“Sebenarnya tiap guru yang mengampu mata pelajaran apa pun dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi”
Oleh : Heni Purwono, S.Pd., M.Pd.
Guru SMAN 1 Sigaluh Banjarnegara, Juara I Lomba Inovasi Pembelajaran Antikorupsi 2014 di KPK
Terkait dengan kemerebakan korupsi pada semua lini kehidupan, tiap tanggal 9 Desember kita diingatkan untuk memeranginya, melalui peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Barangkali tak banyak yang ingat, terlebih kalangan pendidik, mengingat kebanyakan dari mereka masih larut dalam perayaan yang tidak jauh jaraknya, yakni Hari Guru pada 25 November.
Meski terlalu naif dan dini jika mengatakan dunia pendidikan kurang peduli dengan isu korupsi, kenyataannya memang demikian. Hal itu terlihat dari masih karutmarutnya pendidikan karakter di dalam pendidikan kita, di mana nilai akademis masih menjadi dewa dan juga panglima.
Paling tidak, hal itu terjelma dari masih banyaknya sekolah yang menghalalkan segala cara dalam menghadapi ujian nasional (UN) supaya bisa meluluskan 100% siswanya dalam ujian itu. Di sisi lain, mereka berkesan biasa-biasa saja ketika siswanya terlibat tawur atau melakukan tindakan antisosial lainnya.
Padahal, semestinya yang dikedepankan dalam pendidikan nasional kita adalah karakter, bukan akademik semata. Termasuk dalam hal pemberantasan korupsi di negeri ini, yang sejatinya berada di tangan guru sebagai garda terdepan. Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, guru perlu kembali merenungkan posisi pentingnya dalamikut menyemaikan bibit untuk melawan korupsi.
Hal itu mengingat tindak korupsi lebih banyak menyangkut perilaku jika dibandingkan dengan kerugian yang bersifat material. Sayang, belum semua guru menyadari tugas kehormatan ini. Kebanyakan mereka mengejar target menyelesaikan materi, tanpa sisipan-sisipan yang bermuatan antikorupsi. Selama ini berkesan pembelajaran antikorupsi adalah domain dari mapel Agama dan PPKn.
Padahal sebenarnya setiap guru yang mengampu mata pelajaran apa pun dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Mereka dalam aktivitas pembelajarannya seharusnya membuat kegiatan yang mampu menumbuhkan sikap kejujuran, kerja keras, disiplin, dan nilainilai positif lainya pada diri siswa. Atau, secara umum manajemen sekolah dapat membuat sebuah budaya antikorupsi seperti dengan adanya kantin kejujuran, dan sejenisnya.
Dalam pembelajaran Sejarah, saya membuat inovasi bertajuk ‘’Pembelajaran Antikorupsi dengan Inkuiri Dinamis agar Anak Ojo Nganti Lemes’’(‘’Pakde Indiana Jones’’). Melihat materinya, sekilas mustahil untuk menanamkan spirit antikorupsi. Namun dengan aktivitas belajar yang inovatif, kita dapat membawa anak pada penanaman budaya antikorupsi.
Sportif Jujur
Saya membuat permainan halang rintang pada bak pasir untuk lompat jauh, dan di dalam pasir sengaja saya tanam berbagai gambar jenis fosil yang harus dipelajari siswa. Aturannya, siswa yang meyentuh tali halang rintang secara jujur harus mengaku dan mnegulang lagi proses melewati halang rintang tersebut.
Hasilnya, siswa sangat bersemangat memasuki bak pasir yang menantang itu dan mencoba menghindari halang rintang. Sebagian besar dari mereka mengatakan benar-benar merasakan seperti Indiana Jones yang sedang berburu artefak. Mereka juga sangat sportif dan jujur, ketika bagian tubuh mereka menyentuh halang rintang.
Bahkan secara sadar mengulangi prosesnya, terlebih kawan-kawannya selain menyemangati juga memberikan pengawasan. Tak hanya itu, dalam bak tersebut juga saya tanam fosil berwarna emas yang sejatinya tidak memiliki makna apa pun. Ternyata banyak di antara mereka berebut fosil tersebut dan lupa akan tugasnya mencari fosil yang ada materi penjelasannya.
Setelah dievaluasi, barulah saya menjelaskan bahwa fosil berwarna emas tidak bernilai dibanding fosil yang berisi informasi. Artinya, dari hal itu guru dapat menanamkan sikap pada anak untuk tidak tergiur pada kekayaan yang sejatinya tidak banyak bermanfaat. Terlebih andai kekayaan itu didapat dengan hasil korupsi. Lewat kreativitas, guru bisa terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. (10)
Dimuat di Suara Merdeka tanggal 8 Desember 2014