Quantcast
Channel: Karya Tulis – ISPI | Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Pusat
Viewing all 45 articles
Browse latest View live

Sekilas Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik)

$
0
0

Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik) e-ISSN: 2527-6891 adalah jurnal ilmiah yang berisi dan menyebarluaskan hasil penelitian, studi mendalam, dan ide-ide inovatif di bidang ilmu pendidikan. Inovasi para guru dan dosen dalam pengembangan sektor pendidikan dapat memberikan kontribusi positif bagi sekolah dan lembaga pendidikan. Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik) diterbitkan oleh Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Surabaya secara berkala (1 tahun 2 kali diterbitkan) dengan jumlah 10 artikel setiap kali diterbitkan (20 artikel per tahun).

FOKUS DAN RUANG LINGKUP

Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik) adalah jurnal ilmiah yang berisi dan menyebarluaskan hasil penelitian, studi mendalam, dan gagasan atau karya inovatif di bidang pendidikan sains. Karya inovatif para guru dan dosen pengembangan sektor pendidikan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi sekolah dan lembaga pendidikan menjadi fokus jurnal ini.

  1. Pendidikan Karakter
  2. Isu dan Kebijakan Pendidikan
  3. Pendidikan Kebutuhan Khusus
  4. Teknologi dan Kurikulum Pendidikan
  5. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
  6. Bimbingan dan Konseling
  7. Pendidikan Multikultural
  8. Pendidikan Anak Usia Dini
  9. Pendidikan Dasar
  10. Pendidikan Dasar
  11. Non- Pendidikan Formal
  12. Psikologi Pendidikan
  13. Pengajaran dan Pembelajaran
  14. Penilaian dan Evaluasi Pendidikan

PROSES TINJAUAN PEER

Semua artikel yang diserahkan ke Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik) akan dipilih, dibaca, dan ditinjau secara blind (peer review) oleh (a minimum) 2 pengulas yang ahli di bidangnya. Penerimaan sebuah artikel tergantung pada kebenaran konten, tingkat orisinalitas, kejelasan deskripsi, dan kesesuaian dengan tujuan jurnal. Artikel dapat diterima tanpa revisi, diterima dengan revisi kecil, diterima oleh revisi besar, atau ditolak. Hasil artikel ulasan oleh pengulas akan diberitahukan kepada penulis melalui email. Penulis diberi kesempatan untuk merevisi artikelnya sesuai dengan saran peninjau (dan editor) selambat-lambatnya 8 minggu setelah email pemberitahuan. Untuk mencegah plagiarisme, semua artikel yang masuk akan diperiksa keasliannya dengan menggunakan perangkat lunak anti-plagiarisme Turnitin.

 


BENAHI PENDIDIKAN PANCASILA

$
0
0

Oleh: Mukhlis, S.Pd., S.Ip.
Guru SMP 3 Sragi Pekalongan, Jawa Tengah

Dalam suatu kesempatan Presiden Jokowi meminta kepada jajaran institusi pendidikan untuk memperkuat pendidikan   Pancasila kepada siswa. Tentu bukan tanpa alasan. Permintaan tersebut merupakan sikap Kepala Negara yang prihatin terhadap situasi akhir-akhir ini yang dirasa siswa kurang memahami Pancasila. Bukan berarti saat ini pendidikan Pancasila belum diajarkan di sekolah-sekolah, barang kali maksudnya untuk lebih ditingkatkan lagi kualitas pendidikan Pancasila tersebut agar sampai pada tataran perilaku yang mencerminkan para siswa mengerti betul apa  itu  Pancasila.

Kalau mau jujur, pelaksanaan pendidikan Pancasila yang diajarkan di sekolah memang masih sebatas pengetahuan, Oleh karena itu hasilnya mereka tahu (knowing). Sementara itu, seorang yang tahu belum bisa menggerakkan orang tersebut mau melaksanakan. Ia harus merasa (feelling) kalau yang ia tahu bernilai, bermanfaat bagi dirinya sehingga hatinya tergerak dan akhirnya mau bertindak (doing), melakukan sesuai pengetahuan dan perasaan yang ia yakini kebenarannya. Dengan kata lain, prasyarat keberhasilan pendidikan Pancasila, pendidikan yang dilaksanakan harus menyentuh pada aspek knowing, feelling, dan doing. Dua  aspek yang terakhir ini yang belum  dibiasakan  dalam  pendidikan  Pancasila  selama  ini.

