serta hubungan antara sains-teknologi dan masyarakat.[38]

Menurut Rustaman dan Rustaman (1997) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA selain untuk memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya, juga ditujukan untuk: a) meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, kebanggaan nasional, dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa; b) mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah sehari-hari; c) mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai serta sikap ilmiah; dan d) menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan pembelajaran sains (IPA) tidak hanya berorientasi pada konsep akan tetapi juga berorientasi pada aspek-aspek nilai dan sikap ilmiah.

Sementara itu menurut Adiyanto, tujuan pendidikan sains adalah mencakup pengembangan ranah-ranah kognitif (pengetahuan), psikomotor (keterampilan), dan afektif (sikap dan nilai), serta ranah interkonektif (perpaduan ketiga ranah tersebut) yang melahirkan suatu kreatifitas untuk dapat menggali sistem nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya. Kemajuan ilmu sains, terutama biologi yang menunjukkan cepatnya perkembangan bioteknologi ternyata menimbulkan berbagai masalah baru yang memprihatinkan dan menuntut upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Upaya penyelesaian tersebut seringkali tidak dapat ditunda. Masalah yang ditimbulkan oleh penerapan biologi dan pemanfaatan bioteknologi dalam kehidupan sehari-hari seringkali bukanlah masalah-masalah teknis ilmiah, melainkan masalah yang mempunyai kandungan moral. Isu moral yang sesungguhnya terkait erat dalam penerapan bioteknologi. Masalah moral dalam penerapan bioteknologi hendaknya diatasi agar dampak yang buruk terhadap kehidupan manusia dapat dihindari. Dalam hal inilah kedudukan pendidikan nilai dan pengintegrasiannya dalam pembelajaran sains terutama biologi merupakan aspek yang tidak dapat dilewatkan.[39]

Guru mata pelajaran fisika seharusnya menyadari bahwa pembahasan materi fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Praktikum dalam mata pelajaran fisika bisa dijadikan media untuk mengembangkan kecakapan bekerja sama, disiplin, kerja kelompok. Melalui mata pelajaran fisika bisa diajarkan tentang keteraturan jagad raya dengan planet-planet yang beredar pada orbitnya. Guru dapat menanamkan karakter keagungan dan kekuasaan Allah yang pada akhirnya menumbuhkan cinta kepada Allah SWT sang pencipta alam semesta.

Isi mata pelajaran kimia juga dapat mengajarkan banyak nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa. Pelajaran kimia sarat dengan materi yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan umat manusia. Jadi kemashlahatan dari pembelajaran kimia sangat tergantung dari karakter manusianya. Jika manusianya berkarakter baik, maka ilmu kimia yang dimiliknya akan dimanfaatkan untuk kebaikan pula, begitupun sebaliknya.[40]

Demikian pula dengan materi pelajaran biologi.  Berpijak pada pendapat Yunus dan Pasha, para guru biologi hendaknya dapat menanamkan keimanan dan ketakwaan bagi siswa melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini penting untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang intelektual dengan ketauhidan yang sangat tinggi kepada Allah.

Pada mata pelajaran biologi, guru dapat menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa melalui materi-materi pelajaran yang diajarkannya. Seperti cinta kepada Alam semesta yang diciptakan Allah SWT. Melalui pelajaran ini guru dapat menanamkan karakter kepedulian terhadap lingkungan dan kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah SWT. [41]

Berpegang pada pendapat Sumarya,  nilai-nilai karakter/budi pekerti dapat dipelajari melalui konsep mata dan telinga. Mata dan telinga sebagai salah satu pokok bahasan dalam biologi hendaknya diajarkan sejak masa kanak-kanak sebagai indera yang harus digunakan untuk kebaikan. Mata tidak digunakan untuk melihat perilaku, gambar, dan hal-hal yang buruk. Sementara telinga juga harus diajarkan untuk digunakan mendengarkan nasehat atau kebaikan yang dapat membentuk karakter. Oleh karena konsep mata dan telinga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan sangat berperan dalam aktivitas belajar, maka pesan moral untuk menggunakan kedua organ ini di jalan kebaikan merupakan aspek penting dalam membentuk budi pekerti yang baik.

5.  Matematika

Mata pelajaran  matematika juga mengemban misi untuk pendidikan karakter. Dalam matematika terdapat nilai konsistensi dalam berpikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada (semua probabilitas) lalu mengeliminasi sejumlah kemungkinan tertentu dan akhirnya menemukan suatu kemungkinan yang pasti akan membawa kepada  jawaban yang benar.  Dari sini ada pengenalan probabilitas, ada eliminasi probabilitas, ada konklusi yang menunjukkan jalan yang pasti akan menuju kepada suatu jawaban yang benar.

Melalui matematika dapat ditanamkan sikap kejujuran. Siswa diajarkan untuk tidak salah melakukan operasi hitungnya, jangan sampai terjadi manipulasi data yang saat ini sangat marak dan telah menjadi tren di negara kita dengan mark up dan korupsinya. Guru matematika dapat menyentuh pikiran dan sekaligus hati siswa tentang bahaya korupsi yang menjadi salah satu sebab keterpurukan bangsa ini. Guru matematika bisa membuat contoh-contoh melalui penilaian afektif atau sikap, baik sikap siswa dalam menghadapi dan mengikuti pelajaran yang bersangkutan maupun sikap siswa dalam menyerap nilai-nilai yang ditanamkan pada materi pelajaran tersebut.

Langkah pengintegrasian nilai-nilai karakter pada setiap mata pelajaran pada setiap mata pelajaran termasuk pelajaran eksakta seperti matematika, kimia, fisika dan biologi serta mata pelajaran yang lain dilakukan antara lain: dengan mencantumkan nilai-nilai karakter tersebut dalam Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP). Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam Silabus ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

a.  Mengkaji Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam KI dan KD di atas sudah tercakup di dalamnya

b.  Memperlihatkan keterkaitan antara KI/KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan

c. Mencantumkankan nilai-nilai dan karakter  ke dalam silabus

d.  Mencantumkan nilai-nilai  yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP

e.  Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif yang memung-kinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai

f. Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.


(3) Pengintegrasi Nilai-nilai  dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler

Kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna (meaningful learning) jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai, yang yang dikemas secara menarik sekaligus memberi manfaat bagi siswa. Upaya ini perlu dilakukan untuk mengatasi kecenderungan para saat ini menunjukkan  keengganan untuk terlibat dalam kegiatan kesiswaan. Masih banyak siswa yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Barang kali keengganan ini terjadi dikarenakan kebanyakan kegiatan siswa yang tidak mendukung peningkatan personal growth and personal development.  Sebuah kegiatan yang sebenarnya positif seperti seminar ilmiah, namun karena umumnya lebih menempatkan siswa sibuk di luar ruangan dengan  menjadi panitia logistik ataupun penerima tamu maka keterlibatan mereka dalam kepanitiaan seminar ilmiah kurang memberikan pembelajaran yang bermakna. Untuk itu perlu penyederhanaan dalam pekerjaan teknis sebuah kepanitiaan dan dibutuhkan pendampingan oleh guru yang membimbing kegiatan kesiswaan.

Agar kegiatan kesiswaan pada masa-masa mendatang lebih bermakna bagi pembelajaran karakter anak didik dibutuhkan kegiatan kesiswaan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan perlu didampingi oleh coach atau mentornya yang membimbing kemana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus berada di tempat pada setiap waktu. Program kesiswaan perlu disajikan dengan menarik, mengikutsertakan teknik-teknik simulasi, role play dan diskusi.

Sejauh ini sudah ada kegiatan Unit Kegiatan Siswa yang diselenggarakan oleh berbagai sekolah dengan bermuatan pengembangan pedidikan karakter bagi siswa. Hal ini akan efektif bagi pengembangan karakter siswa jika ditangani lebih terarah untuk mengembangkan sikap-sikap positif yang akan memperkuat kepribadiannya. Kegiatan karate misalnya, apabila dihayati dan benar-benar ditujukan untuk pengembangan pedidikan karakter siswa, dapat diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat, mandiri, dan ketangguhan. Tentu saja untuk mengarah ke sini dibutuhkan kegiatan karate yang  terprogram dengan baik, ada durasi, capaian dan keberlanjutan. Jika karate ditargetkan untuk mewujudkan proses transformasi keyakinan, motivasi, karakter, impian, maka kegiatan karate harus dilakukan tidak hanya berhenti pada pelatihan, namun harus didampingi coaching oleh para coach yang tangguh, sampai akhirnya dalam durasi tertentu akan terjadi transformasi diri yang seutuhnya. Berkaitan dengan penciptaan karakter, Stepen R. Covey mengatakan: “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib.[42]

 

(4) Pembiasaan

Sekolah harus menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Dengan demikian, seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh siswa adalah bermuatan pendidikan karakter. Penciptaan miliu sangat penting agar berpengaruh positif dalam mendidik karakter anak. Penciptaan lingkungan disekolah dapat dilakukan melalui : 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan. Pemberian tugas kepada siswa perlu disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan. Sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di sekolah ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasal.

Kegiatan kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, Andalan Koordinator Urusan Keuangan, Andalan Koordinator Urusan Latihan, Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan, Andalan Koordinator Urusan Perlengkapan, Andalan Koordinator Urusan  Kedai Pramuka, dan Pembina gugusdepan. Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government.

Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap klub olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok.

Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis ini dilakukan oleh para santri senior dan guru, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua siswa, terutama siswa senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan; pendekatan program, pendekatan manusiawi (personal) dan pendekatan idealisme. Mereka juga dibina, dibimbing, didukung, diarahkan, dikawal, dievaluasi dan ditingkatkan. Demikianlah pendidikan karakter yang diterapkan d sekolah melalui berbagai macam kegiatannya. Kegiatan yang padat dan banyak akan menumbuhkan dinamika, dinamika yang tinggi akan membentuk militansi dan militansi yang kuat akan menimbulkan etos kerja dan produktivitas. Pada akhirnya anak didik akan mempunyai kepribadian yang dinamis, aktif, dan produktif dalam segala kebaikan.

Kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka pendidikan karakter.Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh sekolah dari masyarakat dan sebaliknya yang bisa diperoleh oleh masyarakat dari hadirnya sekolah itu. Antara sekolah dan masarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa terlibat dalam proses belajar d sekolah yaitu: orangtua, masyarakat. Peran Orang tua. Agar model pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, kita membutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi partner yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orangtua adalah guru di rumah, karenanya mereka harus menganut visi yang sama dengan sekolah demikian pula dengan tujuan sekolah. Orangtua mesti setuju dengan tujuan sekolah untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah seyogyanya memberikan pelatihan mengenai human values parenting atau menjadi orang tua yang baik kepada semua ayah, ibu atau yang mengantar anak-anak ke sekolah. Ketika siswa berada d rumah, orang tua perlu meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memebrikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan guru perlu mengadakan pertemuan reguer untuk mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi siswa dan mesti membuat trencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah dan membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para siswa dan guru.

Komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus menerus tumbuh dan berkembang. Semua elemen di sekolah perlu tertanam kesadaran selalu dan sedang dalam proses belajar karena selalu ada interaksi antara setiap orang di sekolah dan komunitas. Guru dan siswa selalu berhubungan dengan orangtua dan kerabat mereka di masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan orang ta dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan sekolah. Setiap orang di sekolah termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh temapt-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dan lain-lain. Sebagai bagian dari pembelajaran, siswa harus blajar melayani komunitas atau masyarakat dalam pegembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di tempat-tempat ibadah. Sekolah mesti membantu komunitas untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar atau learning communities, sekolah akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini.

 

 


[1] Menurut Kepala BKKBN, Sugiri Syarif,  data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010,  menunjukkan 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra-nikah.  Artinya dari 100 remaja, 51 sudah tidak perawan. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. Dari kasus perzinaan yang dilakukan para remaja putri tersebut, yang paling dahsyat terjadi di Yogyakarta. Pihaknya menemukan dari hasil penelitian di Yogya kurun waktu 2010 setidaknya tercatat sebanyak 37 persen dari 1.160 mahasiswi di kota Gudeg tersebut menerima gelar MBA (marriage by accident) alias menikah akibat hamil maupun kehamilan di luar nikah. Didit Tri Kertapati, “Kepala BKKBN: 51 dari 100 Remaja di Jabodetabek Sudah Tak Perawan”  dalam detiknews.com, dipublikasikasikan pada Minggu, 28/11/2010, http://www.detiknews.com/read/2010/11/28/094930/ 150 4117/10/kepala-bkkbn-51-dari-100-remaja-di-jabodetabek-sudah-tak-perawan

[2] Kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko dikeroyok), dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos media massa. Baca Dimyati, “Peran Guru Sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral Melalui Pendidikan Jasmani”,  dalam  Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 84.

[3] Menurut tinjauan ESQ, tujuh krisis moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, krisis keadilan. Baca Darmiyati Zuhdi, Pendidikan Karakter  (Yogyakarta: UNY Press, 2009), hal. 39-40.

[4] Ratna Megawangi Ph.D, ” Pengembangan Program Pendidikan Karakter Di sekolah: Pengalaman Sekolah Karakter” dalam google.co.id, diakses pada Tanggal 15 Januari 2011. http://www. google.co.id/#q=Ratna+ Megawangi+ tentang +sembilan+pilar+ Pendidikan+Karakter &hl=id&biw=1024&bih=584&prmd=ivnso&ei=jjcxTbD4F8HWrQfwnezaCA&start=0&sa=N&fp=cbbda01b5db5fed0,

[5] Ibid., hal. 3.

[6] Sobirin, “Refleksi Hari Pendidikan Nasional”, Opini  dalam Harian Waspada, 3 Mei 2010

 

[7] Akhmad Sudrajat, ” Konsep Pendidikan Karakter”, dalam akhmadsudrajat.wordpress.com,  15 September 2010, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/ dan baca  Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (Jakarta, 2010).

[8] Melly Latifah, “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak”, dalam  Strawberrysekolah bakatprestasi.wordpress.com, dipublikasikan 17 Oktober 2010,   http://strawberrysekolahbakatprestasi. wordpress.com/2010/10/17/peranan-keluarga-dalam-pendidikan-karakter-anak/

[9] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 14-15.

[10] Anita Yus, “Pengembangan Karakter Melalui Hubungan Anak-Kakek-Nenek”, dalam  dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 91.

[11] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa…., hal. 14. .

[12] Suparlan, “Pendidikan Karakter:  Sedemikian  Pentingkah, dan Apakah Yang Harus Kita Lakukan” dalam Suparlan.com,dipublikasikan 15 Oktober 2010  http://www.suparlan.com/ pages/ posts/pendidikan-karakter-sedemikian-pentingkah-dan-apa-yang-harus-kita-lakukan-305.php.

 

                [13]  Pengertian karakter ini bersumber dari www.educationplanner.org.

[14] Alwisol,  Psikologi Kepribadian (Malang: UMM, 2006), hal. 8

[15] Tadkiroatun Musfiroh, ”Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam Arismantoro (Peny.), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 29.

[16] Almusanna, “Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 247.

[17] Fasli Jalal, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa: Tiga Stream Pendekatan (Jakarta: Kemendiknas, 2010).

            [18] Wahid Munawar, “Pengembangan Model Pendidikan Afeksi Berorientasi Konsiderasi untuk Membangun Karakter Siswa yang Humanis di Sekolah Menengah Kejuruan”, Makalah  dalam Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI (Bandung: UPI, 8-10 November 2010), hal. 339.

[19] Anik Ghufron, “Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa pada Kegiatan Pembelajaran” dalam Cakrawala Pendidikan, (Yogyakarta, UNY, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY), hal. 17.

[20] Cici Murniasih dan Suhartono, ”Pembelajaran Terpadu pada Pendidikan Usia Dini”, dalam puslitjaknov.org, Makalah disajikan dalam Simposium Pendidikan Dekdiknas 2008, http://puslit jak nov.org/data/file/2008/makalah_peserta/33_Cici%20Murniasih_paper%20pembelajaran%20terpadu%20untuk%20anak%20miskin.pdf

                [21] Hesty, “Implementasi Model Pembelajaran Tematik  untuk Meningkatkan Kemampuan Dasar Siswa Sekolah Dasar”, Makalah (Bangka Belitung: Lembaga Penjaminan Mutu, 2008), hal. 7.

    [22] Cici Murniasih dan Suhartono, ”Pembelajaran Terpadu pada Pendidikan Usia Dini”, dalam puslitjaknov.org, Makalah disajikan dalam Simposium Pendidikan Dekdiknas 2008, http://puslit jak nov.org/data/file/2008/makalah_peserta/33_Cici%20Murniasih_paper%20pembelajaran%20terpadu%20untuk%20anak%20miskin.pdf

                [23]  Triatmanto “Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter….., hal. 192.

                [24] Nurchaili, “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balitbang Kemendiknas, Vol. 16, Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 237-238.

[25] Azka, “Tugas Maba: Pendidikan Karakter….Op.cit.

                [26] Said Hamid Hasan dkk, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter…., hal. 15-21, dan  Katresna72, “Grand Design Pendidikan Karakter…., hal. 11.

[27] Sesungguhnya sejak awal kemerdekaan sudah ada good-will dari pemerintah untuk memberikan pendidikan moral bagi peserta didik. Pada awal kemerdekaan, ada mata pelajaran Civics (sekitar 1957-1958), kemudian berganti nama menjadi Kewarganegaraan (sekitar tahun 1962). Pada awal Orde Baru mata pelajaran Kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pada tahun 1975 dalam kurikulum yang dikenal kurikulum 1974 mata pelajaran PKn berganti nama dengan Pendidikan Moral Pancasila. Nama ini merujuk kepada Tap MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN. Kemudian sejak ada Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), materi P-4 masuk kedalam mata pelajaran PMP. Sejak tahun 1989 dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional muncul kurikulum baru yang mewajibkan setiap jenjang dan jenis pendidikan wajib ada matapelajaran Pancasila, Kewarganegaraan, dan agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060 dan 061/U/1993 tanggal 25 Februari 1993, di sekolah dasar dan menengah wajib ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian dengan munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 mata pelajaran Pendidikan Pancasila hilang dari kurikulum pendidikan nasional, yang ada tinggal Pendidikan Kewarganegaraan. Baca Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 349.

                [28] Iskandar Agung  dan Rumtini, “Civil Society dan Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balitbang Kemendiknas, Vol. 16, Edisi Khusus III, Oktober 2010), hal. 276.

[29] Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 350.

                [30] Warsono, “Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan….., hal. 351.

                [31] Dimyati, “Peran Guru Sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter ….., hal. 88.

                [32] Ibid.

                [33] Siti Irene Astuti D, ”Pendekatan Holistik dan Kontekstual ……, hal. 49.

                [34] Enok Maryani, ”Pengembangan Program Pembelajaran Ips Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Sosial”, Makalah  dalam Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI (Bandung: 8-10 November 2010), hal. 872.

                [35]  Sardiman A.M, “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS…., hal. 151.

                [36] Ibid.

                [37] Sofyan Sauri, “Revitalisasi Pendidikan Sains dalam Pembentukan Karakter…., hal. 12.

                [38] Ibid, hal. 11.

                [39] Ibid, hal. 12.

                [40] Nurchaili, “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan…., hal. 238.

                [41] Sudjadi, B. & Laila, S, Biologi: Sains dalam Kehidupan (Surabaya: Yudhistira, 2004), hal. 60.

                [42] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi….., hal. 19.

Story Telling Sebagai Model Pendidikan Karakter (Perspektif Tony R. Sanchez dan Victoria Stewart, Universitas Toledo)

$
0
0

Oleh : Mukhlis, S.IP, S.Pd.
Guru SMP Negeri 3 Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Penulis sedang menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di STAIN Pekalongan
Anggota ISPI

Mukhlis

Tony Sanschez (2006), dalam tulisan yang berjudul The Remarkable Abigail: Story Telling for Character Education menjelaskan bahwa keberhasilan pembelajaran di sekolah yang mencakup tiga ranah; aspek kognitif, afektif, dan psykomotorik, -seperti yang dianjurkan oleh John Dewey- ternyata fakta dilapangan bukan diperoleh dengan cara mengajarkan materi bahan ajar semata. Dalam penelitiannya Tony menemukan justru pembelajaran yang menggunakan metode bercerita (the art of story telling), bisa diperoleh hasil belajar yang mencakup ketiga ranah tersebut.

Dengan menyertakan pendapat Lockwood dan Harris (1985), Tony menjelaskan bahwa suatu peristiwa sejarah, merupakan cerita perjuangan manusia yang dramatis, penuh konflik moral, yang sangat berguna bagi siswa untuk mengambil nilai (baik dan buruk) dengan cara berpikir dan merefleksi diri, setelah mendengarkan cerita tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cerita sangat berkaitan dengan kegiatan seseorang untuk mengambil kesimpulan tentang nilai-nilai kebenaran, integritas moral, kejujuran, loyalitas, dan nilai-nilai baik lainnya. Dengan demikian melalui cerita sejarah tersebut siswa dapat menganalisis perilaku-perilaku mana yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang telah dipelajarinya melalui cerita sejarah (story telling). Dengan demikian siswa mampu mengambil tindakan sesuai pilihannya dalam menghadapi dilema kehidupan yang dialaminya. Begitu pentingnya nilai-nilai karakter ini maka Tony Sanchez menganjurkan untuk memupuk karakter baik melalui pembelajaran di sekolah.

