Quantcast
Channel: Karya Tulis – ISPI | Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Pusat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 45

Wajah Pendidikan Indonesia : Penyelesaian Dilema Jumlah Guru Melalui Resolusi dan Revolusi Mental Pendidikan

$
0
0

Oleh : Adi Bugman, S.Pd
Guru Honorer SMAN 4 Balikpapan dan Mahasiswa Magister Pendidikan Universitas Mulawarman, Samarinda

Adi Bugman

Dalam kurun waktu terakhir ini Indonesia mengalami perubahan fundamental  diberbagai sektor kehidupan. Dimulai dari perampingan struktur pemerintahan, pembatasan anggaran hingga pengelolaan SDM berdasarkan acuan kinerja. Hal ini dilakukan demi mewujudkan kondisi bangsa yang mampu “berdikari” berdasarkan “nawacita” bangsa. Garis besar slogan revolusi mental pun digawangkan sebagai acuan pelaksanaan program bangsa. Revolusi mental menjadi dasar perubahan structural  dan fungsional didalam kehidupan bangsa, utamanya pada bidang pendidikan. Pendidikan yang seharusnya merupakan pilar mencerdaskan bangsa sehingga mampu bersaing dengan Negara lain ternyata dirasa tidak mampu menunjukan kemajuannya.  Oleh karenanya revolusi mental hadir didalam bidang pendidikan Indonesia  sehingga diharapkan dapat menjadi program percepatan didalam mencerdaskan generasi bangsa Indonesia di masa yang akan datang, terlebih nantinya Indonesia dihadapkan pada tantangan persaingan MEA dan global.

Kompleksnya permasalahan pendidikan Indonesia saat ini dirasa menjadi batu sandungan didalam proses mencerdaskan generasi bangsa sehingga layaknya benang kusut yang sulit untuk diuraikan. Salah satu permasalahannya adalah mengenai kurangnya guru ajar yang berkompeten dan bersertifikasi, terlebih saat ini dunia pendidikan dihadapkan pada moratorium PNS. Padahal guru merupakan salah satu komponen dasar pelaksanaan proses pembelajaran. Di suatu daerah, kita sebut saja daerah “pinggiran provinsi” hingga daerah “tapal batas” dengan negara lain memiliki jumlah guru yang sangat kurang apabila dibandingkan dengan jumlah siswa yang diajarkan. Ketika merujuk pada data portal kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia, terlihat bahwa jumlah guru se-Indonesia hanya mencapai 2.668.662 orang guru. Apabila dirasiokan jumlah guru hanya mencapai 15:1, hal ini sangat kurang ketika diperbandingkan dengan standar UNESCO yang mencapai 24:1

Permasalahan ketimpangan kuantitas guru terbukti menjadi problematika yang perlu dipecahkan permasalahannya. Terlebih saat ini terkendala dengan adanya moratorium PNS, pembatasan penerimaan guru tidak tetap di beberapa daerah, serta distribusi penyaluran guru yang belum merata antara perkotaan dan pedesaan. Selain itu, kondisi ini diperparah lagi dengan adanya ancaman gelombang pensiun guru baik sekolah dasar dan menengah. Padahal ketika dirunut dari peluang yang kita miliki, seharusnya Indonesia terbebas dari ancaman permasalahan jumlah guru. Begitu besarnya jumlah lulusan mahasiswa keguruan (FKIP) di berbagai universitas seharusnya menjadi solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan jumlah guru di berbagai daerah. Lalu mengapa problematika kuantitas dan kualitas guru ini kembali menjadi problematika Indonesia dibidang pendidikan? Inilah yang perlu segera kita temukan solusinya karena jika tidak permasalahan ini dapat mengancam proses percepatan pembangunan dibidang pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah. Oleh karenanya perlu tindakan – tindakan yang terarah baik dalam jangka panjang maupun pendek sehingga problematika ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun usulan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah terkait baik pusat maupun daerah, antara lain:

1. Pembaruan data jumlah guru dan kebutuhan guru
Tidak dapat kita pungkiri bahwa permasalahan jumlah guru dan persebarannya disuatu wilayah selalu berkaitan dengan jumlah data guru yang simpang siur. Pendataan merupakan dasar fundamental didalam melaksanakan program. Apabila data yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tidak akurat, maka program yang dilaksanakan menjadi sia-sia dan akan memberikan permasalahan lain di masa yang akan datang. Pendataan kebutuhan guru tentunya perlu dikaitkan dengan kapasitas ruang ajar (fasilitas) dan perkembangan kebutuhan pendidikan pada masyarakat sekitar (jumlah siswa dimasa datang).

2. Perkuat Potensi SM3T di Daerah 3T
Kita ketahui bersama bahwa SM3T merupakan program pemerintah yang sangat bermanfaat demi tercapainya pendidikan yang merata di daerah terdepan (perbatasan negara), terpencil (pinggiran/ pedalaman provinsi) dan tertinggal. Dengan adanya guru – guru SM3T maka proses pemerataan pendidikan khususnya penyelesaian permasalahan jumlah guru di suatu daerah tidak lagi menjadi akar masalah yang fundamental. Namun yang perlu diperhatikan bagi pemerintah adalah potensi jumlah guru SM3T seharusnya juga melihat distribusi guru didaerah sekitar sasaran SM3T. Hal ini perlu dilakukan demi terciptanya pemerataan kuantitas guru yang lebih optimal.