Apalah artinya siswa kita tahu banyak tentang Pancasila, bisa menjawab soal ujian tentang Pancasila dengan nilai seratus, tetapi masih saja suka tawuran antar pelajar? Sungguh model pendidikan macam ini rasanya kurang tepat dan jauh dari harapan upaya pembentukan karakter bangsa yang baik. Model pendidikan, khususnya model pendidikan Pancasila harus dibenahi. Pendidikan Pancasila harus mencakup pengetahuan (knowledge) yang mampu mendorong tumbuhnya  rasa (feeling) nilai-nilai Pancasila  itu sebagai sesuatu yang penting dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hatinya tergerak untuk menerapkan nilai tersebut dalam perbuatan  perilaku  sehari-hari (doing).

Untuk mencapai kualitas pendidikan yang mencakup ketiga unsur tersebut, perlu ada pembenahan pembelajaran pendidikan Pancasila di sekolah. Dalam kurikulum terbaru, jumlah jam tatap muka untuk mata pelajaran Pancasila sudah ditambah dari dua jam menjadi tiga jam pelajaran. Namun sesungguhnya bukanlah sekedar penambahan lamanya jam pelajaran, melainkan pembenahan kualitas pembelajarannya. Kualitas pembelajaran Pancasila harusnya lebih menekankan pada olah rasa sehingga nilai-nilai Pancasila mampu menjadi karakter siswa. Atau bahkan pendidikan Pancasila ini bisa mewarnai upaya pendidikan karakter siswa Indonesia secara umum, sehingga pendidikan  karakter  bisa  diarahkan  menjadi karakter  Pancasila.

Apa itu karakter Pancasila? Secara sederhana karakter Pancasila adalah karakter siswa (generasi muda) yang diwarnai nilai-nilai Pancasila; yakni sosok siswa yang pluralis mau menerima perbedaan dan paham betul bahwa perbedaan itu merupakan sunatullah, sesuatu yang datang dari ketentuan Tuhan. Oleh karenanya ia harus menerima dengan baik sebagai bagian sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga seorang siswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, juga seorang siswa yang mengutamakan persatuan walaupun dalam suasana yang berbeda; selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa/ negara Indonesia dengan menyadari betul kebhinekaan  yang  ada.

Tentu untuk terbentuk kualitas pembelajaran semacam itu perlu dibenahi dulu keterampilan mengajar guru-guru mata pelajaran Pancasila, sehingga para guru pendidikan Pancasila mampu dan terampil melaksanakan pembelajaran Pancasila yang berkualitas, yang mengukur keberhasilan belajar siswanya tidak lagi dari sisi ‘knowledge’ pengetahauannya saja melainkan lebih komprehensif  lagi dengan  memperhatikan  sisi  sikap  dan  karakter  siswa.

Pendidikan Pluralisme

Dari sekian banyak aspek pendidikan Pancasila yang selama ini dipelajari, barangkali yang paling penting dan mendesak adalah terbentuknya sikap pluralis pada diri siswa. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, silakan kita menganalisis pada setiap kejadian tawuran antar pelajar, ataupun kekerasan antar etnik dan kelompok yang berbeda, semua itu terjadi karena tidak adanya pemahaman pluralitas diantara pelakau-pelaku kekerasan tersebut. Dengan kata lain, selama ini siswa terlewatkan dari pendidikan pluralisme.

Para siswa mengetahui kalau bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, agama yang dianut. Tetapi sayangnya pengetahuan tersebut tidak diimbangi pemahaman pentingnya bersikap menghargai satu sama lain. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, sikap plural pada siswa belum terbentuk. Yang menonjol dalam benak pikiran mereka adalah semangat kesukuan, mementingkan kelompoknya, kesamaan agamanya dan menolak hal-hal yang berbeda. Seolah-olah sesuatu yang berbeda tidak boleh terjadi. Pemahaman seperti inilah yang harus dibenahi.