Egans (1988) memberikan catatan khusus tentang pendidikan nilai (pendidikan karakter). Menurutnya, siswa lebih bisa memahami konsep nilai budaya secara mendalam melalui cerita atau kisah (story) yang disampaikan oleh guru di kelas. Melalui gambaran profil dan karakter tokoh dalam cerita dapat menghubungkan (conecting) kepada wawasan pemikiran yang lebih luas dalam diri siswa. Esensi cerita/kisah dalam pendidikan karakter, dapat mengarahkan karakter peserta didik menjadi lebih baik sehingga dapat menjadi jembatan dalam menghadapi konflik-konflik kejiwaan siswa terhadap kegiatan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Cambell (1988) memberi catatan bahwa cerita sejarah (story) tidak semata-mata hanya memberitakan pola pikir dan nilai-nilai penting bagi generasi muda, namun cerita sejarah dapat mengajarkan “kebijaksanaan hidup”. Dia juga menjelaskan bahwa pendidik (guru) pada saat ini cenderung kurang memberi penekanan pada nilai-nilai karakter dalam proses pembelajarannya lebih disebabkan karena ketidak mampuan guru dalam menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam menanamkan karakter. Menanggapi pendapat Cambell ini, Sanchez dan Mill mengajukan metode story telling bisa dijadikan alternatif untuk digunakan dalam pendidikan karakter. Disamping itu, Sanchez juga mengungkapkan bahwa story telling dapat digunakan untuk membentuk karakter warga negara yang baik.

Sumber Nilai yang Tak Terhingga
Dalam studi sosial, dijumpai bahwa tiap-tiap zaman ada nilai-nilai kesejarahan yang perlu diambil, digali dari peristiwa tersebut sebagai nilai-nilai pilihan bagi kehidupan umat manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan pengalaman riil dari kehidupan seseorang dalam situasi dan masa yang berkembang pada saat itu. Beberapa kisah petualangan berkaitan dengan tradisi, kepercayaan, dan kebudayaan masa lalu merupakan cermin bagi kehidupan sekarang. Pada kehidupan masa purbakala budaya maupun setting-nya sudah berubah bentuk dan sangat berbeda, namun dalam kehidupan tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang tetap berlaku pada saat sekarang.

Kehidupan sosial yang dipelajari melalui cerita sejarah mengandung nilai luhur yang tak terhingga. Kita bisa mudah menyebut misalnya; nilai hormat kepada sesama (respect), sikap berani (courage), kejujuran (honesty), tanggung jawab (responsibility), ketekunan / ulet (perseverance), keadilan (justice), dan kebaikan hati (kindness). Itu semua merupakan fondasi karakter yang bisa dituturkan melalui berkisah tentang sejarah kehidupan (story telling).

Tantangan Bagi Guru dalam Pembelajaran Karakter
Perkembangan zaman menuntut pendidikan karakter menjadi penting. Namun dalam pelaksanaannya tidaklah mudah karena fakta dalam kehidupan banyak hal yang kurang mendukung terselenggaranya pendidikan karakter dengan baik. Untuk mewujudkan efektivitas pendidikan karakter, kreativitas guru sangat diperlukan. Banyak tantangan yang perlu dijawab oleh guru sehingga nilai-nilai karakter bisa diterima oleh siswa.

Tantangan pertama yang harus dipahami oleh seorang pendidik adalah bagaimana seorang guru mengerti betul prinsip-prinsip karakter yang akan menjadi bahan ajar bagi siswa. Dalam kisah Abigail yang dijadikan contoh oleh Tony, ada beberapa yang menjadi saran dan perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran karakter di sekolah. Penerapkan pendidikan tersebut diutamakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:
1. Nilai-nilai apa yang digambarkan dalam sebuah cerita?
2. Seberapa penting untuk melakukan sesuatu yang benar dimana seseorang percaya akan kebenaran itu?
3. Seberapa penting mengerjakan sesuatu yang benar dalam kehidupan setiap harinya?
4. Adakah di masyarakat mau menerima jika melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar?
5. Seberapa sulit menerima peran-peran yang tidak lazim dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan perbedaan jender (laki-laki/wanita) seperti yang dialami oleh tokoh Abigail?
6. Seberapa tinggi dunia pendidikan dan masyarakat terdidik menghargai perbedaan?
7. Bagaimana pandangan seseorang tentang nilai-nilai karakter pada saat ini?

Tantangan berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seorang pendidik menemukan strategi pembelajaran yang tepat sehingga pendidikan karakter itu bisa diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, Tony Sanchez memberikan alternatif dengan metode story telling yang ternyata cukup efektif sebagaimana sudah diterapkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat.

Refleksi Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Dalam kesempatan peringatan hari pendidikan tanggal 2 Mei tahun ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengingatkan, bahwa wajah masa depan Indonesia berada di ruang-ruang kelas. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung-jawab membentuk masa depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan, pada lembaga/institusi pendidikan saja. Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab negara namun secara moral mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Esensi pernyataan ini bagi guru adalah bahwa keberhasilan mencetak generasi muda yang akan menetukan Indonesia ke depan, seperti apa wajah Indonesia ke depan, terletak pada kualitas pembelajaran di kelas oleh guru. Dengan kata lain, guru sangat menentukan kemajuan bangsa.

Dalam bagian yang lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Anies Baswedan mengatakan, Ki Hadjar Dewantara menyebut sekolah dengan istilah “Taman”. Taman adalah tempat belajar yang menyenangkan. Anak datang ke taman dengan senang hati, berada di taman juga dengan senang hati dan pada saat harus meninggalkan taman maka anak akan merasa berat hati. Pertanyaannya, sudahkah sekolah kita menjadi seperti taman? Sudahkah sekolah kita mejadi tempat belajar yang menyenangkan?

Sekolah menyenangkan memiliki berbagai karakter, diantaranya adalah; sekolah yang melibatkan semua komponennya, baik guru, orang tua, siswa dalam proses belajarnya; sekolah yang pembelajarannya relevan dengan kehidupan; sekolah yang pembelajarannya memiliki ragam pilihan dan tantangan, dimana individu diberikan pilihan dan tantangan sesuai dengan tingkatannya; sekolah yang pembelajarannya memberikan makna jangka panjang bagi peserta didiknya.

Di hari Pendidikan Nasional ini, Menteri pendidikan dan Kebudayaan mengajak kepada seluruh pendidik dan tenaga kependidikan untuk kembali pada semangat dan konsep Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah harus menjadi tempat belajar yang menyenangkan. Sebuah wahana belajar yang membuat para pendidik merasakan kalau kegiatan mendidik sebagai sebuah kebahagiaan. Sebuah wahana belajar yang membuat para peserta didik merasakan belajar sebagai sebuah kebahagiaan. Pendidikan sebagai sebuah kegembiraan. Pendidikan yang menumbuh-kembangkan potensi peserta didik agar menjadi insan berkarakter Pancasila.

Perkembangan kehidupan masyarakat di negara kita yang begitu cepat telah disorot oleh berbagai kalangan dan merekomendasikan perlunya pendidikan karakter diterapkan dalam kurikulum pendidikan. Konsekwensi logis dari kebijakan tersebut, guru harus melaksanakan pembelajaran berkarakter. Berdasar refleksi implementasi pendidikan karakter yang sekarang ini berjalan, masih perlu dicari berbagai strategi yang tepat agar pendidikan karakter bisa lebih efektif. Pertanyaannya adalah strategi, pendekatan, dan metode apa yang tepat untuk pembelajaran yang mengandung pendidikan karakter di sekolah?

Banyak hal yang sangat terkait dengan keberhasilan pendidikan karakter melalui pembelajaran di kelas. Sebagai guru profesional harus merasa tergugah untuk ikut menyukseskan pendidikan karakter bagi kepentingan pembangunan bangsa, menyiapkan generasi yang berkarakter. Penelitian-penelitian pembelajaran karakter yang efektif perlu dilakukan oleh guru. Salah satu alternatif yang bisa dicoba adalah melalui metode story telling.[]

Daftar Pustaka
Hadjioannou, Xenia. Fostering Awareness Through Transmediation: Preparing Pre-Service Teachers for Critical Engagement with Multicultural Literature . International Journal of Multicultural Education. Vol. 16, No. 1 Tahun 2014 halaman 1 – 20
Pidato Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam rangka Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015.
Sri Susilowati. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Makalah dipresentasikan di STAIN Pekalongan. 2015
Sanchez, Tony R., The Remarkable Abigail: Story Telling for Character Education. The High School Journal – April/May 2006 halaman 14 – 21


Integritas Pendidikan

$
0
0

Oleh : Prof. Suyanto, Ph.D
Mantan Dirjen Dikdas Kemdikbud, Mantan Rektor UNY

Suyanto

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja mengeluarkan indeks integritas pendidikan.Hasilnya kalau kita ambil sampai peringkat ke tujuh secara nasional adalah: (1) Daerah IstimewaYogyakarta; (2) Bangka Belitung; (3) Kalimantan Utara; (4) Bengkulu: (5)Kepulauan Riu; (6) Gorontalo; dan (7)Nusa Tenggara Timur. (Kedaulatan Rakyat 17 Mei 2015). Indeks ini baru mencakupaspek pendidikan yang teramat terbatas, yaitu kejujuran para siswa SMA/SMKdalam mengerjakan Ujian Nasioanal 2015 lalu. Masih banyak hal lain perludilihat integritas layanan dan/atau proses pendidikan di negeri ini sepertibagaiamana akuntabilitas pembelajaran di kelas, tata kelola sekolah, kebersihanlingkungan sekolah, interaksi sosial sesama peserta didik, pengelolaan sumberdaya sekolah, dan sebagainya. Meskipun baru aspek kecil dan hanya terbatas pada integritas UN SMA/SMK dan sekolah lainyang sederajad, pengumuman tingkat kejujuran pelaksanaan UN di tingkat sekolah inisudah merupakan terobosan penting bagi pintu masuk untuk menegakkan integritaseko sistem pendidikan yang selalu digagas, diangan-angankan, dan akandilaksanakan oleh Mendikbud Anies Baswedan. Patut kita apresisasi dan dukung terobosanini.