3. Linieritas lulusan dan pekerjaan
Linieritas lulusan dan pekerjaan perlu dilakukan demi terciptanya SDM yang kompeten dan sesuai dengan keahliannya. Kita ketahui bersama bahwa terkadang menjadi guru diperlukan mental yang kuat (terlebih bagi guru tidak tetap). Dengan gaji yang kecil dan amanah/tanggung jawab yang besar serta beban kerja yang tidak seimbang menjadikan profesi guru sebagai alternatif pekerjaan bagi lulusan FKIP. Terkadang kuliah di fakultas keguruan dijadikan wadah alternatif demi mendapatkan ijazah dan gelar S1. Namun pekerjaan setelah lulus tentu menjadi pertimbangan bagi mereka mencari pekerjaan lainnya selain menjadi seorang guru. Hal ini dikarenakan kuliah di fakultas keguruan adalah hal yang terbilang cukup mudah dilakukan jika dibandingkan dengan kuliah di fakultas lainnya.

4. Optimalkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Hal ini penting dilakukan demi pemerataan pendidikan. Dengan adanya aturan ini sekolah menengah atas kini diatur kinerjanya oleh dinas pendidikan provinsi. Dengan demikian, distribusi jumlah guru akan menjadi lebih merata antara kabupaten dan kota melalui proses mutasi berkala. Namun yang terpenting didalam mengoptimalkan aturan ini sekali lagi adalah pendataan yang baik dan perlu adanya laporan kinerja guru secara berkala.

5. Optimalkan peran FKIP di berbagai universitas/ institut keguruan
Peran fakultas keguruan di universitas menjadi sangat penting demi terciptanya pemerataan pendidikan. Guru berprestasi lahir dari fakultas pendidikan yang inovatif. Oleh karenanya, hal yang perlu dilakukan demi tercapainya optimalisasi peran FKIP adalah koordinasi yang baik dengan dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi terkait jumlah kebutuhan guru dan rencana strategis yang perlu dilakukan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang sehingga tercapainya lulusan guru yang berprestasi dan sesuai dengan yang dibutuhkan.

6. Tingkatkan remunerasi honor bagi guru tidak tetap daerah berdasarkan kinerja
Remunerasi perlu dilakukan khususnya bagi guru tidak tetap daerah. Pendapatan yang tidak sepadan menjadi alasan mahasiswa lulusan keguruan untuk berprofesi selain guru. Terlebih saat ini sumber pendanaan honor GTT berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga sangat bergantung pada jumlah siswa yang diajar. Alhasil honor pun beragam disetiap daerahnya, bahkan terdapat guru diberbagai daerah yang hanya diupahi Rp.100 ribu per bulannya. Padahal sudah selayaknya paradigma guru adalah panggilan hati dirubah. Alangkah lebih baik apabila guru dihasilkan dari persaingan kualitas calon guru. Calon guru yang berkualitas akan menghasilkan kinerja yang baik sehingga pantas menjadi guru berpenghasilan sepadan. Sehingga akan terbentuk korelasi yang sempurna yaitu penghasilan guru yang baik akan menarik banyak minat mahasiswa lulusan keguruan untuk berprofesi sebagai guru. Persaingan calon guru akan menghasilkan guru berkinerja dengan inovasi yang baik. Kekurangan guru disuatu daerah juga akan terselesaikan dengan baik.

7. Stop politisasi pendidikan
Kita ketahui bersama bahwa politik merupakan wajah bangsa kita saat ini bahkan didunia pendidikan pun tidak lepas dari dunia politik bagi pemegang kekuasaan. Tidak hanya proses penerimaan siswa baru, mutasi guru juga menjadi media proses politisasi pendidikan bagi “si” pimpinannya. Proses mutasi guru tidak lagi berdasarkan pada kinerja guru disekolah dan dunia pendidikannya melainkan pada seberapa besar loyalitas guru pada pimpinannya. Pimpinan disini tidak hanya terbatas pada kepala daerah melainkan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan juga turut andil didalam proses mutasi yang dihadapkan pada guru. Guru yang dekat dengan pimpinan ini maka ia akan dipertahankan pada posisi dan area yang lebih baik jika tidak maka bukan tidak mungkin ia akan dipindahkan pada sekolah yang jauh dari fasilitas.

Begitu kompleksnya permasalahan pendidikan bukan berarti tidak dapat diselesaikan dengan baik, semua tergantung pada seberapa komitmen stakeholder menjalankan tugasnya dengan optimal. Pendidikan yang mampu bersaing dengan negara lain adalah idaman kita bersama. Pendidikan yang mempertahankan jati diri bangsa dan mencerdaskan generasi bangsa hanya dihasilkan oleh guru yang berkualitas. Oleh karenanya, diharapkan dengan meratanya jumlah guru berkualitas didaerah akan menghasilkan pendidikan yang sesuai dengan cita-cita bangsa didalam pembukaan pancasila.

***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 45

Trending Articles