Harapan yang mungkin bisa untuk membenahi kondisi pemahaman yang kurang tepat ini adalah melalui pendidikan Pancasila yang benar, yakni pendidikan Pancasila yang mengupayakan siswanya mengetahui (knowing), dan merasa (feelling) nilai-nilai Pancasila itu penting untuk diterapkan sehingga pada akhirnya mau berbuat (doing), bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut. Pendidikan pluralisme perlu menjadi inti pendidikan Pancasila, sehingga konsep bhineka tunggal ika yang terdapat dalam simbol negara Garuda Pancasila bisa dipahami oleh seluruh  anak  bangsa.

Pentingnya nilai pluralisme bagi bangsa Indonesia dalam pendidikan Pancasila harus ditekankan kepada setiap siswa. Ini penting untuk membentuk warga negara yang bisa hidup rukun damai dalam nuansa perbedaan. Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi etnik, multi budaya, sehingga perbedaan dalam kehidupan  sehari-hari itu adalah sesuatu hal yang pasti ada. Perbedaan  harus dipahami sebagai sesuatu yang wajar, alami, sehingga tidak perlu lagi harus sama.

Sikap  bisa memahami perbedaan inilah inti dari nilai pluraisme. Nilai ini pula yang dipesankan oleh para pendiri negara ini untuk selalu dilaksanakan dalam hidup bersama dalam rumah besar bernama Negara Republik Indonesia. Bhineka Tunggal Ika: walaupun kita ini (bangsa Indonesia ) bermacam-macam suku, adat, ras, dan agamanya, namun kita ini satu keluarga, menjadi bagian dari rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu oleh para pendiri negara, sesanti  (semboyan) Bhineka Tunggal Ika dijadikan bagian  simbol negara: Garuda Pancasila.

Pendidikan Karakter Pancasila

Pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan di sekolah, perlu dibenahi dengan menjadikan nilai pluralisme menjadi inti dari pembentukan karakter siswa. Pluralisme bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia,  karena sejak berdirinya negara ini sudah ditancapkan kuat-kuat oleh para pendiri negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol negara. Masihkah kita mencari nilai-nilai lain dalam pendidikan karakter bagi siswa, jika kita sudah mempunyai nilai-nilai Pancasila?

Pendidikan merupakan jalan utama bagi suatu bangsa untuk melestarikan kebudayaannya. Budaya yang dibentuk dari kumpulan nilai-nilai luhur secara terus menerus dilestarikan dan berkembang selanjutnya menjadi pranata yang menjaga kehidupan bangsa tersebut. Nilai-nilai yang melekat, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan mewarnai kehidupan itulah menjadi karakter bangsa. Bagi bangsa Indonesia karakter bangsa yang dipilih bersendikan Pancasila. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa karakter bangsa Indonesia adalah karakter Pancasila.

Berdasar kenyataan ini pula hendaknya pendidikan Pancasila di sekolah harus mampu mewujudkan pendidikan karakter Pancasila bagi siswanya. Jika pelaksanaan pendidikan Pancasila masih sebatas un tuk tujuan nilai prestasi akademik yang disimbolakn dengan nilai ujian yang tinggi belaka, maka pendidikan Pancasila bisa dikatakan belum berhasil. Dan faktanya saat ini masih banyak yang mempertanyakan sejauh mana pendidikan Pancasila bisa membentuk karakter siswa.

Mari benahi pendidikan  Pancasila  menjadi semakin berkualitas.

***

Keluarga, Buku, dan Literasi

$
0
0

Oleh Jejen Musfah
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di bulan Mei ini ada peringatan Hari Keluarga Internasional (15/5), Hari Buku Nasional (17/5), dan Hari Keluarga (29/5). Hubungan keluarga dan buku sangat erat, sebab budaya membaca anak dimulai dari rumah. Orangtua merupakan kunci dalam melahirkan tradisi membaca anak.

Keluarga pembaca akan melahirkan anak yang hobi membaca, buku, majalah, maupun koran. Akan tetapi, di era digital ini, literasi membaca menghadapi tantangan yang tidak ringan, di antaranya dari internet dan media sosial: penyebaran hoax, baik tulisan, gambar, maupun video.