Sebenarnya melihat kejujuran sekolah dalam menyelenggarakan UN tidaklah rumit. Cukupmenganalisis pola jawaban yang terjadi di sekolah yang bersangkutan. Aspekpenting yang perlu dilihat ialah pola jawaban yang salah. Jika dalam sebuah sekolahpola jawaban yang salah 90% berpola sama, maka jelas terjadi ketidakjujuransecara sistematik di sekolah itu. Secara teoritik kalau tidak terjadikecurangan, maka jawaban salah semua siswa akan terjadi secara acak. Tetapikalau jawaban salah mereka semua pada pilihan jawaban yang sama (sistematik,tidak acak) maka jelas ada gerakan yang mengarahkan untuk berbuat salah yangsama dengan harapan mereka mendapatkan jumlah jawaban yang benar secaramaksimal. Sederhana kan? Pertanyaan selanjutnya ialah, setelah ada indekintegritas UN, lalu mau diapakan sekolah yang tidak berintegritas? Kalaumenghukum mereka dengan formula pengurangan segala bentuk dana hibah swakelolatentu tidaklah mungkin karena yang tidak berintegritas jumlahnya jauh lebihbanyak dari yang berintegritas. Kalau mereka diberi sanksi berupa penghentianbantuan dari pusat, yang akan terjadi ialah semakin merosotnya layananpendidikan di Kabupatan/kota dan provinsi yang bersangkutan. Bantuan keungandari pusat untuk menyelenggarakan pendidikan di daerah-daerah masih merupakanskenario pembiayaan pendidikan yang amat penting bagi daerah. Jika karenaindeks integritas mereka rendah dalam menyelenggarakn UN, lalu bantuan keuangandihentikan, maka yang tak berintegritas itu malah akan masuk wilayah semakinmerosotnya kualitas.

Indeks integritas ini harus dimanfaatkan secara baik. Artinya, informasi itu harusbisa digunakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukanedukasi kepada Sekolah dan pemerintah daerah. Bagi sekolah harus berani untukmelakukan revolusi mental dalam menyelenggarakan UN. Cara yang palingelegan untuk meningkatkan prestasi UNsiswa secara pedagogis harus ditempuh melalui perbaikan proses pembelajaran;bukan melalui rekayasa dan atau perjokian. Dalam proses pembelajaran sekolahharus memiliki rancang bangun kegiatan di kelas yang benar-benar memberdayakanpeserta didik agar mereka bisa menjadi insan yang jujur, kreatif, inovatif,bertanggung jawab, visioner, dan memiliki karakater – karaketer baik lainnyayang sejenis dengan itu semua.

Indeks integritas UN juga harus menjadi lessonlearned bagi pemerintah daerah. Pemerintahdaerah harus mengubah paradigma penyelenggaraan pendidikan. Kualitaspendidikan, keberhasilan bupati/walikota, tidaklah cukup tercermin daribanyaknya kelulusan para siswa di daerahnya. Tidak jarang para penguasa daerahmemberi tekanan kepada sekolah agar sekolahnya lulus 100% dalam UN. Kemauanseperti ini harus ditinggalkan karena akan berdampak negatif pada tingkatsekolah. Sekolah ketakutan jika terjadi ketidaklulusan dalam jumlah yangbanyak. Biarkan sekolah di daerah memiliki otonomi yang luas dalam melakukanproses pendidikan. Pemerintah daerah cukup memastikan bahwa sekolah bekerjaatas dasar Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan atau standar pelayanan minimal(SPM) yang sudah ada. Itulah tugas utama pemerintah daerah dalam menegakkanintegritas dan kualaitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Semoga begitu.

Tepak sirih Nenek

$
0
0

Oleh : WISKA Adelia Putri
Siswa kelas VIII SMP Islam Terpadu Al-Madinah Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Peraih juara II Lomba Cipta Cerpen dalam ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP tahun 2014 di Semarang, Jawa Tengah.

Wiska Adelia

LELA memalingkan wajahnya dari pandangan mata di depannya. Lela khawatir nenek dapat menebak perasaannya saat ini. Perasaan yang bercampur aduk. Antara sayang dan kebencian. Andai saja neneknya punya selera yang sama dengan nenek-nenek lain di dunia, tentulah takkan pernah ada setitik bencipun di hati Lela. Lela tentu akan bebas memeluk dan bermanja dengan neneknya. Nenek terus saja bercerita tentang saudara-saudara Lela di kampungnya, Tarempa. Tentang air terjun tujuh tingkat yang semakin cantik. Tentang enaknya lakse kuah kesukaannya, dan banyak lagi yang sebenarnyapun membuat Lela rindu untuk pulang kampung.

Nenek memang baru siang tadi sampai. Setelah sehari semalam melewati Laut Cina Selatan yang memang cukup ganas di musim ini. Namun lelah di wajah keriputnya sudah tidak kelihatan lagi. Bahkan di mulutnya yang merah tampak tak mau berhenti untuk bicara. Melihat mulut nenek itulah hal yang paling menjijikkan buat Lela. Kalau saja tidak ingat dengan pesan emaknya untuk tetap menghormati dan menghargai orang yang lebih tua apalagi nenek yang merupakan wanita yang melahirkan emak, rasanya sudah dari tadi Lela pergi.

Sambil mendengarkan ocehan nenek sesekali Lela melirik buku Seni Budaya yang ada di pangkuannya. Kebetulan besok ada tanya jawab tentang pelajaran tersebut. Mata Lela terbelalak membaca tentang adat Berkapur Sirih di daerah Melayu yang sudah ada sekitar tiga ratus tahun yang lalu. Sirih selalu dimakan oleh masyarakat Melayu baik oleh rakyat biasa maupun keturunan raja. Sirih dan perangkatnya mengandung falsafah tersendiri. Sirih sendiri mengandung makna rendah hati dan selalu memuliakan orang. Apakah ini alasan neneknya makan sirih. Spontan Lela melihat dengan seksama ke mulut nenek yang memerah. Seketika itu juga Lela jadi mual.

“Lela, ambilkan nenek Tepak Sirih kesayangan nenek, mulut nenek sudah terasa masam ni!” kata nenek tiba-tiba.
Mendengar itu Lela sangat terkejut. Diam membisu. Lela bertanya tanya dalam hati apa benar nenek selama ini tidak tahu bahwa Lela tak suka dengan perlengkapan vampir nenek itu. Dengan terbata-bata Lela mengiyakan permintaan nenek.

“I.. i.. ya, Nek. Nenek meletaknya di mana?” tanya Lela kepada nenek yang tampaknya agak bosan menunggu jawabannya.
“Nenek meletaknya di dalam kamar di samping tv. Cepat, ya, Lela mengambilnya. Jangan seperti orang pikun begitu,”kata nenek terkekeh memperlihatkan gigi-gigi merahnya. Lela merinding. Teringat ia akan tokah vampir di tv yang pernah ditontonnya.

Lela melangkahkan kaki ke kamar biru langit warna kesukaannya. Entah mengapa emak menjadi sangat tega bila ada nenek di rumah ini pasti nenek akan sekamar dengannya.

Tepak sirih yang terbuat dari tembaga dan memiliki 5 cembul itu sudah berada di tangan halus Lela. Tepak sirih itu tampak bersih dan terawat. Tidaklah merah seperti mulut nenek. Nenek pernah mengatakan benda itu sudah bertahan sebanyak 7 turunan. Bisa dikatakan sudah menjadi benda antik. Di dalamnya tersusun dengan rapi sirih hijau dan pasukannya seperti gambir, pinang, kapur, tembakau, kacip, dan entah apalagi namanya. Lela bergidik ketika melihat benda di samping Tepak Sirih itu. Benda itu bernama ketur, tempat nenek membuangkan ludahnya yang merah. Tiba-tiba Lela mau muntah. Dengan menahan napas cepat-cepat Lela berlari menyerahkan kedua tempat itu pada nenek. Lela pun berlari ke wc. Lela muntah di sana.
***

SUASANA di dalam rumah tiba-tiba heboh. Emak mondar-mandir mengacak isi rumah sambil mulutnya tak henti-henti berbicara. Nenek duduk dengan wajah yang tegang dan masam. Nenek mogok makan dan memaksa pulang ke kampung hari ini juga. Itu mana mungkin karena kapal ke kampung hanya berangkat dua minggu sekali. Doni, abang Lela yang biasanya tak peduli sekarang juga ikut kalang kabut. Abah pun tampak bingung. Bahkan adiknya yang berusia 3 tahunpun ikut-ikut bongkar sana sini. Tiba-tiba emak menepuk pundak Lela yang bingung.

“Lela, ayo ikut emak. Emak ingin berbicara sesuatu denganmu,” kata emak serius ke arah Lela.

“Ada apa, Mak.”

Emak tidak menjawab pertanyaan Lela tetapi menarik tangannya mengajak ke belakang rumah.

“Lela, apakah kamu yang membuang bakik nenek,” tanya emak menatap Lela tajam.

“Apa Mak? Bakik? Apa itu?”

“Jangan pura-pura Lela. Kan selama ini Lela yang paling tak suka melihat nenek makan sirih.”

“Lela memang tak suka melihat nenek makan sirih Mak, tetapi tak ada hubungannya dengan bakik. Lagipula Lela tak tahu bakik tu apa.”

“Janganlah berbohong!! Emak tau engkau tidak suka dengan bau pelengkap sirih nenek. Tetapi janganlah engkau sampai tega membuangnya,” kata emak terus menyudutkan Lela.

“Lela tak melakukannya Mak, Lela memang tak suka dengan bau dan bentuk merah sirih nenek, namun Lela masih bisa menghargai nenek dan tak mungkin Lela berani mengganggu barang nenek, Lela sangat sayang dengan nenek,” jawab Lela hampir menangis karena dari tadi emak sangat memojokkannya.

“Jadi sekarang bakik nenek hilang kemana. Lela tolonglah Lela mengaku saja, kasihan nenek, apa Lela tega melihat nenek sengsara. Kita semua harus menyenangkan hati nenek bukan sebaliknya.

Lela benar-benar sedih mendengar emak tak percaya padanya. Padahal Lela juga sangat sayang pada neneknya dan berusaha membuat neneknya bahagia.

“Mak, apa perlu Lela bersumpah baru Emak mau percaya.”

“Apakah benar ini Lela,” tanya emak mulai lunak.

“Benar Mak, memang bakik itu apa, Mak” tanya Lela penasaran.

“Bakik itu sejenis buah yang bulat sepanjang jari dan dimakan bersama sirih sebagai penyedapnya. Jadi makan sirih tanpa bakik kata nenek sama saja dengan makan nasi dengan lauk tanpa garam.”

Lela tercengang. Ternyata bakik itu sangat penting bagi nenek. Tapi ke mana bakik itu ya, kata Lela dalam hati dan mulai bingung juga.

MATAHARI mulai terbenam di ufuk timur. Namun bakik nenek belum ditemukan. Ayah pun sudah menyusuri semua pasar yang ada di kota tetapi tak ada satupun pedagang yang menjualnya. Menurut emak Lela, bakik memang sudah menjadi tanaman langka dan di kampungpun hanya beberapa orang saja yang masih menanamnya, termasuklah nenek. Padahal bakik manfaatnya bukan hanya sebagai penyedap saat makan sirih saja. Bakik mengandung zat antiseptik yang juga sangat bermanfaat bagi kesehatan.

Suasana kini tidaklah setegang semalam. Nenek sudah mau makan walau tetap kelihatan murung. Ternyata membujuk orang yang sudah tua merajuk jauh lebih sulit dibandingkan dengan anak kecil. Lela memberanikan diri berbicara pada neneknya.

“Nek, jangan sedih terus ya. Coba nenek ingat-ingat mungkin nenek salah meletakan bakik itu.”

“Lela mengganggap nenek sudah pikun.”

“Bukan begitu, Nek. Nenek jangan tersinggung. Manalah tahu nenek silap.”

“Lela, Nenek memang sudah berumur tujuh puluh tahunan tetapi ingatan Nenek tetap masih baik. Jangankan ingatan, gigi nenekpun masih utuh. Lihat ni satupun belum ada yang dicabut,” kata nenek sambil memperlihatkan giginya.

“Iya Nek, Nenek hebat sudah setua ini kok gigi nenek masih utuh. Gigi emak saja sudah dicabut 6 dan gigi bang Doni kemarin dicabut juga.”

“Mau tahu rahasianya,” tanya nenek mulai ceria.

“Mau… mau… Nek,” Lela bersemangat.

“Maka sirih seperti Nenek. Orang-orang tua zaman dahulu merawat giginya dengan makan sirih.itu resep turun temurun.

“Nggak enak Nek. Mana bau dan mulut merah seperti berdarah,” kata Lela jujur.

“Lela kan belum pernah coba. Enak lo apalagi pakai bakik terasa nikmat dan lemak.” Jelas nenek kembali murung saat menyebut kata bakik.

“Nek, jangan sedih lagi ya. Jangan gara-gara bakik liburan nenek disini jadi terganggu. Kami semua kan sedih, Nek.

Nenek menarik napasnya. Ia menatap cucu kesayangannya dengan tulus.

“Ya, Lela benar. Walapun Lela tak mau makan sirih tetapi harus tetaplah melestarikan budaya kita, budaya Melayu.”

“Ya, Nek. Budaya Melayu itu tetap lestari kok Nek. Misalnya dalam setiap adat perkawinan atau tarian persembahan selalu ada sirih dan kawan-kawannya itu.”

“Dan satu lagi. Kalau Nenek meninggal nanti Lela janji untuk tetap merawat tepak sirih nenek ini dengan baik. Ini benda antik lho. Lela jadi keturunan yang ke delapannya yang merawat tepak sirih nenek ini.”

Lela mengangguk. Lela terharu. Hatinya barkata walaupun Lela tak suka dengan sirihnya nenek namun Lela tak mau kehilangan neneknya. Pelan-pelan diperhatikannya wajah neneknya. Nenek benar-benar sudah tampak tua. Keriput di wajah dan tanganya terutama di bagian leher benar-benar tampak jelas. Ditambah lagi dengan badan nenek yang begitu kurus. Hati Lela jadi terharu. Apalagi yang diharapkan oleh orang setua nenek kecuali kasih sayang dan perhatian dari anak dan cucu-cucunya. Lela tidak mau neneknya cepat meninggal. Lela merasa masih sangat butuh neneknya. Dalam hati Lela berdoa semoga Allah tidak cepat memanggil neneknya. Tiba-tiba Lela memeluk erat neneknya. Rasa sayangnya telah mengalahkan bau sirih yang sudah menyatu di tubuh nenek.

“Lela sayang nenek,” katanya memeluk nenek dengan erat.

“Nenek juga. Lela benar jangan sampai gara-gara bakik leburan nenek di sini menjadi terganggu. Biarlah bakik itu hilang asalkan sayang kalian tidak hilang untuk nenek. Mereka berduapun tertawa.”

*********

 

Siapakah Wiska Adelia Putri?
WISKA Adelia Putri adalah siswa kelas VIII SMP Islam Terpadu Al-Madinah Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Peraih juara II Lomba Cipta Cerpen dalam ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP tahun 2014 di Semarang, Jawa Tengah.

Di usia yang relatif muda, dara kelahiran Tanjungpinang, 8 Maret 2002 ini sudah menerbitkan dua buah “Ingin Bertemu Peri” (Frame Publishing 2011) dan “Aku Mujaba.” (Frame Publishing 2015). Kemudian cerpennya Aku “Mujaba” termuat dalam antologi 100 Tahun Cerpen Riau (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (2015).

Anak pertama pasangan Maswito (PNS Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang) dan Kartina (Guru SMP Negeri 5 Kota Tanjunginang) merupakan cerpenis termuda yang karyanya dimuat dalam buku tersebut.

“Wiska bersama Kak Tiara (anak Abdul Kadir Ibrahim – penyair nasional dari Tanjungpinang, red) merupakan yang termuda. Kami tak menyangka mengapa karya kami dipilih untuk dimuat dalam buku tersebut. Ini suprais buat kami,” ujar Wiska bangga.
Cerpen Wiska “Aku Mujaba” yang dimuat dalam antologi tersebut merupakan juara II Lomba Cipta Cerpen dalam ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP tahun 2014 di Semarang, Jawa Tengah. Sebelumnya pada ajang yang sama di tingkat Kota Tanjungpinang dan Provinsi Kepri, Wiska meraih juara I.

Sebagai cerpenis cilik – begitu Wiska dijuluki cerpenis di Kota Gurindam Negeri Pantun Tanjungpinang karya-karya sudah dipublikasikan dipelbagai media massa. Sebut saja Majalah Bobo, Media Indonesia, Sinar Harapan, dan media terbitan Kepri seperti Batam Pos, Tanjungpinang Pos, Koran Peduli, Majalah Geliga dan lainnya.

Kini di sela kesibukkannya belajar, bendaharawan OSIS SMP Islam Terpadu Al Madinah Tanjungpinang ini bertekad untuk tidak berhenti menulis. “Saya akan terus menulis dan menulis……………..” ujarnya mengakhiri.*)

Multikulturalisme-Bhineka Tunggal Ika Dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia

$
0
0

Oleh : Prof Dr. H. Udin S. Winataputra, M.A.
Sekretaris Dewan Pembina PP ISPI periode 2014-2019, Professor dalam Kurikulum dan Pembelajaran, Bidang Studi PIPS-PKn, Universitas Terbuka (UT)

Pendahuluan

Prof. Dr. Udin S. Winataputra, MA (Sekretaris Dewan Pembina ISPI)

Makalah ini disiapkan sebagai trigger diskusi dalam Dialog Multikultural untuk Membina Kerukunan Antarumat Beragama yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana UPI dan Kedeputian Bidang Pendidikan, Agama, dan Aparatur Negara, Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia di Auditorium JICA FMIPA UPI, Bandung. Melalui diskusi tersebut diharapkan antar peserta dapat berbagi ide dan pengalaman tentang konsep, strategi pendidikan bagi warga negara agar mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk itu diperlukan diskursus akademis tentang konsepsi generik pendidikan bagi warga negara agar mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Secara keilmuan pembahasan tersebut perlu diletrakkan dalam dalam konteks pendidikan kewarganegaran secara sistemik dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Dalam pasal 3 UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, secara imperatif digariskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, idealisme tersebut merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan.

Dalam makalah ini secara singkat dibahas hal-hal sebagai berikut.
 Konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks wacana multikulturalisme
 Makana sosio-kultural dan sosio-pedagogis pembangunan watak dan peradaban bangsa
 Pendidikan Multikultural-Nilai-nilai Pancasila sebagai dimensi pendidikan kewarganegaraan
 Simpulan

Konsep Bhineka Tunggal Ika dalam Konteks Wacana multikulturalisme

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau Although in pieces yet One. (Wikipedia). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Jika dikaji secara akademis, bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme.Secara historiskontemporer masyarakat Barat, (Wikipedia) multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal. Pertama, sebagai bagian dari pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa Negara Eropa. Secara konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang multikulturalisme tersebut merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya justeru memiliki cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya yang paling umum adalah melakukan compulsory primary education dalam satu bahasa. Walaupun demikian hal tersebut potensial menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah.

Menarik untuk dicermati bagaimana modus kebijakan multikulturalisme yang ada selama ini. Pertama, model Amerika Serikat yang memiliki kebijakan multikulturalime yang dikenal the Melting Pot’ ideal, yang pada dasarnya bahwa immigrant cultures are mixed and amalgamated without state intervention. Setiap individu immigrant diharapkan mampu berasimilasi kedalam kondisi masyarakat Amerikan menurut kecepatannya dalam beradaptasi. Pemikiran tentang melting pot ini dirancang untuk bergandengan secara harmonis dengan konsep Amerika sebagai suatu national unity. Kedua, model Australia, dengan multikulturalisme yang dikonsepsikan dalam format ethnic selection, dimana masyarakat Australia yang sebelum datanganya immigrant Eropa secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki bayak indigenous cultures (aborigin) atau kebudayaan asli untuk diarahkan menjadi masyarakat Australia yang mencerminkan the British ethno-cultural identity. Ketiga, di lain pihak Canada menggunakan kebijakan multilkulturalisme dalam bentuk pembangunan national unity melalui konsepsi pluralistic and particularist multiculturalism yang kemudian dikenal sebagai Canada’s cultural mosaic yang pada dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau sub-budaya di dalam masyarakar Canada memberikan kontribusi keunikan dan nilai luhur terhadap keseluruhan kebudayaan dengan prinsip preserving the distinctions between cultures. Keempat, model Argentina yang menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk mengakomodasikan budaya immigrant dengan prinsip multikulturalisme sebagai cerminan dari social assortment of Argentine culture dengan menerapkan individual’s multiple citizenship. Kelima, model Malaysia, yang menerap kebijakan multikulturalisme dengan prinsip coexistence between the three ethnicities (Malays, Chinese, and Indian) dengan jaminan konstitusional …that immigrant groups are granted citizenship, and Malays’ special rights are guranted, yang kemudian dikenal dengan Bumiputera policy.


Bagaimana halnya dengan konsep dan kebijakan multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika -Indonesia?

Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap jamannya itu.

Cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yang secara substantif dan prosedural menghargai persamaan dalam perbedaan dan persatuan dalam keberagaman, secara formal konstitusional dianut oleh ketiga konstitusi tersebut. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat beberapa kata kunci yang mencerminkan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi, yakni “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (alinea 2); “…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (alin”a 3); “…maka disusunlah Kemerdekaan, Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ….dst…kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, ..”(alinea 4),. Kemudian dalam Mukadimah Konstitusi RIS, “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan …dst…kerakyatan…” (alinea 3); “….Negara-hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”. Selanjutnya dalam Mukadimah UUDS RI 1950, “…dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia …dst… yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (alinea2); “…yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ..dst…kerakyatan…dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna” (alinea 4). Kata rakyat yang selalu disebut dalam konstitusi tersebut pasti menunjuk pada masyarakat Indonesia yang multikultural dengan seloka bhinneka tunggal ika itu.

Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural. Hal ini mengandung arti bahawa paham demokrasi konstitusional sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural. Untuk mewadahi multikulturalisme yang ada Secara instrumental dalam ketiga konstitusi tersebut juga telah digariskan adanya sejumlah perangkat demokrasi seperti lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat; partisipasi politik rakyat melalui partai politik; kepemimpinan nasional dengan sistem presidentil atau parlementer, perlindungan terhadap hak azasi manusia; sistem desentralisasi dalam wadah negara kesatuan (UUD45 dan UUDS 50) atau sistem negara federal (KRIS 49); pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; orientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat; dan demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun demikian, pada tataran praksis masih terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam, politik , ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan agama serta kualitas psiko-sosial para penyelenggara negara. Memang harus diakui bahwa proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang bersifat multikultural itu sampai saat ini masih belum mencapai tarap yang membanggakan dan membahagiakan. Misalnya, kita masih menyaksikan berkembangnya fenomena kasuistis dari etnosentrisme dan primordialisme lain yang menyertai desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwarnai konflik horizontal antar suku, agama, ras dan golongan yang terjadi di berbagai penjuru tanah air, terutama pada saat terjadinya proses politik pemilihan umum.
Sudah banyak wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika” dengan liku-liku pengalaman historis, serta perkembangan ekonomi, serta interaksinya dengan kecenderungan globalisasai semakin banyak dikembangkan. Diantara berbagai wacana yang menonjol adalah proses demokrasi yang dikaitkan dengan konsep masyarakat madani, yang secara substantif menghargai multikulturalisme. Untuk mewujudkannya diperlukan penghayatan yang utuh dan pengalaman yang tulus serta dukungan prasaran sosial budaya, (Madjid, dalam Republika 10 Agustus 1999); konsep masyarakat madani dalam konteks negara kesejahteraan melalui pergeseran peran pemerintah dari “government” manjadi “governance” (Giddens, dalam Kompas 19 Maret 1999); masyarakat madani yang bermoral yang dicerminkan dalam kedaulatan rakyat yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusdia (Suara Pembaharuan 21 Juni 1999); kaitan antara peran penting dari ummat Islam dan pembangunan masyarakat madani (Abdillah, dalam Kompas 27 Februari 1999); persoalan dilematis dalam pembangunan masyarakat madani menyangkut keterkaitan ilmu pengetahuan, moralitas, jaminan hukum dan persamaan hak (Asy’ari, dalam Republika 23 Februari 1999); kaitan masyarakat madani dengan nilai Jawa yang dinilai kurang mendukung karena kurang memperhatikan kekuatan ilmu pengetahuan, moralitas, tatan hukum, dan persamaan (Mulder, dalam Kompas 20 Nopember 1998); kegalauan mengenai kemunculan masyarakat madani sebagai hal menjanjikan atau yang menyuramkan sebagai akibat dari peranan negara di masa lalu yang sangat dominan (Burhanuddin, dalam Media Indonesia 4 Maret 1999); pesimisme perwujudan masyarakat madani sebagai akibat dari kecenderungan menguatnya komunalisme dan melemahnya kepercayaan terhadap negara (Kompas 23 Maret 1999); peran masyarakat akademis sebagai bagian dari masyarakat madani (Abdurrahman, dalam Kompas 29 April 1999); kaitan masyarakat madani dengan prinsip subsidiaritas dengan cara mengurangi peran negara dan memberikannya kepada organisasi masyarakat secara bertanggung jawab (Bertens, dalam Suara Pembaharuan 17 Juli 1999); kaitan etika pluralisme dan konstitusi masyarakat madani yang memungkinkan masyarakat yang heterogin membangun kehidupan bersama yang damai (Arifin, dalam Republika 14 Mei 1999); tentang paradoksal penguatan birokrasi dalam gerakan menuju masyarakat madani (Iskandar, dalam Pikiran rakyat 24 April 1999); konsepsi pembangunan masyarakat madani yang profetis yang secara historis tercermin dalam masyarakat Madinah pada masa Rasullullah (Maksum, dalam Suara Pembaharuan 25 Juli 1999); perlunya pemerintahan profesional dalam membangun kultur pemerintahan yang demokratis (Suryohadiprodjo, dalam Republika 11 Nopember 1999).

Wacana tersebut menunjukkan bahwa komitmen terhadap upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi dalam konteks multikulturalisme di Indonesia sedang mengalami tahap yang memuncak. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada masa yang akan datang instrumentasi dan praksis berkehidupan demokrasi di Indonesia akan mengalami penyempurnaan yang terus menerus sejalan dengan dengan dinamika partisipasi seluruh warganegara sesuai dengan kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Dalam konteks multikulturalisme, hal itu menujukkan bahwa konsep final tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasila di dalamnya, wawasan Nusantara yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang, serta pengakuan kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari semua etnis yang ada di Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau Malaysia’s three ethnicity coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment tetapi lebih mendekati pada konsep eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular.

Makna Sosio-Kultural dan Sosio-Pedagogis Pembangunan Watak dan Peradaban Bangsa
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar pendidikan nasional mengandung beberapa makna. Secara filosofik sistem pendidikan nasional merupakan keniscayaan dari sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila. Artinya bahwa sistem pendidikan nasional bertolak dari dan bermuara pada konsepsi sistemik kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-kemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, ber-kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara substantif-edukatif sistem pendidikan nasional harus ditujukan untuk menghasilkan manusia dewasa Indonesia yang ”beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”, sebagaimana digariskan sebagai tujuan pendidikan nasional.

Secara sosio-politik, manusia dewasa Indonesia yang ”beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab” itu harus menjadi individu anggota masyarakat, individu anak bangsa, dan individu warga negara yang secara kolektif-nasional mau dan mampu membangun watak dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.

Secara praxis-pedagogis dan andragogis, sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila itu harus diwujudkan sebagai proses belajar anak dan orang dewasa sepanjang hayat melalui proses belajar yang bersifat konsentris tentang Pancasila (knowing Pancasila), belajar melalui proses yang mencerminkan jiwa dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila (doing Pancasila), dan belajar untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang religius, beradab, bersatu, demokratis, dan berkeadilan (building Pancasila).

Bagaimana interrelasi antara Pancasila dan pendidikan Pancasila? Pancasila sebagai ”sari budaya bangsa, sebagai nilai pandangan hidup bangsa (filsafat hidup, Weltanschauung) yang benar, sempurna, bahkan unggul” (Noor Syam, 2006: 1) pada dasarnya merupakan substansi pendidikan yang perlu dipahami, kerangka sistemik-praksis pendidikan yang seyogyanya diwujudkan, dan idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara indonesia yang seyogyanya digapai.

Pendidikan Pancasila, merupakan konsep pendidikan yang bersifat multifaset atau bersegi jamak. Pada tataran mikro kurikuler, pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai pembelajaran tentang Pancasila. Misi utama pada tataran ini adalah untuk menghasilkan manusia dewasa Indonesia yang memahami esensi dan makna serta menerapkannya dalam kehidupannya. Pada tataran proses-sistemik pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai interaksi antara peserta didik dalam latar pendidikan formal dan nonformal, dan antara anggota masyarakat dalam latar pendidikan informal, dengan seluruh sumber inspirasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada tataran makro-sistemik-futuristik, pendidikan Pancasila dapat diartikan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia di masa depan. Oleh karena itu pendidikan Pancasila tidak cukup bila hanya diartikan sebagai mata pelajaran atau mata kuliah dalam rangka learning to know. Lebih dari itu pendidikan Pancasila merupakan proses pendidikan untuk berbuat baik dalam konteks masing-masing atau learning to do, serta sebagai proses hidup dan berkehidupan bersama atau learning to be and learning to live together, hari ini dan hari esok.

Yang perlu menjadi komitmen kita adalah bahwa pada ketiga tataran tersebut, terdapat benang merah yang menjadi integrating forces (Alisyahbana dalam Winataputra:2001) yakni sistem nilai Pancasila. Oleh karena itu secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dapat dilihat sebagai suatu integrated knowledge system (Hartonian: 1996, Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan potensi peserta didik agar memiliki “civic intelligence” dan “civic participation” serta “civic responsibility” sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001, 2006)

Pendidikan multikultural Nilai-nilai Pancasila sebagai Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan
Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).

Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra:2001). Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidikan tinggi.

Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.

Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia. Dalam konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.

Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajuikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya dan berperannya pendidikan Pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya multikulturalime Pacasila yang menjadi inti dari masyarakat madani-Pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila yang multikultural merupakan “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Hal itu perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan multikultural yang ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture Indonesia yang multikulturalistik perlu dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah …the willingness of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic committments. Sebagaimana dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions adalah …those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to the fundamental values and principles of constitusional democracy atau komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley, dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14). Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keberagaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separation of church and state, power of the purse, federalism, common good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice, equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16). Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas, kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia.
Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills required to participate effectively;…practical experience in participation designed to foster among students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an understanding of the importance of citizen participation (Quigley, dkk, 1991:39), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39). Semua hal tersebut di muka menunjuk pada pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara. Dalam konteks Indonesia secara keseluruhan harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai komitment kolektif dan semangat ke-Indonesiaan yang multikultural.

Simpulan
Bertolak dari pembahasan dimuka, dapat ditarik beberapa hal penting sebagai berikut.
1. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular dan secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau Although in pieces yet One, merupakan ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Secara akademis, konsep bhinneka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme.

2. Multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal, yakni: (1) sebagai bagian dari pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat; (2) sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 sebagai respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin; dan (3) sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan di beberapa Negara Eropa.

3. Secara konseptual multikulturalisme merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideologii nation-state dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya justeru memiliki cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya adalah melakukan compulsory primary education dalam satu bahasa, yang sering menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah.

4. Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap jamannya itu.

5. Pada tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham demokrasi dalam dan untuk masyarakat yang bersifat multikultural, yang mengandung arti bahawa paham demokrasi konstitusional sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia yang bersifat multikultural.

6. Harus diakui bahwa proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang bersifat multikultural itu sampai saat ini masih belum mencapai tarap yang membanggakan dan membahagiakan, seperti masih berkembangnya fenomena kasuistis dari etnosentrisme dan primordialisme lain yang menyertai desentralisasi dan otonomi daerah, yang diwarnai konflik horizontal antar suku, agama, ras dan golongan yang terjadi di berbagai penjuru tanah air.

7. Dalam konteks multikulturalisme, komitmen final tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945 yang diterima secara konsisten dengan Pancasila di dalamnya, wawasan Nusantara yang mempersatukan wilayah Indonesia dari Merauke sampai Sabang, serta pengakuan kebudayaan Indonesia yang merajut puncak-puncak budaya dari semua etnis yang ada di Indonesia, merupakan indikasi yang kuat bahwa Indonesia tidak menganut konsep American’s melting pot, atau Australia’s ethnic selection, atau Malaysia’s three ethnicity coexistence, atau Argentina’s social-cultrural assortment tetapi lebih mendekati pada konsep eclectic model dari Canada’s cultural mosaic dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular.