Membaca Hoax
Buku sudah lama ditinggalkan, digantikan telepon pintar (smart phone). Muda dan tua tidak membaca buku tetapi membaca media sosial: facebook dan whatsapp. Hampir semua orang memiliki akun media sosial. Mereka membeli paket kuota internet dengan perasaan ringan, tetapi sangat berat membeli buku.

Informasi dalam buku berbeda dengan konten media sosial. Buku berisi pengetahuan yang benar, sementara media sosial sebagiannya hoax. Sebelum terbit, sebuah buku mengalami proses koreksi yang berlapis. Di medsos, konten apa pun bisa dengan mudah masuk, tanpa koreksi sama sekali.

Penulis buku dapat dipercaya, sedangkan penulis di medsos bisa siapa saja dengan latar belakang yang kadang ditutupi, serta motif yang beragam. Singkatnya, pengetahuan di medsos belum tentu benar sehingga perlu tabayun (check and recheck). Akan tetapi, banyak orang mudah percaya dan menyebarkannya melalui facebook dan whatsapp.

Hobi Menonton
Budaya baca yang diharapkan tumbuh di kalangan anak-anak dan remaja, kalah oleh budaya menonton. Dibanding membaca dan membeli buku, orang lebih suka menonton di bioskop, youtube, instagram, dan internet. Ada juga sebagian anak-anak dan remaja yang hobi main game dibanding belajar dan membaca.

Menonton akting aktor pujaan dan mendengarkan musik penyanyi idola lebih diminati dibanding membaca buku, majalah, dan koran. Tontonan begitu dekat dan akrab karena berada dalam hp, sementara buku makin menjauh karena bukan tidak ada, tetapi tidak menarik bagi anak-anak dan remaja.

Beberapa buku dikemas dalam bentuk daring, berbayar maupun gratis, agar menarik minat pembaca. Upaya ini belum banyak menarik pembaca, khususnya untuk buku-buku ilmiah atau nonfiksi. Berbeda dengan buku fiksi. Dalam beberapa kasus, novel-novel tertentu dibaca oleh sampai enam (6) juta pembaca secara daring. Setelah sukses meraup pembaca daring, novel itu kemudian diterbitkan versi cetak.

Berpikir Kritis
Lebih banyak mengkonsumsi informasi dari media sosial daripada buku akan melahirkan generasi dan masyarakat yang berpikir pendek. Nalar kritisnya akan mati. Mereka akan mudah percaya dan ditipu oleh tulisan, gambar, dan video yang provokatif dan seolah benar padahal bohong.

Oleh karena itu, sekolah dan keluarga harus melatih anak-anak berpikir kritis (critical thinking) dan berliterasi. Sekolah membiasakan siswa membaca buku di kelas, di perpustakaan, dan di lingkungan sekolah. Perpustakaan diisi dengan beragam genre buku, fiksi dan nonfiksi. Di setiap kelas ada rak buku sebagai pojok baca.

Metode dan penilaian belajar melatih keterampilan tingkat tinggi siswa. Siswa diposisikan sebagai subjek belajar, dan dirangsang untuk berani menyatakan pendapat di depan teman-temannya. Siswa dibiasakan mengkritisi dan mencari solusi problem-problem sosial di lingkungannya.

Keluarga menghabituasikan pembelian buku sebagai hadiah untuk anak atau pada momen-momen tertentu. Menyediakan perpustakaan di rumah. Memberi teladan membaca di setiap kesempatan kepada anak. Tidak semua anak suka membaca, tetapi orangtua tetap harus menunjukkan pentingnya membaca. Kesadaran membaca anak tidak boleh melalui paksaan tetapi melalui teladan orangtua.

Di rumah, anak-anak dibiasakan menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan tertentu, seperti sekolah di mana dan apa alasannya. Anak-anak juga dibiasakan mendapatkan penjelasan alasan orangtua mengapa hal ini boleh dan mengapa hal itu tidak boleh.

Membaca buku meluaskan pengetahuan seseorang sehingga ia mampu berpikir kritis. Sebaliknya, pikiran pendek adalah ciri sedikitnya pengetahuan seseorang sehingga ia mudah termakan hoax dan provokasi. Jika orangtua menjadi teladan membaca dan mencintai buku, maka literasi membaca buku anak akan berhasil.