8. Pendidikan Pancasila yang berisikan interaksi antara peserta didik dalam latar pendidikan formal dan nonformal, dan antara anggota masyarakat dalam latar pendidikan informal, dengan seluruh sumber inspirasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang multikultural-bhinneka tunggal ika. Yang menjadi integrating forces adalah sistem nilai Pancasila yang baik secara substantif masing-masing silanya maupun secara sistemik keseluruhan lima silanya sangat menghargai dan mewadahi keberagaman dalam keyakinan, dalam dimensi kemanusiaan, dalam semangat mempersatukan Indonesia, dalam mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

9. Pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis/andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalime-bhinneka tunggal ika.

10. Perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani yang multikultural berdasarkan Pancasila.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdillah, M.(1999) Islam dan Masyarakat Madani, Kompas: 27 Februari 1999
Abdurrahman, M.(1999) Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat Madani, Kompas: 29 April 1999
Arifin, S.(1999) Etika Pluralisme dan Konstruksi Masyarakat Madani, Republika: 14 Mei1999
Asyari,A.(1999) Masalah Dilematika dalam Membangun Masyarakat Madani, Republika: 23 Februari 1999
Anonim (1991) A Comparison of the Impact of the We the People…….Curricular Materials on High School Students Compared to University Students, Pasadena : Educational Testing Service
Bertens, K. (1999) Masyarakat Madani dan Prinsip Subsidiaritas, Suara Pembaharuan: 17 Juli 1999
Bahmueller, C. F. (1997) A Framework For Teaching Democratic Citizenship : An International Project In The International Journal of Social Education, 12,2
Bahmueller, C. F., Patrict, J. J. (1998) Principles and Practices of Education for Democratic Citizenship : International Perspectives and Projects, USA : ERIC Adjunct Clearinghouse for International Civic Education
Banks, J. A. (1990) Citizenship for a Pluralistic Democratic Society in Rauner, M. (1999) Civic Education : An Annofated Bibliography, CIVNET
Bennett, W. J. (1986) Education for Democracy in Rauner, M. (1999) Civic Education : An Annotated Bibliography, CIVNET
Beyer, L. E. (1988) Can Schools Further Democratic Practices in Rauner, M. (1999) Civic Education : An Annotated Bibliography, CIVNET
Branson, M. S. (1999) Making the Case for Civic Education : Where We Stand at the End of the 20th Centure, Washington : CCE
Burhanuddin (1999) Masyarakat Madani: Lonceng Kematian atau Kebangkitan?, Media Indonesia: 4 Maret 1999
Capra, F. (1998) Titik Balik Peradaban : Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya
Center for Indonesia Civic Education / CICED (1999) Democratic Citizens in a Civic Society : Report of the Conference on Civic Education for Civic Society, Bandung : CICED
Center for Civic Education/CCE (1994) Civitas : National Standards for Civics and Government, Calabasas : CCE
Civitas International (1998) International Partnership for Civic Awareness Conference Report, Strasbourg : Civitas International
Cogan, J. J., (1999) Developing the Civic Society : The Role of Civic Education, Bandung : CICED
Culla,A.S.(1999) Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Derricott, R., Cogan, J. J. (1998) Citizenship for the 21st century : An International perspective on Education, London : Kogan Page
Filippov, F. R. (1990) Continuous Education, Democracy, and Society in Rauner, M. (1999) Civic Education : An Annotated Bibliography : CIVNET
Finkelstein, B. (1984) Education and The Retreat From Democracy in The United States in Rauner, M. (1999) Civic Education : An Annotated Bibliography, CIVNET
Gandal, M., Finn, Jr. C. E. (1992) Freedom Papers : Teaching Democracy, USA : United States Information Agency
http://www.civsoc.com/nature/nature1.html: Civic Culture
http://www.socialstudieshelp.com/ APGOV _Notes_WeekFour.htm: Civic Culture

http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism

Kompas (1999) Masyarakat Madani Makin Sulit Diwujudkan, 23 Maret 1999
Lickona, T. (1991) Educating for Character : How our Schools can Teach Respect and Responsibility, New York : Bantam Books
Madjid N. (1999) Masyaraakat Madani dan Investasi Demokrasi, Republika: 10 Agustus 1999
Maksun, F.Z.(1999) Membangun Masyarakat madani yang Profetis, Suara Pembaharuan:25 Juni 1999
Mulder N. (1998) Masyaraakat Madani tak Bisa Andalkan Nilai Jawa, Kompas: 20 November 1998
Noor Syam, M. (2006) Pendidikan dan Pembudayaan Moral Filsafat Pancasila, Jakarta: Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas, Ditjen Mandikdasmen
Rahardjo,D.(1999a) Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta:LP3ES
________(1999b) Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil Society,Jakarta: TAF dan LSAF
Republik Indonesia (1945) Undang-undang Dasar 1945, Jakarta
________(2003) Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta
Sudarsono, J. (1999) Fostering Democratic Living : The Roles of Governmental and Community Agencies, Bandung : CICED
Suara Pembaharuan (1999) Masyaraakat Madani Tercermin dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1999
Suryohadiprojo, S. (1999) Bentuk Pemerintah yang Profesional dan Demokratis, Republika: 11 November 1999
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani (1999a) Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Sekretariat Tim Madani
________ (1999b) Ringkasan Eksekutif Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Sekretariat Tim Madani
Tilaar,H.A.R.(1991) Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarakan Pancasila, Jakarta: Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V
______(1999a) Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, dalam Perspektif Abad 21,Magelang: Tera Indonesia
______(1999b) Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Winataputra,U.S., (1978) A Pilot Study of The Implementation of The SMA PMP Curriculum in Bandung Area, Sydney: Macquarie University (MA.Thesis)
______(2001a) Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi , Bandung: Universitas Pendidikan Indoneasia (Disertasi)
______(2001b) Pendidikan Demokrasi dan Hak Azasi Manusia, Jakarta: Kongres Nasional Pendidikan Indonesia
______(2002) Membangun Etos Demokrasi melalui Penerapan Proyek-Belajar Kewarganegaran, Jakarta: Universitas Terbuka

Wajah Pendidikan Indonesia : Penyelesaian Dilema Jumlah Guru Melalui Resolusi dan Revolusi Mental Pendidikan

$
0
0

Oleh : Adi Bugman, S.Pd
Guru Honorer SMAN 4 Balikpapan dan Mahasiswa Magister Pendidikan Universitas Mulawarman, Samarinda

Adi Bugman

Dalam kurun waktu terakhir ini Indonesia mengalami perubahan fundamental  diberbagai sektor kehidupan. Dimulai dari perampingan struktur pemerintahan, pembatasan anggaran hingga pengelolaan SDM berdasarkan acuan kinerja. Hal ini dilakukan demi mewujudkan kondisi bangsa yang mampu “berdikari” berdasarkan “nawacita” bangsa. Garis besar slogan revolusi mental pun digawangkan sebagai acuan pelaksanaan program bangsa. Revolusi mental menjadi dasar perubahan structural  dan fungsional didalam kehidupan bangsa, utamanya pada bidang pendidikan. Pendidikan yang seharusnya merupakan pilar mencerdaskan bangsa sehingga mampu bersaing dengan Negara lain ternyata dirasa tidak mampu menunjukan kemajuannya.  Oleh karenanya revolusi mental hadir didalam bidang pendidikan Indonesia  sehingga diharapkan dapat menjadi program percepatan didalam mencerdaskan generasi bangsa Indonesia di masa yang akan datang, terlebih nantinya Indonesia dihadapkan pada tantangan persaingan MEA dan global.

Kompleksnya permasalahan pendidikan Indonesia saat ini dirasa menjadi batu sandungan didalam proses mencerdaskan generasi bangsa sehingga layaknya benang kusut yang sulit untuk diuraikan. Salah satu permasalahannya adalah mengenai kurangnya guru ajar yang berkompeten dan bersertifikasi, terlebih saat ini dunia pendidikan dihadapkan pada moratorium PNS. Padahal guru merupakan salah satu komponen dasar pelaksanaan proses pembelajaran. Di suatu daerah, kita sebut saja daerah “pinggiran provinsi” hingga daerah “tapal batas” dengan negara lain memiliki jumlah guru yang sangat kurang apabila dibandingkan dengan jumlah siswa yang diajarkan. Ketika merujuk pada data portal kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia, terlihat bahwa jumlah guru se-Indonesia hanya mencapai 2.668.662 orang guru. Apabila dirasiokan jumlah guru hanya mencapai 15:1, hal ini sangat kurang ketika diperbandingkan dengan standar UNESCO yang mencapai 24:1

Permasalahan ketimpangan kuantitas guru terbukti menjadi problematika yang perlu dipecahkan permasalahannya. Terlebih saat ini terkendala dengan adanya moratorium PNS, pembatasan penerimaan guru tidak tetap di beberapa daerah, serta distribusi penyaluran guru yang belum merata antara perkotaan dan pedesaan. Selain itu, kondisi ini diperparah lagi dengan adanya ancaman gelombang pensiun guru baik sekolah dasar dan menengah. Padahal ketika dirunut dari peluang yang kita miliki, seharusnya Indonesia terbebas dari ancaman permasalahan jumlah guru. Begitu besarnya jumlah lulusan mahasiswa keguruan (FKIP) di berbagai universitas seharusnya menjadi solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan jumlah guru di berbagai daerah. Lalu mengapa problematika kuantitas dan kualitas guru ini kembali menjadi problematika Indonesia dibidang pendidikan? Inilah yang perlu segera kita temukan solusinya karena jika tidak permasalahan ini dapat mengancam proses percepatan pembangunan dibidang pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah. Oleh karenanya perlu tindakan – tindakan yang terarah baik dalam jangka panjang maupun pendek sehingga problematika ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun usulan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah terkait baik pusat maupun daerah, antara lain:

1. Pembaruan data jumlah guru dan kebutuhan guru
Tidak dapat kita pungkiri bahwa permasalahan jumlah guru dan persebarannya disuatu wilayah selalu berkaitan dengan jumlah data guru yang simpang siur. Pendataan merupakan dasar fundamental didalam melaksanakan program. Apabila data yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tidak akurat, maka program yang dilaksanakan menjadi sia-sia dan akan memberikan permasalahan lain di masa yang akan datang. Pendataan kebutuhan guru tentunya perlu dikaitkan dengan kapasitas ruang ajar (fasilitas) dan perkembangan kebutuhan pendidikan pada masyarakat sekitar (jumlah siswa dimasa datang).