***

Pendidikan Generasi Milenial, Opini Ketua Umum ISPI

$
0
0

Ketua Umum ISPI yang juga Dubes Indonesia untuk Uzbekistan dan Kirgistan, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, seringkali menulis opini di surat kabar untuk menuangkan ide gagasannya seputar dunia pendidikan. Tulisan terbarunya berjudul “Pendidikan Generasi Milenial” dimuat pada surat kabar Pikiran Rakyat, Selasa (29/10/2019) kemarin.

Berikut profil singkat Sunaryo dalam laman Kumparan.com

Sunaryo Kartadinata untuk Republik Uzbekistan merangkap Republik Kirgizstan, berkedudukan di Tashkent
Sebelum menjadi dubes, Sunaryo Kartadinata merupakan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang saat ini menjabat Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) periode 2014-2019. Sunaryo juga pernah menjabat sebagai Rektor UPI selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015.

Sunaryo tercatat sebagai rektor ke-7 sejak UPI bernama IKIP Bandung, dan merupakan Pimpinan ke-9 Kampus Bumi Siliwangi sejak bernama PTPG Bandung. Seorang Guru Besar Ilmu Pendidikan dalam bidang Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia.

Adapun klipingnya dapat dibaca berikut ini. Unduh.

Imperatif Konstitusi untuk RUU Sikdiknas

$
0
0

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. | Pengamat Pendidikan dan Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)

RUU Sisdiknas yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Teknologi, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristekdikti) mendapatkan tanggapan publik dari berbagai sisi. Pertama dipandang mengandung banyak kekurangan dan kelemahan, di sisi lain yang juga perlu memperoleh perhatian adalah uji tegak lurus terhadap konstitusi UUD 1945.

Semestinya (R)UU Sisdiknas mengatur substansi pendidikan secara utuh dan komprehsif, dari filosofi sampai praksis, bertolak dari pemaknaan imperatif Konstitusi UUD 1945 terhadap pendidikan, dan konteks dialektika masyarakat secara nasional dan global. UU harus memastikan penyelenggaraan Sisdiknas sebagai perwujudan amanat UUD 1945.

Imperatif filosofis dan praktil pendidikan perlu dimaknai dari kandungan konstitusi, sebagai dasar perumusan tujuan dan praksis pendidikan nasional yang harus diatur dalam UU Sisdiknas. Secara historis, politis, dan kultural kemerdekaan RI adalah kulminasi proses mempersatukan Bangsa. Kandungan jiwa Pembukaan UUD 1945 adalah mempersatukan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI.

Imperatifnya, (1) Sisdiknas berfungsi mempersatukan dan memelihara persatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Negara bertanggungjawab menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional bermutu. Perlu ada pasal yang menegaskan makna otonomi pendidikan sebagai penyelenggaraan sisdiknas di daerah, dalam satu garis komando, termasuk pengaturan pendidikan yang ada di luar Kemdikbud. Bukan sentralistik, tetapi spirit fungsi Sisdiknas harus menjadi mindset berkelanjutan dari para pemimpin dan pengambil kebijakan pendidikan, dari hulu sampai hilir.

Pendidikan adalah proses alih generasi, pewarisan ideologi bangsa yang diamanahkan UUD 1945. Terkandung makna, pendidikan tidak boleh terserabut dan lepas konteks dari landasan idiil-konsitusionil NKRI. Karena itu (2) pendidikan nasional merupakan strategi politik bangsa untuk mewariskan ideologi negara dan nilai budaya bangsa kepada generasi penerus sehingga tidak terjadi pembelokan ideologi negara.

(R)UU Sisdiknas perlu menegaskan secara eksplisit bahwa Filsafat Pendidikan Nasional adalah Pancasila. Pancasila harus dipelajari dan difahami sebagai filsafat pendidikan nasional, oleh pemimpin pendidikan, pendidik, dan calon pendidik.

Spirit pendiri NKRI adalah mempersatukan bangsa Indonesia, yang dihuni oleh ragam suku, agama, dan budaya. Terkandung makna (3) kemauan politik bangsa yang kuat dan bermakna terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional bukan semata-mata urusan ketersediaan anggaran yang memadai, melainkan pemahaman secara benar dan utuh terhadap amanat pendiri republik untuk membangun negara bangsa Indonesia yang modern, demokratis, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, melalui upaya pendidikan.

Kandungan paragraf atau alenia 3 Pembukaan UUD 1945 merefleksikan pengakuan rakyat Indonesia sebagai mahluk yang berhamba kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah menganugerahkan kemerdekaan, diwujudkan dalam kepemelukan agama yang diyakini setiap penduduk Indonesia sebagaimana dijamin pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan sila pertama Pancasila. Imperatifnya, (4) pendidikan nasional bertanggungjawab menjadikan rakyat Indonesia sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berhamba kepada Allah Yang Maha Kuasa, mewariskan nilai keimanan dan ketaqwaan kepada generasi bangsa sebagai wujud pewarisan spirit para pendiri bangsa.

Paragraf empat merefleksikan empat misi dan tujuan bernegara, harus menjadi cara berpikir, orientasi hidup, motivasi, komitmen, dan perilaku manusia Indonesia, bersifat lintas generasi. Misi itu harus menjadi misi pendidikan nasional, misi pemimpin pendidikan, dan misi pendidik.

Artinya (5) pendidikan nasional bertangungjawab menghadirkan guru yang mampu membawa misi negara ke dalam proses pendidikan, dan secara sadar mengarahkan peserta didik untuk membangun cara berpikir, sikap, serta keterampilan sejalan dengan misi tersebut sebagai wujud tanggungjawab kolektif berbangsa dan bernegara. Perlu ditegaskan guru bertanggungjawab mewujudkan tujuan utuh pendidikan nasional, tidak sebatas mengelola siklus pembelajaran.

Dua misi pertama dalam paragraf empat berorientasi ke dalam, menegaskan kedaultan dan kesejahteraan umum. Dua misi terakhir berorientasi ke luar, hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan yang cerdas, mandiri, damai, dan berkeadilan sosial.

Makna mencerdaskan kehidupan bangsa, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial adalah membangun bangsa beradab, berakar pada nilai  budaya bangsa, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pengendalian diri, berkepribadian damai, dan tanggungjawab. Terkandung imperatif, (6) pendidikan nasional bertanggungjawab membangun kehidupan bangsa yang beradab, damai,  kepribadian warganegara dan warga global yang bertanggungjawab, beriman dan bertakwa, cinta tanah air, memajukan kebudayaan nasional, memahami sejarah bangsa, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia.

Pasal 31 ayat (1,2), mengandung imperatif, (7) Negara harus menjamin dan bertanggungjawab membuka akses pendidikan bermutu dan inklusif bagi seluruh warganegara dalam berbagai jalur dan jenjang, memastikan arah pendidikan nasional untuk membangun manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berahlak mulia. Ayat (4, 5) mengandung imperatif (8), secara eksplisit (R)UU Sisdiknas mesti mengatur dan menjamin kepastian anggaran dan sistem alokasi anggaran yang berbasis negara kesejahteraan sesuai amanat konstitusi. Perguruan Tinggi mesti diperankan sebagai  pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, dan sebagai poros pembangunan negara dan bangsa, yang lumat dengan penguatan nilai-nilai keagamaan dan persatuan bangsa.

Pasal 32 (1,2))mengandung imperatif (9) pendidikan nasional bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan kebudayaan. Pendidikan berbasis etnografis perlu dikembangkan dalam upaya memajukan dan membangun “kekuatan kolektif kebudayaan nasional” untuk diwarisi generasi penerus, serta menjamin keberlanjutan bahasa daerah sebagai nilai budaya masyarakat dalam memperkuat kebudayaan nasional untuk mendukung pencapaian tujuan utuh pendidikan nasional. Sembilan imperatif konstitusi yang digambarkan mesti dielaborasi secara akdemik menjadi bagian dari keutuhan naskah akademik dan dirumuskan menjadi isi pasal-pasal (R)UU Sisdiknas.

Sumber: https://www.republika.co.id/

Viewing all 45 articles
Browse latest View live