2. Perkuat Potensi SM3T di Daerah 3T
Kita ketahui bersama bahwa SM3T merupakan program pemerintah yang sangat bermanfaat demi tercapainya pendidikan yang merata di daerah terdepan (perbatasan negara), terpencil (pinggiran/ pedalaman provinsi) dan tertinggal. Dengan adanya guru – guru SM3T maka proses pemerataan pendidikan khususnya penyelesaian permasalahan jumlah guru di suatu daerah tidak lagi menjadi akar masalah yang fundamental. Namun yang perlu diperhatikan bagi pemerintah adalah potensi jumlah guru SM3T seharusnya juga melihat distribusi guru didaerah sekitar sasaran SM3T. Hal ini perlu dilakukan demi terciptanya pemerataan kuantitas guru yang lebih optimal.

3. Linieritas lulusan dan pekerjaan
Linieritas lulusan dan pekerjaan perlu dilakukan demi terciptanya SDM yang kompeten dan sesuai dengan keahliannya. Kita ketahui bersama bahwa terkadang menjadi guru diperlukan mental yang kuat (terlebih bagi guru tidak tetap). Dengan gaji yang kecil dan amanah/tanggung jawab yang besar serta beban kerja yang tidak seimbang menjadikan profesi guru sebagai alternatif pekerjaan bagi lulusan FKIP. Terkadang kuliah di fakultas keguruan dijadikan wadah alternatif demi mendapatkan ijazah dan gelar S1. Namun pekerjaan setelah lulus tentu menjadi pertimbangan bagi mereka mencari pekerjaan lainnya selain menjadi seorang guru. Hal ini dikarenakan kuliah di fakultas keguruan adalah hal yang terbilang cukup mudah dilakukan jika dibandingkan dengan kuliah di fakultas lainnya.

4. Optimalkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Hal ini penting dilakukan demi pemerataan pendidikan. Dengan adanya aturan ini sekolah menengah atas kini diatur kinerjanya oleh dinas pendidikan provinsi. Dengan demikian, distribusi jumlah guru akan menjadi lebih merata antara kabupaten dan kota melalui proses mutasi berkala. Namun yang terpenting didalam mengoptimalkan aturan ini sekali lagi adalah pendataan yang baik dan perlu adanya laporan kinerja guru secara berkala.

5. Optimalkan peran FKIP di berbagai universitas/ institut keguruan
Peran fakultas keguruan di universitas menjadi sangat penting demi terciptanya pemerataan pendidikan. Guru berprestasi lahir dari fakultas pendidikan yang inovatif. Oleh karenanya, hal yang perlu dilakukan demi tercapainya optimalisasi peran FKIP adalah koordinasi yang baik dengan dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi terkait jumlah kebutuhan guru dan rencana strategis yang perlu dilakukan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang sehingga tercapainya lulusan guru yang berprestasi dan sesuai dengan yang dibutuhkan.

6. Tingkatkan remunerasi honor bagi guru tidak tetap daerah berdasarkan kinerja
Remunerasi perlu dilakukan khususnya bagi guru tidak tetap daerah. Pendapatan yang tidak sepadan menjadi alasan mahasiswa lulusan keguruan untuk berprofesi selain guru. Terlebih saat ini sumber pendanaan honor GTT berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga sangat bergantung pada jumlah siswa yang diajar. Alhasil honor pun beragam disetiap daerahnya, bahkan terdapat guru diberbagai daerah yang hanya diupahi Rp.100 ribu per bulannya. Padahal sudah selayaknya paradigma guru adalah panggilan hati dirubah. Alangkah lebih baik apabila guru dihasilkan dari persaingan kualitas calon guru. Calon guru yang berkualitas akan menghasilkan kinerja yang baik sehingga pantas menjadi guru berpenghasilan sepadan. Sehingga akan terbentuk korelasi yang sempurna yaitu penghasilan guru yang baik akan menarik banyak minat mahasiswa lulusan keguruan untuk berprofesi sebagai guru. Persaingan calon guru akan menghasilkan guru berkinerja dengan inovasi yang baik. Kekurangan guru disuatu daerah juga akan terselesaikan dengan baik.

7. Stop politisasi pendidikan
Kita ketahui bersama bahwa politik merupakan wajah bangsa kita saat ini bahkan didunia pendidikan pun tidak lepas dari dunia politik bagi pemegang kekuasaan. Tidak hanya proses penerimaan siswa baru, mutasi guru juga menjadi media proses politisasi pendidikan bagi “si” pimpinannya. Proses mutasi guru tidak lagi berdasarkan pada kinerja guru disekolah dan dunia pendidikannya melainkan pada seberapa besar loyalitas guru pada pimpinannya. Pimpinan disini tidak hanya terbatas pada kepala daerah melainkan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan juga turut andil didalam proses mutasi yang dihadapkan pada guru. Guru yang dekat dengan pimpinan ini maka ia akan dipertahankan pada posisi dan area yang lebih baik jika tidak maka bukan tidak mungkin ia akan dipindahkan pada sekolah yang jauh dari fasilitas.

Begitu kompleksnya permasalahan pendidikan bukan berarti tidak dapat diselesaikan dengan baik, semua tergantung pada seberapa komitmen stakeholder menjalankan tugasnya dengan optimal. Pendidikan yang mampu bersaing dengan negara lain adalah idaman kita bersama. Pendidikan yang mempertahankan jati diri bangsa dan mencerdaskan generasi bangsa hanya dihasilkan oleh guru yang berkualitas. Oleh karenanya, diharapkan dengan meratanya jumlah guru berkualitas didaerah akan menghasilkan pendidikan yang sesuai dengan cita-cita bangsa didalam pembukaan pancasila.

***

Guru Kreatif, Tak Henti Menebar Virus

$
0
0

Oleh : Yonas Suharyono, S.Pd., M.Pd.
Guru SMP Negeri 1 Cilacap, redaktur jurnal Widyanata, Disdikpora Kabupaten Cilacap

Yonas Suharyono

Guru kreatif adalah guru yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dilakukan dalam pembelajaran di kelas yang dikelolanya. Ada saja ulah dibuatnya untuk mengondisikan kelas menjadi lebih hidup, bergairah, dan menantang. Guru seperti ini yang sekarang ini dibutuhkan untuk mendekatkan peserta didik dengan virus-virus kreativitas.

Adakalanya sebuah kreativitas dan inovasi lahir dari sebuah kebetulan dan bisa juga ketidakberdayaan. Seorang guru, dengan keterbatasan sarana yang dimiliki mampu menciptakan suasana menyenangkan dengan memanfaatkan benda-benda sederhana di seputar tempat mengajar. Benda-benda tersebut kemudian diberdayakan dalam pembelajaran di kelas, dan menyebarkan virus-virus kreatif di benak para peserta didik.

Lazimnya, virus itu sesuatu yang sangat merugikan. Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus bersifat parasit obligat, hal tersebut disebabkan virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Virus).

Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal), sementara istilah bakteriofage atau fage digunakan untuk jenis yang menyerang jenis-jenis sel prokariota (bakteri dan organisme lain yang tidak berinti sel).

Virus sering diperdebatkan statusnya sebagai makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan fungsi biologisnya secara bebas jika tidak berada dalam sel inang. Karena karakteristik khasnya ini virus selalu terasosiasi dengan penyakit tertentu, baik pada manusia (misalnya virus influenza dan HIV), hewan (misalnya virus flu burung), atau tanaman (misalnya virus mosaik tembakau/TMV).

Virus juga merambah perangkat canggih bernama komputer. Perangkat perusak adalah perangkat lunak yang diciptakan untuk menyusup atau merusak sistem komputer, peladen atau jejaring komputer tanpa izin dari pemilik. Istilah ini adalah istilah umum yang dipakai oleh pakar komputer untuk mengartikan berbagai macam perangkat lunak atau kode perangkat lunak yang mengganggu atau mengusik. Istilah ‘virus computer’ kadang-kadang dipakai sebagai frasa pemikat (catch phrase) untuk mencakup semua jenis perangkat perusak, termasuk virus murni (true virus).

Perangkat lunak dianggap sebagai perangkat perusak berdasarkan maksud yang terlihat dari pencipta dan bukan berdasarkan ciri-ciri tertentu. Perangkat perusak mencakup virus komputer, cacing komputer, kuda Troya (Trojan horse), kebanyakan kit-akar (rootkit), perangkat pengintai (spyware), perangkat iklan (adware) yang takjujur, perangkat jahat (crimeware) dan perangkat lunak lainnya yang berniat jahat dan tidak diinginkan. Menurut undang-undang, perangkat perusak kadang-kadang dikenali sebagai ‘pencemar komputer’; hal ini tertera dalam kode undang-undang di beberapa negara bagian Amerika Serikat, termasuk California dan West Virginia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Virus).

Akan halnya ‘virus’ yang tertera pada judul tulisan ini. Virus yang dimaksud penulis merupakan gejala menularnya beberapa aktivitas inovatif guru-guru kreatif kepada guru-guru lain dari daerah berbeda. Proses penularan virus inovasi ini berlangsung cepat dan merata ke setiap guru yang ketika itu serius mengikuti presentasi dari para peserta lomba kreativitas guru (LKG) tingkat nasional yang berlangsung di Jakarta, 25 s.d. 29 November 2012 lalu. Tercatat 72 guru (dari 720 guru) menyebarkan virus masing-masing kepada semua peserta, sehingga terdapat sedikitnya 72 virus guru mewabah dalam waktu relatif singkat.

Virus ini terdiri atas berbagai jenis, namun intinya sama, yakni virus kreatif, virus inovatif, virus eksploratif, virus rekreatif, virus kolaboratif yang sangat ampuh dan sugestif terhadap guru-guru peserta lomba. Bagi guru-guru yang sugestibel dan rentan terhadap virus ini pastilah akan cepat tertular dan terinveksi dan dengan cepat menyebar ke seluruh sistem yang dia miliki.

Namun demikian tidak usah resah, karena virus ini bukanlah jenis perusak, jahat, dan pencemar seperti virus yang menyerang sistem komputer tersebut di atas. Virus guru ini, merupakan istilah yang dihembuskan salah satu peserta lomba, kemudian menjadi isu dan berkembang di tegah-tengah guru-guru kreatif, inovatif, eksploratif, untuk menumbuhkan gairah dalam menciptakan trik-trik mutakhir dalam menyongsong abad 21. Karena levelnya nasional dan diikuti oleh guru-guru dari seluruh Indonesia, maka virus dimaksud akan segera menyebar, mewabah mulai dari D.I. Aceh, hingga Papua.

Penulis, yang menjadi bagian dari LKG tingkat nasional tahun 2012, sangat berharap virus-virus ini juga segera berkembang ke seluruh guru di Cilacap, mulai TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK untuk masuk menjadi guru yang memiliki kreativitas tinggi dalam melayani peserta didik dan masyarakat.
***

Viewing all 45 articles
Browse latest View live